Thursday, 22 April 2010

Major Theory in International Relations: Marxism and Structuralism

Marxisme
Teori Marxisme lahir dari pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang filosofis politik dan revolusionis berkebangsaan Jerman, serta Friedrich Engels (1820-1895), revolusioner ekonomi politik yang juga berkebangsaan Jerman. Mereka berdua membangun suatu pemikiran politik yang mereka sebut sebagai sosialisme ilmiah yang kemudian dipahami sebagai komunisme. Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels menempatkan landasan konseptual terhadap revolusi dan rezim komunis pada abad ke-20. Pada tahun 1847 mereka bergabung dalam kelompok kecil pemimpin kelas pekerja dalam Liga Komunis yang tak lama kemudian mereka diminta untuk merombak ulang program kelompok tersebut. Dalam Communist Manifesto (1848) Marx dan Engels meleburkan semua pembaharuan yang terjadi sebelumnya yang disebut sebagai sosialis utopian, mengklaim bahwa harapan mereka terhadap properti komunal tidak akan dapat dicapai dalam masyarakat kapitalistik. Marx dan Engels mendorong para pekerja di dunia untuk bersatu dalam mencapai sosialisme ilmiah, atau komunisme. Berawal dari teori filosofis Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, mereka mengumumkan komunisme sebagai teori yang tidak sentimental yang berasal dari hukum kekal dari sejarah.
Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal. Periode kolonialisme membawa masuk berbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk kesempatan baru dalam bentuk dependensi (ketergantungan).
Teori Marxisme menolak akan pandangan kaum Liberalis dan Realis yang lebih mengutamakan aspek politik daripada aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan fokus utama Marxisme adalah aspek ekonomi, sedangkan Realisme dan Liberalisme lebih fokus pada konflik dan kerja sama antar negara. Dalam hubungan antara ekonomi dan politik, kaum Marxis sepakat dengan kaum Merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat berkaitan. Keduanya menolak pandangan kaum liberal tentang ekonomi otonom dimana sistem ekonomi dapat berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa campur tangan politik. Mereka juga menolak pandangan kaum realis dimana politik yang mempengaruhi ekonomi. Tetapi sementara kaum merkantilis melihat ekonomi sebagai alat politik, kaum marxis menempatkan ekonomi pertama dan politik yang kedua, yakni ekonomi yang mempengaruhi politik. Marxisme juga menolak pandangan kaum Realis dan Liberalis mengenai relasi antar negara, dimana kaum realis memandang hubungan internasional sebagai zero-sum game (win-lose) dan kaum liberalis yang memandang hubungan internasional sebagai positive-sum gam (win-win). Menurut pandangan Marxisme, setiap hubungan relasional pasti konfliktual. Lebih spesifik lagi, Marx menyatakan bahwa dalam sistem internasional selalu terjadi konflik antar kelas. Hal ini menunjukkan bahwa Marx menspesifikasi aktor-aktor dalam hubungan internasional dalam kelas bourgeoisie dan kelas proletariat, dimana terdapat hubungan interdependensi antar kelas, sehingga konflik antar kelas tidak dapat dihindari yang dikarenakan kesenjangan antara kelas bourgeoisie dengan kelas proletariat.
Marx mengakui bahwa eksploitasi terhadap kaum pekerja oleh kaum kapital adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu wujud relasi interdepensi antar kelas sosial. Hubungan antar kelas dalam sistem sosial, menurut Marx, akan berlangsung secara harmonis apabila terjadi konflik antar kelas di dalamnya. Masih menurut pemikiran Marx, konflik yang dikarenakan eksploitasi kelas proletariat oleh kelas bourgeoisie tersebut akan memicu timbulnya aksi dan reaksi antar kelas yang disebutnya sebagai harmonisasi relasi antar kelas sosial.
Impian kaum Marxism adalah penghapusan kelas-kelas dalam sistem sosial maupun sistem internasional. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk menghilangkan konflik antar kelas adalah dengan cara peleburan antara kedua kelas tersebut sehingga kesenjangan antara kedua kelas dapat dihilangkan. Pada negara-negara yang menganut konsep Marxisme (yang kemudian disebut dengan sistem komunis Marxis), hal ini direalisasikan dengan, misalnya, pengalihan kepemilikan faktor produksi dari individu dan swasta ke pemerintah serta pemerataan pendapatan masing-masing warga negara.
Pemikiran Marxisme ini muncul pada kondisi industrialisasi, dimana terdapat pembagian struktur masyarakat dalam dua kelompok, yakni kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja. Teori ini mengasumsikan bahwa dalam sistem sosial aktor-aktor yang terlibat di dalamnya terbagi dalam dua kelas, yakni kelas bourgeoisie dan kelas proletariat. Kelas bourgeoisie merupakan kalangan yang memiliki faktor produksi, sedangkan kelas proletariat merupakan kalangan yang memiliki hasil produksi. Berbeda dengan kaum liberalis yang lebih memfokuskan perhatian pada kaum kapital, maka kaum sosialis lebih memfokuskan perhatian pada kaum pekerja. Menurut pandangan kaum sosialis, sistem perekonomian sangat bergantung pada kaum proletariat sebagai pemilik SDM. Asumsi mereka, apabila kelas proletariat membatasi hasil produksi mereka maka kegiatan produksi milik kelas bourgeoisie tidak akan berjalan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, kaum proletariat memgang kendali atas sistem perekonomian.
Dasar pemikiran Karl Marx mengenai pembagian kelas tersebut dalam hubungan internasional juga diimplementasikan dalam sistem internasional. Negara-negara maju dimana dalam sistem internasional merupakan negara yang kuat dan berkuasa disebut negara core dan negara berkembang disebut negara periphery. Fenomena kesenjangan antara negara core dengan negara periphery disebut dengan istilah comparative gain (menurut kaum kapitalis) atau absolute gain (menurut kaum marxis). Dari sudut pandang kaum liberalis, comparative gain dipandang sebagai keuntungan kolektif yang timbul karena adanya hubungan interdependensi antar negara. Namun kaum marxisme memandang fenomena tersebut sebagai absolute gain dimana relasi interdependensi antar negara diwujudkan dalam bentuk yang eksploitatif secara halus oleh negara core terhadap negara periphery.

Strukturalisme (Neo-Marxisme)
Strukturalisme (neo-Marxisme) muncul dikarenakan banyaknya kritik yang ditujukan terhadap pemikiran Marxis. Kritik tersdebut terutama datang dari kalangan Realis. Menurut kaum Realis, kalangan Marxis mengabaikan peranan negara yang krusial, baik secara defensif maupun ofensif. Kaum Realis memandang bahwa negara merupakan satu-satunya institusi legal yang dapat melindungi individu terhadap berbagai ancaman dari luar dirinya dikarenakan negara memiliki otoritasi berupa hukum dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengikat dan melindungi individu yang ada didalamnya.
Selain dari kalangan Realis, kritik terhadap pemikiran Marxis ini juga muncul dari critical theory dari Frankfurt School dimana dipelopori oleh Habermas. Menurutnya, keadaan manusia dikembangkan dengan kemampuan etis dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat. Dengan berlandaskan pemikiran ini kemudian muncul pembaharuan dari perspektif Marxisme yang kemudian dikenal dengan istilah Neo-marxisme.
Yang membedakan Strukturalisme dengan pendahulunya adalah unsur-unsur konseptual dan sistematis mengenai konsep klasifikasi kelas dan pemerataan distribusi. Pada perspektif Strukturalisme ini sistem klasifikasi tidak hanya diterapkan pada sistem sosial tetapi juga sistem internasional. Karenanya perspektif ini memiliki peranan dalam munculnya teori dependensi dan teori sistem dunia ala Wallerstein. Teori dependensi membagi negara-negara di dunia dalam dua kubu yaitu negara maju dan negara dunia ketiga. Hubungan kedua negara tersebut konfliktual dan interdependensi dimana hegemoni negara maju tidak dapat dihindari karena negara maju membutuhkan adanya negara dunia ketiga untuk menunjukkan kekuasaannya, sedangkan negara dunia ketiga tidak memiliki keberdayaan untuk melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap negara maju. Konsep teori dependensi ini kemudian diadopsi oleh Wallerstein dimana negara maju disebut dengan negara core sedangkan negara dunia ketiga disebut dengan negara periphery.
Teori sistem dunia ala Wallerstein ini merupakan penerapan klasifikasi negara-negara di lingkup internasional dimana negara core merupakan negara pemilik kapital, dominan hasil produksi dan penguasa modal. Negara semi-periphery merupakan negara yang berperan untuk menjaga keseimbangan antara negara core dengan negara periphery, sedangkan negara periphery merupakan negara pemilik raw material yang biasanya menjadi objek eksploitasi negara core.

Kesimpulan dan Kritik terhadap Marxisme dan Strukturalisme
Pada intinya, kaum Marxis serta kaum Strukturalis memandang adanya pembagian aktor-aktor, baik dalam sistem sosial maupun sistem internasional, dalam dua kelompok dimana hubungan antara kedua kelas tersebut berlangsung konfliktual dan cenderung eksploitatif. Relasi antar kelas tidak pernah terjalin secara damai dikarenakan adanya eksploitasi tersebut. Sistem internasional dipandang kaum Marxis sebagai absolute gain dimana selalu terjadi upaya eksploitasi terselubung terhadap negara berkembang. Impian kaum Marxis mengenai pemerataan tidak akan terwujud karena akan memicu reaksi chaos. Hal tersebut dikarenakan tidak diakuinya kreativitas individu, penghapusan hak asasi manusia, pembatasan ruang lingkup gerak individu, serta memungkinkan sentralisasi faktor dan hasil produksi pada salah satu pihak dalam pemerintahan. Selain itu kegiatan pemerataan hasil produksi pada kenyataannya bukan malah menjadi solusi kesejahteraan akan tetapi malah menimbulkan hegemoni baru sebab pihak yang bertugas membagi rata hasil produksi tersebut memungkinkan untuk adanya kekuasaan baru di dalam komunitas tersebut. Hal inilah yang tidak akan pernah terjawab oleh konsep ini dikarenakan sistem ala Marxis ini tidak akan menimbulkan situasi damai yang permanen terutama jika diterapkan di lingkup negara.
Konsep Marxism yang sebenarnya menghendaki kebebasan sepenuhnya terhadap individu, dimana tidak ada yang memimpin dan yang dipimpin, kemudian dibelokkan oleh negara-negara yang menggunakan konsep komunis Marxis dalam sistem politik dan pemerintahan mereka. Negara-negara tersebut (mis. Rusia dan Cina) kemudian memiliki satu orang pemimpin yang sangat berkuasa dan memiliki absolute power dimana pemimpin tersebut mengatur jalannya sistem kenegaraan mereka dan memiliki pemahaman sendiri mengenai konsep komunis Marxis (mis. Leninisme, Stalinisme, Maoisme).







Sources:
Baylis, John and Smith, Steve. 2005. The Globalization Of World Politics 3th Edition. New York: Oxford University Press
Dahendrof, Ralph. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Stanford University Press
Jackson, Robert and Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, Inc.
Jones, Richard Wyn. 2001. Critical Theory and World Politics. London: Lynne Reinner Publisher, Inc.
Shimko, Keith L. 2005. International Relations, Perspectives and Controvercies. New York: Houghton Mifflin, Co.

Sunday, 18 April 2010

Strategic Deterrence, Military Defense, and Compliance

Konsep effective deterrence muncul pada era Perang Dingin karena pada masa tersebut muncul pola bipolar dalam sistem internasional, dimana hal tersebut meresahkan dua belah pihak, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Hal tersebut kemudian menimbulkan rasa persaingan yang lebih besar diantara keduanya, dimana Amerika Serikat memandang dirinya merupakan penguasa tunggal sedangkan Uni Sovyet merupakan penghalang ambisi mereka untuk menguasai dunia. Kepemilikan nuklir pun dipandang sebagai sumber power bagi kedua negara. Dan karena tidak memungkinkan terjadinya perang terbuka maka mereka menggunakan cara lain untuk memenangkan persaingan, yakni dengan mempublikasikan kemajuan masing-masing negara dalam usaha pengembangan nuklir. Pada akhirnya Amerika terlihat memenangkan persaingannya, yang dibuktikan dengan tingkat keseganan dunia terhadap negara tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Sovyet. Hal ini tidak lepas dari konsep liberalisme Amerika Serikat yang dilekatkan dengan pandangan modernisme, sehingga segala hal yang berbau Amerika pasti lebih hebat, termasuk ideologinya.
Namun seiring dengan perkembangannya, superioritas nuklir Amerika Serikat menurun seiring berkembangnya teknologi serupa di negara-negara lain seperti Uni Soviet. Para policy makers mulai mempertanyakan kembali fungsi dari senjata penghancur massa ini sebagai instrumen politik luar negeri. Kesadaran dan kengerian akan buruknya akibat dari penggunaan senjata nuklir ini menyebabkan Amerika Serikat kemudian mengubah kebijakan strategis yang digunakan sebagai bentuk pertahanan terhadap Uni Sovyet, yang secara timeline dibagi menjadi tiga, yakni compellence (1945-1962), mutual deterrence (1962-1983) dan defense (1983-1993) (Kegley dan Wittkopf 1996).
Konsep compellence secara harfiah dapat diartikan sebagai pemaksaan. Dalam konteks militer, compellence berarti pemaksaan terhadap pihak lawan untuk menghentikan tindakan pihak lawan tersebut. Patrick Morgan mendefinisikan compellence sebagai penggunaan suatu tekanan atau ancaman untuk menggerakkan pihak lain agar menghentikan suatu tindakannya yang telah dilakukan atau melakukan suatu tindakan yang belum dilakukan (Morgan 2003). Konsep ini muncul pada masa pasca Perang Dingin pada tahun 1945 dan berakhir dengan ditandai oleh Krisis Misil di Kuba pada tahun 1965. Konsep ini dilatarbelakangi oleh munculnya Amerika Serikat sebagai negara nuklir pertama yang belum memiliki tandingan, dan berusaha memaksa negara-negara lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Dalam hal ini Amerika Serikat memaksakan ideologi mereka terhadap negara lain bahwa nuklir merupakan sumber power yang paling besar, sehingga negara yang memilikinya dapat dikatakan sebagai penguasa dunia.
Konsep ini mulai terjadi pada tahun 1950an pada era pemerintahan Dwight Eisenhower, dimana pada saat itu menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles mengancam musuh-musuhnya dengan proyek pengembangan nuklirnya. Selama masa ini, pola strategi massive retaliation diperbolehkan bagi penghancuran dan penahanan ekspansi Uni Sovyet, baik yang merupakan ideologis maupun secara fisik. Pola ini dikenal juga sebagai counter value targeting strategy karena mengarah ke senjata-senjata Amerika Serikat yang dianggap vital oleh Uni Sovyet. Strategi lainnya adalah counter force targeting strategy dimana segala kemiliteran Amerika Serikat diarahkan terpusat pada pusat kekuatan militer Uni Soviet.
Hal yang mengakhiri kebijakan strategis Amerika Serikat ini adalah dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet hampir terlibat di dalam perang nuklir berskala besar di Kuba. Akan tetapi strategi yang diterapkan Amerika Serikat membuat kedua negara tersebut berpikir dua kali dan hal inilah yang akhirnya juga mempengruhi perubahan strategi Amerika Serikat dari compellence menuju deterrence.
Deterrence, berasal dari kata deterrent secara harafiah diartikan sebagai penolakan atau pencegahan. Deterrence adalah salah satu kebijakan strategis yang muncul setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki Jepang oleh Amerika Serikat dan adanya perubahan daerah internasional balance of power menjadi balance of terror (Wittkopf 1981). Kata detterence sendiri merupakan sebuah produk dari nuclear age (Plazgraff 1996) yang secara garis besar, prakondisi dari strategi ini adalah bila suatu negara menjadi syarat terhadap penciptaan situasi deterrence.
Menurut Patrick M. Morgan dalam bukunya Deterrence Now (2003), deterrence adalah sebuah praktek lama dalam politik internasional dan reaksi wilayah lainnya. Konsep tersebut telah ditentukan oleh cukup banyak pemikiran dan studi, walaupun samapi sekarang konsep tersebut tidak mudah untuk dipahami dan dijelaskan. Deterrence merupakan salah satu dari konsep diplomasi dan militer. Konsep ini merupakan strategi militer yang berkembang pada era Perang Dingin, sekaligus digunakan sebagai sebuah strategi pada masa Perang Dingin dan merupakan sebuah kondisi dimana para aktor superpower saling melakukan pencegahan dalam perang formal yang frontal, yaitu dengan dimilikinya senjata pemusnah massal, senjata nuklir, oleh para aktor superpower (Amerika Serikat dan Uni Sovyet).
Menurut Alexander L George dan Richard Smoke, deterrence dapat diartikan sebagai serangkaian persuasi yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk agar pihak pertama melakukan keinginan pihak kedua (Dougherty dan Manzginrtioz 1996). Definisi ini dirangkum oleh Glenn Synder dengan kebijakan stick and carrot yang selama ini dipraktekkan oleh AS. Pihak yang satu mencegah pihak yang lain melakukan suatu aksi melalui ancaman baik implisit maupun eksplisit, dengan pemberian sanksi positif berupa hadiah jika pihak kedua menaati larangan pihak pertama dan pemberian sanksi negatif berupa hukuman jika pihak kedua berlaku sebaliknya. Deterrence hanya dapat dilakukan dalam keadaan damai walaupun damai yang dimakudkan adalah damai yang semu. Keadaan damai ini diperlukan agar teror yang dilancarkan dapat mencapai sasaran.
Kebijakan strategis Amerika Serikat ini berlangsung pada masa pasca Krisis Kuba hingga pada tahun 1983, dimana pada saat itu presiden Ronald Reagan menganut paham pertahanan. Pada strategi ini nuklir tidak lagi digunakan secara nyata untuk memaksa lawan mengubah perilakunya, melainkan justru senjata hanya dipakai untuk menakut-nakuti lawan agar lawan berharap senjata tersebut tidak sampai digunakan. Perubahan strategi Amerika Serikat ini merupakan suatu bukti nyata bahwa nuklir tidak lagi bisa digunakan untuk mengancam lawan untuk merubah perilakunya. Dengan menggunakan taktik extended deterrence, kedua negara dapat melindungi wilayah masing-masing. Dan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada kawasan Eropa dengan menempatkan pasukan militer dan persenjataan nuklir disana justru semakin meningkatkan intensitas perlombaan senjata. Ini karena sikap realisme yang dimiliki kedua adidaya, yaitu selalu curiga dan merasa terancam atas keberadaan satu dan yang lain. Sehingga menyebabkan prinsip deterrence saat itu adalah mutual assured destruction (MAD), dimana apabila gencatan senjata antara kedua negara terjadi maka kedua belah pihak akan hancur siapapun yang melakukan penyerangan pertama karena setiap negara memiliki kemampuan untuk melakukan serangan balik yang mematikan. Karena sikap ketakutan setiap negara itu maka konsep-konsep Strategic Arms Limitation Talks (SALT) bahkan tidak mampu untuk menghentikan perlombaan senjata ini. Di Amerika Serikat sendiri justru muncul satu kelompok yang menawarkan ide nuklir sebagai alat untuk menyerang (nuclear utilization theory). Mereka berpendapat bahwa Uni Soviet telah terlebih dahulu menyiapkan nuklirnya untuk perang sehingga untuk memperkecil akibatnya dengan menciptakan tekhnologi mutahir sehingga tidak akan terjadi kehancuran total. Tetapi pendapat ini ditentang kelompok-kelompok yang mendukung MAD. Seperti yang dikatakan oleh Robert McNamara, bahwa perang nuklir hamper pasti tidak bisa dibatasi dan akan menyulut perang yang lebih besar dengan konsekuensi kehancuran dunia secara totalitas.
Konsep compellence tersebut pada tahun 1983 bertransformasi menjadi kebijakan strategis yang lebih prefentif. Apabila sebelumnya Amerika Serikat selalu mengambil langkah yang ofensif dalam menghadapi Uni Sovyet, maka pemerintah Amerika Serikat dalam kendali Ronald Reagan mengambil langkah yang defensif. Adanya kebijakan pemerintah tentang sistem pertahanan anti rudal balistik menggunakan teknologi luar angkasa mengawali perubahan baru strategi Amerika Serikat. Bila sebelumnya segala teknologi luar angkasa Amerika Serikat digunakan untuk mengancam dan menghancurkan lawan maka sekarang ini digunakan untuk menahan dan menghancurkan ancaman berupa rudal balistik yang mengarah ke wilayah Amerika Serikat. Tetapi hal ini menimbulkan begitu banyak pula pro dan kontra. Kerana selain biayanya yang mahal, strategi ini juga melanggar perjanjian anti rudal balistik pada tahun 1972. Dan salah satu kritik terbesar adalah sistem pertahanan baru ini justru akan menjadi stimulus bagi negara lain yaitu Uni Sovyet, untuk mengembangkan senjata yang lebih canggih dan mampu mengalahkan pertahanan Amerika Serikat tersebut. Walaupun banyak sekali kritikan tetapi pemerintah Amerika Serikat tetap menjalankan program Star Wars milik Reagan tersebut, terutama pemerintah yang berasal dari partai republik.
Pada intinya ketiga kebijakan strategis Amerika Serikat tersebut berusaha menghilangkan ketakutan dunia terhadap dampak nuklir, sekaligus mengalihkan fokus utama sumber power negara terhadap sektor militer. Dan apabila dikaitkan dengan konsep balance of power maka hal tersebut terlihat dari perundingan yang terjadi diantara kedua negara, dimana disepakati mengenai pembatasan jumlah produksi nuklir serta pengawasan pemakaiannya baik oleh pihak yang bersangkutan maupun pihak yang berkepentingan.
 




Sources:
Dougherty, James and Manzginrtioz, Robert. 1996. Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Study (4th edition). New York : Longman
Kegley, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 1996. World Politics Trends and Transformation (6th edition). New York: St. Martin Press
Morgan, Patrick M. 2003. Deterrence now. Cambridge University Press

Teori Power, Perimbangan Kekuatan dan Stabilitas Hegemoni

Sampai saat ini masih belum dapat ditentukan definisi pasti mengenai power. Salah satu scholar menuliskan bahwa power sebagai konsep kunci pada teori realis dalam politik internasional, dimana mengakui bahwa ‘definisi tepat dari power tetap menimbulkan kontroversi’ (Waltz 1986:333 dalam Baldwin 2002:177). Robert Giplin (1981:13 dalam Baldwin 2002:177) mendeskripsikan konsep power sebagai ‘salah satu konsep yang paling sukar dideskripsikan dalam studi hubungan internasional.
Hans Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace (1973) mendefinikan power sebagai suatu cara yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain. Sedangkan Kautilya (dalam Baldwin 2002:177), seorang scholar dari India menjelaskan konsep power sebagai sebuah pemilikan kekuatan (atribut) yang berasal dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian.
Ukuran besaran power merupakan sesuatu yang subjektif, tergantung dari sudut pandang manakah yang diambil serta apakah yang dijadikan sumber kekuatan tersebut. Oleh karenanya penentuan kekuatan merupakan hal yang psikologis, dimana yang melihat kekuatan tersebut hanyalah individu yang melihatnya. Joe Stoessinger dalam tulisannya yang berjudul The anatomy of the nation-state and the nature of power (dalam Little dan Smith 1991: 27) menyatakan bahwa “nation’s power may depend in considerable measurement on what other nations think it is or even on what it thinks other nations think it is”. Hal tersebut menunjukkan bahwa power suatu negara sangat relatif, baik jenis maupun ukuran yang dipakai.
Morgenthau beranggapan bahwa wilayah geografis merupakan faktor yang krusial dalam menentukan kekuatan suatu negara. Dia berpendapat bahwa faktor penentu kekuatan suatu negara adalah letak geografisnya (Morgenthau 1973: 117). Beberapa scholars berpendapat bahwa yang menentukan kekuatan suatu negara adalah sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagai contohnya adalah negara-negara di Timur Tengah yang membentuk hegemoni dengan menggunakan minyak sebagai sumber kekuatannya. Ada pula yang mengatakan bahwa populasilah yang menentukan kekuatan suatu negara. Dicontohkan dalam hal ini adalah Cina dan India, dimana kedua negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang potensial serta dipandang sebagai salah satu pilar kekuatan negara. Pemerintahan juga dipandang sebagai kekuatan negara. Sebab, seperti pada kerajaan Romawi kuno dimana pemimpin negara sangat menentukan jalannya suatu negara, pada saat ini pemerintah pun tetap dipandang sebagai roda kekuatan negara. Namun, apa sebenarnya yang menjadi kekuatan suatu negara sangat bergantung pada perspektif yang memandangnya, entah negara tersebut, atau negara lain yang melihat negara tersebut, atau bahkan negara lain yang mengetahui negara tersebut dari negara lain.
Konsep dasar power adalah hubungan antar aktor (terutama negara) dimana aktor yang satu mampu mengontrol aktor yang lainnya. Terdapat dua dimensi penting untuk menggambarkan konsep power, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi Internal yaitu kapasitas untuk melakukan tindakan. Negara dapat melakukan tindakan yang bebas tanpa ada paksaan dan pengaruh dari luar. Dimensi internal ini boleh dikatakan “otonomi”. Dimensi Eksternal, yaitu kapasitas untuk mengotrol perilaku aktor lain. Negara dapat mempengaruhi aktor lain secara aktif maupun pasif, secara implisit maupun eksplisit. Aktor lain yang telah terpengaruhi baik secara pikiran maupun tindakan dianggap sebagai produk / hasil dari pengejewantahan power.
Sedangkan konsep Balance of Power merupakan manifestasi dari konser power (Morgenthau 1973:173) karena pada dasarnya konsep ini merupakan kata lain bentuk equilibrium dalam sistem politik. Asumsi dasar Balance of Power adalah bahwa perang bisa dicegah jika kekuatan (power) setiap aktor berimbang, sehingga secara rasional peluang menang atau kalah sama besar dan mereka memilih untuk tidak saling menyerang. Sehingga perdamaian lebih mudah untuk dicapai, karena perdamaian tersebut secara tidak langsung muncul dari sisi internal pihak masing-masing.
Konsep sistem tata dunia dalam Balance of Power adalah konsep unipolar, bipolar dan multipolar. Menurut Claude sistem multipolar dalam sistem internasional diyakini dapat menghasilkan kondisi Balance of Power yang paling stabil karena suatu negara yang memiliki power lebih dapat ditangkal oleh aliansi negara lainnya. Akan tetapi menurut Waltz, sistem bipolar diyakini dapat memunculkan Balance of Power yang efektif karena masing-masing pihak dapat fokus kepada pihak lainnya tanpa memperhatikan pihak lain (Horowitz, Shale. 2001). Dengan demikian dunia akan tergeneralisasi kedalam dua pihak yang memiliki power yang kurang lebih sama sehingga mereka akan menghilangkan pertikaian merreka sendiri. Akan tetapi konsep perdamaian yang ditawarkan bersifat memaksa, dalam artian masing-masing pihak serta-merta melakukan perdamaian bukan dari inisiatif sendiri, melainkan paksaan dari satu pihak ke pihak yang lain secara tidak langsung. Paksaan tersebut berupa rasa kekhawatiran terhadap pihak lawan yang muncul dikarenakan konsep perimbangan diartikan secara harafiah, dimana masing-masing pihak seharusnya memiliki kekuatan yang sama besar dalam setiap kategori. Paksaan tersebut menjadi suatu tekanan bagi masing-masing pihak, sehingga berpotensi menimbulkan perang underground dimana secara fisik tidak nampak akan tetapi efeknya mempengaruhi seluruh penjuru dunia, seperti contohnya Cold War.
Hans Morgenthau yang merupakan salah satu penganut aliran realis klasik juga mengkritik konsep ini sebagai konsep yang tidak sempurna dan bersifat tidak pasti/tidak nyata. Ketidakpastian ini karena tidak adanya sumber yang lengkap dan dapat dipercaya atas tindakan, evaluasi dan perbandingan keberadaan sebuah kekuatan (power). Selain itu tidak ada kejelasan yang pasti mengenai tingkat equilibrium yang dimaksud. Karena tidak mungkin ada dua negara yang memiliki potensi yang sama, sehingga sulit ditemukan faktor substitusi dari masing-masing kategori yang bisa dikatakan sebagai unsur pembentuk power.
Kritik yang muncul kemudian menyerang tujuan Balance of Power sendiri yang menurut Bolingbroke, Gentz dan Castlereagh untuk menyelenggarakan hegemoni dunia, menyiapkan sistem dan pendukung sistem itu sendiri, menjamin stabilitas dan keamanan bersama, serta menjamin perdamaian abadi (Doughtery dan Pfaltzgraff 1971). Tujuan ini kemudian dimanifestasikan ke dalam cara-cara yang mendapat sorotan karena menjalankan politik tidak etis seperti adu domba, bantuan restrukturasi pasca perang, pembangunan daerah penyangga, aliansi, area pengaruh, intervensi, diplomasi, penyelesaian konflik secara legal, perlucutan senjata, perlombaan senjata serta perang. Karena kepentingan nasional suatu bangsa dapat menjadi ancaman bagi negara lain maka Balance of Power yang secara teori menghindari perang ternyata malah menyebabkan perang itu sendiri.
Teori Hegemonic Stability pertama kali dikemukakan oleh Charles Kindleberger di tahun 1970 dengan fokus perhatian pada peranan negara-negara ‘maju’ (leading states) pada sektor ekonomi. Tujuan utama dari adanya Hegemonic Stability adalah untuk menjaga stabilitas sistem dunia. Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa tindakan dominasi suatu negara adalah dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem ekonomi yang terbuka dan stabil. Teori Hegemonic Stability ini kemudian menuntut tatanan dunia tergabung dalam satu unitarian, yakni dalam konsep unipolar dimana seluruh dunia “patuh” terhadap hegemon yang berkuasa. Konsep unipolar ini mengindikasikan adanya satu negara superpower tunggal, dimana bertugas sebagai stabilisator sistem internasional serta bertindak sebagai hegemon didalamnya. Jika realis melihat power sebagai perhatian utama yang akan diperjuangkan oleh tiap negara maka kaum transnasionalis melihat power akan selalu terlibat dalam perubahan. Arti power menjadi lebih persuasif dan tingkat kekerasannya lebih berkurang.
Untuk menjadi sebuah hegemon, negara tersebut harus memiliki kapabilitas untuk menerapkan sistem peraturan, keinginan yang kuat untuk menjadi sebuah hegemon, serta komitmen terhadap sistem yang dinilai memberikan keuntungan yang mutual. Sedangkan kapabilitas tersebut ditentukan oleh tingkat stabilitas perekonomian, dominasi di bidang teknologi atau ekonomi, serta political power yang di-backed up oleh kekuatan militer (Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986).





Sources:
Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations dalam Handbook of International Relations. Pp. 177-189
Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986. Justice and Power. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Doughtery, J.E and Pfaltzgraff, R.L. 1971. Theoretical Approaches to International Relations dalam Contending Theories of International Relations. Pp. 30-38
Horowitz, Shale. 2001. The Balance of Power: Formal Perfection and Practical Flaws, in Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 6 pp.705-722
Little, Richard dan Smith, Michael. 1991. Perspective on World Politics. New York: Routledge
Mearsheimer, John J. Structural Realism. pp.71-88
Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations. New York: Knopf

Sunday, 4 April 2010

I Love You

my life's full of lieness
I said I do, but I don't
I never do what I say, I am
but,
one think that I never lie
when I say "I Love You"
text u the same thing
because I do feel that
that,
I Love You R
^^


dedicated to my inspiration

Friday, 2 April 2010

Harvard Referencing Style

Note

• Apabila nama pengarang dikutip dalam essay dan merupakan bagian dari kalimat, cantumkan nama pengarang diikuti dengan tahun publikasi dalam kurung.
  Coplin (1992) berpendapat bahwa....
Seperti yang diungkapkan oleh Coplin (1997), pengambilan keputusan kebijakan luar negeri merupakan....

• Apabila nama pengarang tidak dikutip secara langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun dalam kurung, dan letakkan di akhir kalimat.
  .... (Morgan 1982).

• Apabila lebih dari satu pengarang dalam essay dan referensi berasal dari lebih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara berurutan dengan memasukkan tahun dalam kurung.
Woodward (2002) dan Clarke (2004) memiliki pandangan sama. Keduanya menganggap….

• Apabila mengutip pendapat lebih dari satu orang secara tidak langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun terbit secara berurutan dengan dipisahkan tanda titik koma, masukkan dalam kurung.
  .... (Woodward 2002; Clarke 2004).

• Apabila mengutip sebuah pendapat yang disampaikan lebih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara berurutan dan diikuti tahun terbit yang dimasukkan dalam kurung.
  Evans dan Newnham (1998) menyatakan....
  .... (Evans dan Newnham 1998).

• Apabila mengutip sebuah pendapat lebih dari dua pengarang, cantumkan hanya pengarang pertama dan diikuti ”et al.”.
  Snyder et al. (1996) berargumen bahwa….
  …. (Snyder et al. 1996).

• Apabila nama pengarangnya tidak diketahui, cantumkan judul artikel dan tahun terbit. Judul artikel dicetak miring.
Dalam artikel Decision Making as an Approach to Study International Politics (1996), dinyatakan bahwa….

• Apabila tahun terbit tidak diketahui, cantumkan “n.d.” yang berarti no date.
  Smith (n.d.) menuliskan….
  …. (Smith n.d.).

• Apabila mencantumkan nomor halaman
  Lawrence (1966, 124) mengatakan….
  …. (Lawrence 1966, 124).
• Apabila mengutip pendapat dari satu pengarang dan diterbitkan pada tahun yang berbeda, cantumkan nama pengarang disertai tahun ketika dipublikasikan pertama kali.
  Bloggs (1992, 1994) mengajukan tesis bahwa ….
  …. (Bloggs, 1992, 1994).

• Apabila seorang pengarang mengajukan sejumlah pendapat pada tahun yang sama, bedakan dengan mencantumkan huruf kecil setelah tahun publikasi.
Penelitian awal Smith (1993a) menemukan bahwa… tetapi penelitian berikutnya oleh Smith (1993b) tampak bahwa….

• Apabila mengutip pendapat seseorang (sumber pertama) yang tercantum dalam artikel yang ditulis oleh orang yang lain (sumber kedua), sumber pertama dituliskan terlebih dahulu.
  …. (Brown 1966 dalam Bassett 1986).
Dalam penelitiannya, Brown (1966 dalam Basset 1986) menemukan bukti bahwa….
White, seperti dikutip oleh Black (1994), menyarankan….

Bibliography

• Buku dengan satu pengarang
Ulrich, W., 1983. Critical Heuristics of Social Planning. Chicago: University of Chicago Press.

• Buku dengan dua pengarang
Kirk, J. and Munday, R.J., 1988. Narrative Analysis. 3rd ed. Bloomington: Indiana University Press.

• Buku dengan lebih dari dua pengarang
Grace, B. et al., 1988. A History of the World. Princeton, NJ: Princeton University Press.

• Buku hasil editan
Keene, E. ed., 1988. Natural Language. Cambridge: University of Cambridge Press.
Silverman, D.F. and Propp, K.K. eds., 1990. The Active Interview. Beverly Hills, CA: Sage.

• Artikel dalam buku
Smith, J., 1975. A Source of Information. dalam W. Jones, ed. One hundred and One Ways to Find Information about Health. Oxford: Oxford University Press, 1998.
atau apabila mencantumkan halaman
Samson,C., 1970. Problems of Information Studies in History. dalam S. Stone, ed. Humanities Information Research. Sheffield: CRUS, 1980, hlm. 44-68.

• E-book
Fishman, Robert., 2005. The Rise and Fall of Suburbia. [e-book]. Chester: Castle Press. dalam libweb.anglia.ac.uk / E-books [diakses 24 Juli 2006].
Employment Law and Practice. 2005. [CD-ROM]. London: Gee. dalam libweb.anglia.ac.uk/ E-books [diakses 1 Agustus 2007].

• Apabila ada satu pengarang dengan dua buku yang dikutip
Soros, G., 1966a. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press.
------ 1966b. Beyond the Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press.

• Artikel dalam jurnal
Boughton, J.M., 2002. The Bretton Woods Proposal, an Indepth Look. Political Science Quarterly, 42 (6), hlm. 564-78.

• Artikel dalam media massa
Slapper, Gary., 2005. Corporate Manslaughter, New Issues for Lawyers. The Times, 3 September. hlm. 4-5.

• Artikel jurnal yang diambil dari internet
Boughton, J.M., 2002. The Bretton Woods Proposal, an Indepth Look.
Political Science Quarterly, [online]. 42 (6), dalam http://www.pol.upenn/articles, Blackwell Science Synergy [diakses 12 Juni 2005].
Hamill, C., 1999. Academic Essay Writing in the First Person: A Guide for Undergraduates. Nursing Standard, [online] 21 Juli, 13 (44), hlm. 38-40, dalam http://libweb.anglia.ac.uk/ejournals/333 [diakses 12 Juni 2005].
Jenkings, R.,1989. Clashing with Caching. ARIADNE, [online] Issue 21,
10 September, dalam http://www.ariadne.ac.uk/issue21/web-cache/
[diakses 2 Desember 2004].
Wright, A. and Cottee, P., 2000. Consumer Understanding of US and EU Nutrition Labels. British Food Journal [online] 103 (8), hlm. 615-629. Emerald, dalam http://www.emerald-library.com [diakses 8 September 2001].
Beaver, M., 2000. Errant Greenhouse Could Still be Facing Demolition.
Building Design [online] 24 November, hlm. 3, dalam http://www.infotrac.london.galegroup.com/itweb/sbu_uk [diakses 15 Agustus 2003].

• Abstrak jurnal yang diambil dari internet
Boughton, J.M. 2002 The Bretton Woods Proposal, an Indepth Look.
Political Science Quarterly, [online]. 42 (6), abstrak dari Blackwell Science Synergy database, dalam http://www.pol.upenn/articles, Blackwell Science Synergy [diakses 12 Juni 2005].

• E-version dari dokumen laporan tahunan
Marks & Spencer ., 2004. Annual Report 2003-2004. [online]. dalam http://www-marks-and-spencer.co.uk/corporate/annual2003/ [diakses 4 Juni 2005].

• Artikel koran online
Chittenden, M., Rogers, L. and Smith, D., 2003. Focus: Targetitis Ails NHS. Times Online, [internet].1 Juni. dalam http://www.timesonline.co.uk/print/11-1506-669.html [diakses 17 Maret 2005].

• Informasi dari website
National Electronic Library for Health. 2003. Can Walking Make You Slimmer and Healthier? (Hitting the headlines article) [online]. (updated 16 Januari 2005) dalam http://www.nhs.uk.hth.walking [diakses 10 April 2005].

• Publikasi yang tersedia dalam website
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2001. Hypertension in the Elderly. (SIGN publication 20) [internet]. Edinburgh: SIGN (2001)
dalam http://www.sign.ac.uk/pdf/sign49.pdf [diakses 17 Maret 2005].
Boots Group Plc., 2003. Corporate Social Responsibility. [online]. Boots Group Plc. dalam http://www.Boots-Plc.Com/Information/Info.Asp?id=447 [diakses 23 Juli 2005].
Defoe, D., 1999. The Fortunes and The Misfortunes of the Famous Moll Flanders. [online]. Champaign, Illinois: Project Gutenberg. dalam http://Promo.Net/Cgi-Promo/Pg/T9.Cgi?Entry=370&Full=Yes
[diakses 18 November 2005].
Tesco Plc., 2002. Annual Report and Financial Statements 2002 . [online]. Tesco Plc. dalam http://81.201.142.254/Presentresults/Results2001_02/ Prelims/Report/ f [diakses 18 November 2005].

• Korespondensi melalui email
Jones, J. jones@gmail.com, 2005. Mobile Phone Developments. [online]. e-mail kepada R. G. Schmit (r.g.schmit@syy.ac.uk). dikirim Senin 7 Juni 2005, 08.13. dalam http://gog.defer.com/2004_07_01_defer_archive.html [diakses 7 Juli 2005].

• Undang-Undang
UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, Jakarta: DPR RI.

• Publikasi resmi lembaga pemerintah
Buku Putih Departemen Pertahanan RI, 2007. Jakarta: Departemen Pertahanan RI.

• Laporan tahunan
Marks and Spencer, 2004. The Way Forward, Annual Report 2003-2004. London : Marks and Spencer.

• DVD/VCD
Warner Brothers, 2005. Great Films from the 80s: a Selection of Clips from Warner Brothers Top Films from the 1980s. [DVD]. New York: Warner Brothers.
The Habibie Center, 2004. Publikasi 5 Tahun, 1999-2004. [VCD]. Jakarta: The Habibie Center.

• Video (Film)
Pilger, John. 2001. The New Ruler of the World. [video]. Jakarta: Indy Cinema.
Child Growth Foundation., 2004. Health for All 3 the Video Part 1. [video]. London: Child Growth Foundation (narasi oleh D B M Hall).
• Skripsi/Tesis/Disertasi
Mubah, A. Safril. 2006. Pengaruh Kelompok Neokonservatif terhadap Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Memerangi Terorisme pada Periode Pertama Pemerintahan George W. Bush (2001-2005).
Skripsi Sarjana. Surabaya: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Richmond, Julia. 2005. Customer Expectations in the World of Electronic Banking: a Case Study of the Bank of Britain. Ph. D. Anglia Ruskin University.

The Note System

-Note system based on the conventions of the Australian Government Printing Service, Style Manual for Authors, Editors and Printers, 2002
-Mereferensi : adalah sebuah kaidah standar dalam akademi dan himpunan professional yang didesain untuk menginformasikan kepada para pembaca tentang sumber informasi yang yang digunakan dalam sebuah tulisan tertentu.
-Hal tersebut sangat penting karena :
 1. Memberitahukan sumber2 tulisan tersebut
 2. Mengizinkan pembaca untuk menguji, memeriksa data atau informasi
 3. Mengizinkan pembaca untuk memberikan saran atau konsultasi pada sumber kita dengan bebas
 4. Mengindikasikan kedalaman dan makna dari bacaan kita
 5. Memberitahukan kepada para pembaca tentang apa pikiran dan alasan kita menggunakan informasi yang telah kita baca yang kita gunakan sebagai bahan tulisan kita
-Komposisi : -Kuota (kata-kata yang terperinci)
  -Parafrase (Menggunakan ide orang lain dengan bahasa kita sendiri)
  -Ringkasan (Menggunakan inti dari opini, teori, atau data orang lain)
  -Data dan perkiraan orang lain
-The note system : Sebuah percontohan dari sejumlah sistem yang mana jumlah sistem itu digunakan setiap waktu sebagai sebuah referensi yang disebutkan (tertulis, dikutip) dengan maksud dimunculkan dalam bentuk teks.
-Komponen: -Teks dalam yang berfungsi sebagai pengidentifikasi referensi sesuai urutan angka yang digunakan untuk memfokuskan kebutuhan klarifikasi lebih lanjut
  -Percontohan sesuai urutan angka dari berbagai catatan (footnotes/endnotes)
  -Daftar lengkap dari urutan referensi kita sesuai urutan abjad seperti bentuk bibliography atau daftar referensi

-Tingkatan : 1. Kutipan dalam teks
  -Cara untuk mengidentifikasi kutipan untuk referensi yang digunakan dalam teks adalah menggunakan sejumlah superscrip (huruf atau angka yang ditulis di atas) atau sejumlah parentheses (tanda kurung) yang berurutan dan bertalian dari 1 ke 2 ke 3 melalui seluruh teks.
  -Sejumlah superscript atau parentheses itu ditempatkan sedekat mungkin pada poin yang kita fokuskan secara umum di akhir kalimat yang relevan dan secara umum mengikuti tanda baca yang ada.
  2. Footnotes
  -Disebut juga catatan
  -Rangkaian catatan yang berhubungan dengan angka-angka yang digunakan di dalam teks, yang ditempatkan di kaki/bawah halaman (diakhir pernyataan untuk endnotes)
  -Footnotes harus berurutan seperti urutan angka (numerical), kutipan pertama adalah footnote 1, begitu seterusnya.
  -Keuntungan : para pembaca dapat dengan sedehana melemparkan pandangan mereka ke bawah halaman dari sebuat teks untuk mengetahui dari sumber mana referensi yang mereka ingin tahu
  -Footnotes mengidentifikasi pokok2 tertentu dari referensi ex. Kutipan yang mengidentifikasi lokasi dari diagram atau ide2 tertentu
-Pengulangan referensi dalam pekerjaan yang sama
 Untuk yang pertama kali, sumber ditulis sedetail mungkin pada footnotes or end notes yang pertama, jadi misalkan nanti ada pengulangan kata atau bagian tertentu yang ditekankan, kita dapat menggunakan informasi seminimal mungkin untuk yang kedua kali atau disebut juga singkatan, ex, nama akhir penulis, singkatan judul tulisan yang diperpendek.
-Daftar pustaka

Thursday, 22 April 2010

Major Theory in International Relations: Marxism and Structuralism

0 comments
Marxisme
Teori Marxisme lahir dari pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang filosofis politik dan revolusionis berkebangsaan Jerman, serta Friedrich Engels (1820-1895), revolusioner ekonomi politik yang juga berkebangsaan Jerman. Mereka berdua membangun suatu pemikiran politik yang mereka sebut sebagai sosialisme ilmiah yang kemudian dipahami sebagai komunisme. Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels menempatkan landasan konseptual terhadap revolusi dan rezim komunis pada abad ke-20. Pada tahun 1847 mereka bergabung dalam kelompok kecil pemimpin kelas pekerja dalam Liga Komunis yang tak lama kemudian mereka diminta untuk merombak ulang program kelompok tersebut. Dalam Communist Manifesto (1848) Marx dan Engels meleburkan semua pembaharuan yang terjadi sebelumnya yang disebut sebagai sosialis utopian, mengklaim bahwa harapan mereka terhadap properti komunal tidak akan dapat dicapai dalam masyarakat kapitalistik. Marx dan Engels mendorong para pekerja di dunia untuk bersatu dalam mencapai sosialisme ilmiah, atau komunisme. Berawal dari teori filosofis Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, mereka mengumumkan komunisme sebagai teori yang tidak sentimental yang berasal dari hukum kekal dari sejarah.
Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal. Periode kolonialisme membawa masuk berbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk kesempatan baru dalam bentuk dependensi (ketergantungan).
Teori Marxisme menolak akan pandangan kaum Liberalis dan Realis yang lebih mengutamakan aspek politik daripada aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan fokus utama Marxisme adalah aspek ekonomi, sedangkan Realisme dan Liberalisme lebih fokus pada konflik dan kerja sama antar negara. Dalam hubungan antara ekonomi dan politik, kaum Marxis sepakat dengan kaum Merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat berkaitan. Keduanya menolak pandangan kaum liberal tentang ekonomi otonom dimana sistem ekonomi dapat berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa campur tangan politik. Mereka juga menolak pandangan kaum realis dimana politik yang mempengaruhi ekonomi. Tetapi sementara kaum merkantilis melihat ekonomi sebagai alat politik, kaum marxis menempatkan ekonomi pertama dan politik yang kedua, yakni ekonomi yang mempengaruhi politik. Marxisme juga menolak pandangan kaum Realis dan Liberalis mengenai relasi antar negara, dimana kaum realis memandang hubungan internasional sebagai zero-sum game (win-lose) dan kaum liberalis yang memandang hubungan internasional sebagai positive-sum gam (win-win). Menurut pandangan Marxisme, setiap hubungan relasional pasti konfliktual. Lebih spesifik lagi, Marx menyatakan bahwa dalam sistem internasional selalu terjadi konflik antar kelas. Hal ini menunjukkan bahwa Marx menspesifikasi aktor-aktor dalam hubungan internasional dalam kelas bourgeoisie dan kelas proletariat, dimana terdapat hubungan interdependensi antar kelas, sehingga konflik antar kelas tidak dapat dihindari yang dikarenakan kesenjangan antara kelas bourgeoisie dengan kelas proletariat.
Marx mengakui bahwa eksploitasi terhadap kaum pekerja oleh kaum kapital adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu wujud relasi interdepensi antar kelas sosial. Hubungan antar kelas dalam sistem sosial, menurut Marx, akan berlangsung secara harmonis apabila terjadi konflik antar kelas di dalamnya. Masih menurut pemikiran Marx, konflik yang dikarenakan eksploitasi kelas proletariat oleh kelas bourgeoisie tersebut akan memicu timbulnya aksi dan reaksi antar kelas yang disebutnya sebagai harmonisasi relasi antar kelas sosial.
Impian kaum Marxism adalah penghapusan kelas-kelas dalam sistem sosial maupun sistem internasional. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk menghilangkan konflik antar kelas adalah dengan cara peleburan antara kedua kelas tersebut sehingga kesenjangan antara kedua kelas dapat dihilangkan. Pada negara-negara yang menganut konsep Marxisme (yang kemudian disebut dengan sistem komunis Marxis), hal ini direalisasikan dengan, misalnya, pengalihan kepemilikan faktor produksi dari individu dan swasta ke pemerintah serta pemerataan pendapatan masing-masing warga negara.
Pemikiran Marxisme ini muncul pada kondisi industrialisasi, dimana terdapat pembagian struktur masyarakat dalam dua kelompok, yakni kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja. Teori ini mengasumsikan bahwa dalam sistem sosial aktor-aktor yang terlibat di dalamnya terbagi dalam dua kelas, yakni kelas bourgeoisie dan kelas proletariat. Kelas bourgeoisie merupakan kalangan yang memiliki faktor produksi, sedangkan kelas proletariat merupakan kalangan yang memiliki hasil produksi. Berbeda dengan kaum liberalis yang lebih memfokuskan perhatian pada kaum kapital, maka kaum sosialis lebih memfokuskan perhatian pada kaum pekerja. Menurut pandangan kaum sosialis, sistem perekonomian sangat bergantung pada kaum proletariat sebagai pemilik SDM. Asumsi mereka, apabila kelas proletariat membatasi hasil produksi mereka maka kegiatan produksi milik kelas bourgeoisie tidak akan berjalan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, kaum proletariat memgang kendali atas sistem perekonomian.
Dasar pemikiran Karl Marx mengenai pembagian kelas tersebut dalam hubungan internasional juga diimplementasikan dalam sistem internasional. Negara-negara maju dimana dalam sistem internasional merupakan negara yang kuat dan berkuasa disebut negara core dan negara berkembang disebut negara periphery. Fenomena kesenjangan antara negara core dengan negara periphery disebut dengan istilah comparative gain (menurut kaum kapitalis) atau absolute gain (menurut kaum marxis). Dari sudut pandang kaum liberalis, comparative gain dipandang sebagai keuntungan kolektif yang timbul karena adanya hubungan interdependensi antar negara. Namun kaum marxisme memandang fenomena tersebut sebagai absolute gain dimana relasi interdependensi antar negara diwujudkan dalam bentuk yang eksploitatif secara halus oleh negara core terhadap negara periphery.

Strukturalisme (Neo-Marxisme)
Strukturalisme (neo-Marxisme) muncul dikarenakan banyaknya kritik yang ditujukan terhadap pemikiran Marxis. Kritik tersdebut terutama datang dari kalangan Realis. Menurut kaum Realis, kalangan Marxis mengabaikan peranan negara yang krusial, baik secara defensif maupun ofensif. Kaum Realis memandang bahwa negara merupakan satu-satunya institusi legal yang dapat melindungi individu terhadap berbagai ancaman dari luar dirinya dikarenakan negara memiliki otoritasi berupa hukum dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengikat dan melindungi individu yang ada didalamnya.
Selain dari kalangan Realis, kritik terhadap pemikiran Marxis ini juga muncul dari critical theory dari Frankfurt School dimana dipelopori oleh Habermas. Menurutnya, keadaan manusia dikembangkan dengan kemampuan etis dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat. Dengan berlandaskan pemikiran ini kemudian muncul pembaharuan dari perspektif Marxisme yang kemudian dikenal dengan istilah Neo-marxisme.
Yang membedakan Strukturalisme dengan pendahulunya adalah unsur-unsur konseptual dan sistematis mengenai konsep klasifikasi kelas dan pemerataan distribusi. Pada perspektif Strukturalisme ini sistem klasifikasi tidak hanya diterapkan pada sistem sosial tetapi juga sistem internasional. Karenanya perspektif ini memiliki peranan dalam munculnya teori dependensi dan teori sistem dunia ala Wallerstein. Teori dependensi membagi negara-negara di dunia dalam dua kubu yaitu negara maju dan negara dunia ketiga. Hubungan kedua negara tersebut konfliktual dan interdependensi dimana hegemoni negara maju tidak dapat dihindari karena negara maju membutuhkan adanya negara dunia ketiga untuk menunjukkan kekuasaannya, sedangkan negara dunia ketiga tidak memiliki keberdayaan untuk melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap negara maju. Konsep teori dependensi ini kemudian diadopsi oleh Wallerstein dimana negara maju disebut dengan negara core sedangkan negara dunia ketiga disebut dengan negara periphery.
Teori sistem dunia ala Wallerstein ini merupakan penerapan klasifikasi negara-negara di lingkup internasional dimana negara core merupakan negara pemilik kapital, dominan hasil produksi dan penguasa modal. Negara semi-periphery merupakan negara yang berperan untuk menjaga keseimbangan antara negara core dengan negara periphery, sedangkan negara periphery merupakan negara pemilik raw material yang biasanya menjadi objek eksploitasi negara core.

Kesimpulan dan Kritik terhadap Marxisme dan Strukturalisme
Pada intinya, kaum Marxis serta kaum Strukturalis memandang adanya pembagian aktor-aktor, baik dalam sistem sosial maupun sistem internasional, dalam dua kelompok dimana hubungan antara kedua kelas tersebut berlangsung konfliktual dan cenderung eksploitatif. Relasi antar kelas tidak pernah terjalin secara damai dikarenakan adanya eksploitasi tersebut. Sistem internasional dipandang kaum Marxis sebagai absolute gain dimana selalu terjadi upaya eksploitasi terselubung terhadap negara berkembang. Impian kaum Marxis mengenai pemerataan tidak akan terwujud karena akan memicu reaksi chaos. Hal tersebut dikarenakan tidak diakuinya kreativitas individu, penghapusan hak asasi manusia, pembatasan ruang lingkup gerak individu, serta memungkinkan sentralisasi faktor dan hasil produksi pada salah satu pihak dalam pemerintahan. Selain itu kegiatan pemerataan hasil produksi pada kenyataannya bukan malah menjadi solusi kesejahteraan akan tetapi malah menimbulkan hegemoni baru sebab pihak yang bertugas membagi rata hasil produksi tersebut memungkinkan untuk adanya kekuasaan baru di dalam komunitas tersebut. Hal inilah yang tidak akan pernah terjawab oleh konsep ini dikarenakan sistem ala Marxis ini tidak akan menimbulkan situasi damai yang permanen terutama jika diterapkan di lingkup negara.
Konsep Marxism yang sebenarnya menghendaki kebebasan sepenuhnya terhadap individu, dimana tidak ada yang memimpin dan yang dipimpin, kemudian dibelokkan oleh negara-negara yang menggunakan konsep komunis Marxis dalam sistem politik dan pemerintahan mereka. Negara-negara tersebut (mis. Rusia dan Cina) kemudian memiliki satu orang pemimpin yang sangat berkuasa dan memiliki absolute power dimana pemimpin tersebut mengatur jalannya sistem kenegaraan mereka dan memiliki pemahaman sendiri mengenai konsep komunis Marxis (mis. Leninisme, Stalinisme, Maoisme).







Sources:
Baylis, John and Smith, Steve. 2005. The Globalization Of World Politics 3th Edition. New York: Oxford University Press
Dahendrof, Ralph. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Stanford University Press
Jackson, Robert and Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, Inc.
Jones, Richard Wyn. 2001. Critical Theory and World Politics. London: Lynne Reinner Publisher, Inc.
Shimko, Keith L. 2005. International Relations, Perspectives and Controvercies. New York: Houghton Mifflin, Co.

Sunday, 18 April 2010

Strategic Deterrence, Military Defense, and Compliance

1 comments
Konsep effective deterrence muncul pada era Perang Dingin karena pada masa tersebut muncul pola bipolar dalam sistem internasional, dimana hal tersebut meresahkan dua belah pihak, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Hal tersebut kemudian menimbulkan rasa persaingan yang lebih besar diantara keduanya, dimana Amerika Serikat memandang dirinya merupakan penguasa tunggal sedangkan Uni Sovyet merupakan penghalang ambisi mereka untuk menguasai dunia. Kepemilikan nuklir pun dipandang sebagai sumber power bagi kedua negara. Dan karena tidak memungkinkan terjadinya perang terbuka maka mereka menggunakan cara lain untuk memenangkan persaingan, yakni dengan mempublikasikan kemajuan masing-masing negara dalam usaha pengembangan nuklir. Pada akhirnya Amerika terlihat memenangkan persaingannya, yang dibuktikan dengan tingkat keseganan dunia terhadap negara tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Sovyet. Hal ini tidak lepas dari konsep liberalisme Amerika Serikat yang dilekatkan dengan pandangan modernisme, sehingga segala hal yang berbau Amerika pasti lebih hebat, termasuk ideologinya.
Namun seiring dengan perkembangannya, superioritas nuklir Amerika Serikat menurun seiring berkembangnya teknologi serupa di negara-negara lain seperti Uni Soviet. Para policy makers mulai mempertanyakan kembali fungsi dari senjata penghancur massa ini sebagai instrumen politik luar negeri. Kesadaran dan kengerian akan buruknya akibat dari penggunaan senjata nuklir ini menyebabkan Amerika Serikat kemudian mengubah kebijakan strategis yang digunakan sebagai bentuk pertahanan terhadap Uni Sovyet, yang secara timeline dibagi menjadi tiga, yakni compellence (1945-1962), mutual deterrence (1962-1983) dan defense (1983-1993) (Kegley dan Wittkopf 1996).
Konsep compellence secara harfiah dapat diartikan sebagai pemaksaan. Dalam konteks militer, compellence berarti pemaksaan terhadap pihak lawan untuk menghentikan tindakan pihak lawan tersebut. Patrick Morgan mendefinisikan compellence sebagai penggunaan suatu tekanan atau ancaman untuk menggerakkan pihak lain agar menghentikan suatu tindakannya yang telah dilakukan atau melakukan suatu tindakan yang belum dilakukan (Morgan 2003). Konsep ini muncul pada masa pasca Perang Dingin pada tahun 1945 dan berakhir dengan ditandai oleh Krisis Misil di Kuba pada tahun 1965. Konsep ini dilatarbelakangi oleh munculnya Amerika Serikat sebagai negara nuklir pertama yang belum memiliki tandingan, dan berusaha memaksa negara-negara lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Dalam hal ini Amerika Serikat memaksakan ideologi mereka terhadap negara lain bahwa nuklir merupakan sumber power yang paling besar, sehingga negara yang memilikinya dapat dikatakan sebagai penguasa dunia.
Konsep ini mulai terjadi pada tahun 1950an pada era pemerintahan Dwight Eisenhower, dimana pada saat itu menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles mengancam musuh-musuhnya dengan proyek pengembangan nuklirnya. Selama masa ini, pola strategi massive retaliation diperbolehkan bagi penghancuran dan penahanan ekspansi Uni Sovyet, baik yang merupakan ideologis maupun secara fisik. Pola ini dikenal juga sebagai counter value targeting strategy karena mengarah ke senjata-senjata Amerika Serikat yang dianggap vital oleh Uni Sovyet. Strategi lainnya adalah counter force targeting strategy dimana segala kemiliteran Amerika Serikat diarahkan terpusat pada pusat kekuatan militer Uni Soviet.
Hal yang mengakhiri kebijakan strategis Amerika Serikat ini adalah dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet hampir terlibat di dalam perang nuklir berskala besar di Kuba. Akan tetapi strategi yang diterapkan Amerika Serikat membuat kedua negara tersebut berpikir dua kali dan hal inilah yang akhirnya juga mempengruhi perubahan strategi Amerika Serikat dari compellence menuju deterrence.
Deterrence, berasal dari kata deterrent secara harafiah diartikan sebagai penolakan atau pencegahan. Deterrence adalah salah satu kebijakan strategis yang muncul setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki Jepang oleh Amerika Serikat dan adanya perubahan daerah internasional balance of power menjadi balance of terror (Wittkopf 1981). Kata detterence sendiri merupakan sebuah produk dari nuclear age (Plazgraff 1996) yang secara garis besar, prakondisi dari strategi ini adalah bila suatu negara menjadi syarat terhadap penciptaan situasi deterrence.
Menurut Patrick M. Morgan dalam bukunya Deterrence Now (2003), deterrence adalah sebuah praktek lama dalam politik internasional dan reaksi wilayah lainnya. Konsep tersebut telah ditentukan oleh cukup banyak pemikiran dan studi, walaupun samapi sekarang konsep tersebut tidak mudah untuk dipahami dan dijelaskan. Deterrence merupakan salah satu dari konsep diplomasi dan militer. Konsep ini merupakan strategi militer yang berkembang pada era Perang Dingin, sekaligus digunakan sebagai sebuah strategi pada masa Perang Dingin dan merupakan sebuah kondisi dimana para aktor superpower saling melakukan pencegahan dalam perang formal yang frontal, yaitu dengan dimilikinya senjata pemusnah massal, senjata nuklir, oleh para aktor superpower (Amerika Serikat dan Uni Sovyet).
Menurut Alexander L George dan Richard Smoke, deterrence dapat diartikan sebagai serangkaian persuasi yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk agar pihak pertama melakukan keinginan pihak kedua (Dougherty dan Manzginrtioz 1996). Definisi ini dirangkum oleh Glenn Synder dengan kebijakan stick and carrot yang selama ini dipraktekkan oleh AS. Pihak yang satu mencegah pihak yang lain melakukan suatu aksi melalui ancaman baik implisit maupun eksplisit, dengan pemberian sanksi positif berupa hadiah jika pihak kedua menaati larangan pihak pertama dan pemberian sanksi negatif berupa hukuman jika pihak kedua berlaku sebaliknya. Deterrence hanya dapat dilakukan dalam keadaan damai walaupun damai yang dimakudkan adalah damai yang semu. Keadaan damai ini diperlukan agar teror yang dilancarkan dapat mencapai sasaran.
Kebijakan strategis Amerika Serikat ini berlangsung pada masa pasca Krisis Kuba hingga pada tahun 1983, dimana pada saat itu presiden Ronald Reagan menganut paham pertahanan. Pada strategi ini nuklir tidak lagi digunakan secara nyata untuk memaksa lawan mengubah perilakunya, melainkan justru senjata hanya dipakai untuk menakut-nakuti lawan agar lawan berharap senjata tersebut tidak sampai digunakan. Perubahan strategi Amerika Serikat ini merupakan suatu bukti nyata bahwa nuklir tidak lagi bisa digunakan untuk mengancam lawan untuk merubah perilakunya. Dengan menggunakan taktik extended deterrence, kedua negara dapat melindungi wilayah masing-masing. Dan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada kawasan Eropa dengan menempatkan pasukan militer dan persenjataan nuklir disana justru semakin meningkatkan intensitas perlombaan senjata. Ini karena sikap realisme yang dimiliki kedua adidaya, yaitu selalu curiga dan merasa terancam atas keberadaan satu dan yang lain. Sehingga menyebabkan prinsip deterrence saat itu adalah mutual assured destruction (MAD), dimana apabila gencatan senjata antara kedua negara terjadi maka kedua belah pihak akan hancur siapapun yang melakukan penyerangan pertama karena setiap negara memiliki kemampuan untuk melakukan serangan balik yang mematikan. Karena sikap ketakutan setiap negara itu maka konsep-konsep Strategic Arms Limitation Talks (SALT) bahkan tidak mampu untuk menghentikan perlombaan senjata ini. Di Amerika Serikat sendiri justru muncul satu kelompok yang menawarkan ide nuklir sebagai alat untuk menyerang (nuclear utilization theory). Mereka berpendapat bahwa Uni Soviet telah terlebih dahulu menyiapkan nuklirnya untuk perang sehingga untuk memperkecil akibatnya dengan menciptakan tekhnologi mutahir sehingga tidak akan terjadi kehancuran total. Tetapi pendapat ini ditentang kelompok-kelompok yang mendukung MAD. Seperti yang dikatakan oleh Robert McNamara, bahwa perang nuklir hamper pasti tidak bisa dibatasi dan akan menyulut perang yang lebih besar dengan konsekuensi kehancuran dunia secara totalitas.
Konsep compellence tersebut pada tahun 1983 bertransformasi menjadi kebijakan strategis yang lebih prefentif. Apabila sebelumnya Amerika Serikat selalu mengambil langkah yang ofensif dalam menghadapi Uni Sovyet, maka pemerintah Amerika Serikat dalam kendali Ronald Reagan mengambil langkah yang defensif. Adanya kebijakan pemerintah tentang sistem pertahanan anti rudal balistik menggunakan teknologi luar angkasa mengawali perubahan baru strategi Amerika Serikat. Bila sebelumnya segala teknologi luar angkasa Amerika Serikat digunakan untuk mengancam dan menghancurkan lawan maka sekarang ini digunakan untuk menahan dan menghancurkan ancaman berupa rudal balistik yang mengarah ke wilayah Amerika Serikat. Tetapi hal ini menimbulkan begitu banyak pula pro dan kontra. Kerana selain biayanya yang mahal, strategi ini juga melanggar perjanjian anti rudal balistik pada tahun 1972. Dan salah satu kritik terbesar adalah sistem pertahanan baru ini justru akan menjadi stimulus bagi negara lain yaitu Uni Sovyet, untuk mengembangkan senjata yang lebih canggih dan mampu mengalahkan pertahanan Amerika Serikat tersebut. Walaupun banyak sekali kritikan tetapi pemerintah Amerika Serikat tetap menjalankan program Star Wars milik Reagan tersebut, terutama pemerintah yang berasal dari partai republik.
Pada intinya ketiga kebijakan strategis Amerika Serikat tersebut berusaha menghilangkan ketakutan dunia terhadap dampak nuklir, sekaligus mengalihkan fokus utama sumber power negara terhadap sektor militer. Dan apabila dikaitkan dengan konsep balance of power maka hal tersebut terlihat dari perundingan yang terjadi diantara kedua negara, dimana disepakati mengenai pembatasan jumlah produksi nuklir serta pengawasan pemakaiannya baik oleh pihak yang bersangkutan maupun pihak yang berkepentingan.
 




Sources:
Dougherty, James and Manzginrtioz, Robert. 1996. Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Study (4th edition). New York : Longman
Kegley, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 1996. World Politics Trends and Transformation (6th edition). New York: St. Martin Press
Morgan, Patrick M. 2003. Deterrence now. Cambridge University Press

Teori Power, Perimbangan Kekuatan dan Stabilitas Hegemoni

0 comments
Sampai saat ini masih belum dapat ditentukan definisi pasti mengenai power. Salah satu scholar menuliskan bahwa power sebagai konsep kunci pada teori realis dalam politik internasional, dimana mengakui bahwa ‘definisi tepat dari power tetap menimbulkan kontroversi’ (Waltz 1986:333 dalam Baldwin 2002:177). Robert Giplin (1981:13 dalam Baldwin 2002:177) mendeskripsikan konsep power sebagai ‘salah satu konsep yang paling sukar dideskripsikan dalam studi hubungan internasional.
Hans Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace (1973) mendefinikan power sebagai suatu cara yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain. Sedangkan Kautilya (dalam Baldwin 2002:177), seorang scholar dari India menjelaskan konsep power sebagai sebuah pemilikan kekuatan (atribut) yang berasal dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian.
Ukuran besaran power merupakan sesuatu yang subjektif, tergantung dari sudut pandang manakah yang diambil serta apakah yang dijadikan sumber kekuatan tersebut. Oleh karenanya penentuan kekuatan merupakan hal yang psikologis, dimana yang melihat kekuatan tersebut hanyalah individu yang melihatnya. Joe Stoessinger dalam tulisannya yang berjudul The anatomy of the nation-state and the nature of power (dalam Little dan Smith 1991: 27) menyatakan bahwa “nation’s power may depend in considerable measurement on what other nations think it is or even on what it thinks other nations think it is”. Hal tersebut menunjukkan bahwa power suatu negara sangat relatif, baik jenis maupun ukuran yang dipakai.
Morgenthau beranggapan bahwa wilayah geografis merupakan faktor yang krusial dalam menentukan kekuatan suatu negara. Dia berpendapat bahwa faktor penentu kekuatan suatu negara adalah letak geografisnya (Morgenthau 1973: 117). Beberapa scholars berpendapat bahwa yang menentukan kekuatan suatu negara adalah sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagai contohnya adalah negara-negara di Timur Tengah yang membentuk hegemoni dengan menggunakan minyak sebagai sumber kekuatannya. Ada pula yang mengatakan bahwa populasilah yang menentukan kekuatan suatu negara. Dicontohkan dalam hal ini adalah Cina dan India, dimana kedua negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang potensial serta dipandang sebagai salah satu pilar kekuatan negara. Pemerintahan juga dipandang sebagai kekuatan negara. Sebab, seperti pada kerajaan Romawi kuno dimana pemimpin negara sangat menentukan jalannya suatu negara, pada saat ini pemerintah pun tetap dipandang sebagai roda kekuatan negara. Namun, apa sebenarnya yang menjadi kekuatan suatu negara sangat bergantung pada perspektif yang memandangnya, entah negara tersebut, atau negara lain yang melihat negara tersebut, atau bahkan negara lain yang mengetahui negara tersebut dari negara lain.
Konsep dasar power adalah hubungan antar aktor (terutama negara) dimana aktor yang satu mampu mengontrol aktor yang lainnya. Terdapat dua dimensi penting untuk menggambarkan konsep power, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi Internal yaitu kapasitas untuk melakukan tindakan. Negara dapat melakukan tindakan yang bebas tanpa ada paksaan dan pengaruh dari luar. Dimensi internal ini boleh dikatakan “otonomi”. Dimensi Eksternal, yaitu kapasitas untuk mengotrol perilaku aktor lain. Negara dapat mempengaruhi aktor lain secara aktif maupun pasif, secara implisit maupun eksplisit. Aktor lain yang telah terpengaruhi baik secara pikiran maupun tindakan dianggap sebagai produk / hasil dari pengejewantahan power.
Sedangkan konsep Balance of Power merupakan manifestasi dari konser power (Morgenthau 1973:173) karena pada dasarnya konsep ini merupakan kata lain bentuk equilibrium dalam sistem politik. Asumsi dasar Balance of Power adalah bahwa perang bisa dicegah jika kekuatan (power) setiap aktor berimbang, sehingga secara rasional peluang menang atau kalah sama besar dan mereka memilih untuk tidak saling menyerang. Sehingga perdamaian lebih mudah untuk dicapai, karena perdamaian tersebut secara tidak langsung muncul dari sisi internal pihak masing-masing.
Konsep sistem tata dunia dalam Balance of Power adalah konsep unipolar, bipolar dan multipolar. Menurut Claude sistem multipolar dalam sistem internasional diyakini dapat menghasilkan kondisi Balance of Power yang paling stabil karena suatu negara yang memiliki power lebih dapat ditangkal oleh aliansi negara lainnya. Akan tetapi menurut Waltz, sistem bipolar diyakini dapat memunculkan Balance of Power yang efektif karena masing-masing pihak dapat fokus kepada pihak lainnya tanpa memperhatikan pihak lain (Horowitz, Shale. 2001). Dengan demikian dunia akan tergeneralisasi kedalam dua pihak yang memiliki power yang kurang lebih sama sehingga mereka akan menghilangkan pertikaian merreka sendiri. Akan tetapi konsep perdamaian yang ditawarkan bersifat memaksa, dalam artian masing-masing pihak serta-merta melakukan perdamaian bukan dari inisiatif sendiri, melainkan paksaan dari satu pihak ke pihak yang lain secara tidak langsung. Paksaan tersebut berupa rasa kekhawatiran terhadap pihak lawan yang muncul dikarenakan konsep perimbangan diartikan secara harafiah, dimana masing-masing pihak seharusnya memiliki kekuatan yang sama besar dalam setiap kategori. Paksaan tersebut menjadi suatu tekanan bagi masing-masing pihak, sehingga berpotensi menimbulkan perang underground dimana secara fisik tidak nampak akan tetapi efeknya mempengaruhi seluruh penjuru dunia, seperti contohnya Cold War.
Hans Morgenthau yang merupakan salah satu penganut aliran realis klasik juga mengkritik konsep ini sebagai konsep yang tidak sempurna dan bersifat tidak pasti/tidak nyata. Ketidakpastian ini karena tidak adanya sumber yang lengkap dan dapat dipercaya atas tindakan, evaluasi dan perbandingan keberadaan sebuah kekuatan (power). Selain itu tidak ada kejelasan yang pasti mengenai tingkat equilibrium yang dimaksud. Karena tidak mungkin ada dua negara yang memiliki potensi yang sama, sehingga sulit ditemukan faktor substitusi dari masing-masing kategori yang bisa dikatakan sebagai unsur pembentuk power.
Kritik yang muncul kemudian menyerang tujuan Balance of Power sendiri yang menurut Bolingbroke, Gentz dan Castlereagh untuk menyelenggarakan hegemoni dunia, menyiapkan sistem dan pendukung sistem itu sendiri, menjamin stabilitas dan keamanan bersama, serta menjamin perdamaian abadi (Doughtery dan Pfaltzgraff 1971). Tujuan ini kemudian dimanifestasikan ke dalam cara-cara yang mendapat sorotan karena menjalankan politik tidak etis seperti adu domba, bantuan restrukturasi pasca perang, pembangunan daerah penyangga, aliansi, area pengaruh, intervensi, diplomasi, penyelesaian konflik secara legal, perlucutan senjata, perlombaan senjata serta perang. Karena kepentingan nasional suatu bangsa dapat menjadi ancaman bagi negara lain maka Balance of Power yang secara teori menghindari perang ternyata malah menyebabkan perang itu sendiri.
Teori Hegemonic Stability pertama kali dikemukakan oleh Charles Kindleberger di tahun 1970 dengan fokus perhatian pada peranan negara-negara ‘maju’ (leading states) pada sektor ekonomi. Tujuan utama dari adanya Hegemonic Stability adalah untuk menjaga stabilitas sistem dunia. Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa tindakan dominasi suatu negara adalah dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem ekonomi yang terbuka dan stabil. Teori Hegemonic Stability ini kemudian menuntut tatanan dunia tergabung dalam satu unitarian, yakni dalam konsep unipolar dimana seluruh dunia “patuh” terhadap hegemon yang berkuasa. Konsep unipolar ini mengindikasikan adanya satu negara superpower tunggal, dimana bertugas sebagai stabilisator sistem internasional serta bertindak sebagai hegemon didalamnya. Jika realis melihat power sebagai perhatian utama yang akan diperjuangkan oleh tiap negara maka kaum transnasionalis melihat power akan selalu terlibat dalam perubahan. Arti power menjadi lebih persuasif dan tingkat kekerasannya lebih berkurang.
Untuk menjadi sebuah hegemon, negara tersebut harus memiliki kapabilitas untuk menerapkan sistem peraturan, keinginan yang kuat untuk menjadi sebuah hegemon, serta komitmen terhadap sistem yang dinilai memberikan keuntungan yang mutual. Sedangkan kapabilitas tersebut ditentukan oleh tingkat stabilitas perekonomian, dominasi di bidang teknologi atau ekonomi, serta political power yang di-backed up oleh kekuatan militer (Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986).





Sources:
Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations dalam Handbook of International Relations. Pp. 177-189
Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986. Justice and Power. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Doughtery, J.E and Pfaltzgraff, R.L. 1971. Theoretical Approaches to International Relations dalam Contending Theories of International Relations. Pp. 30-38
Horowitz, Shale. 2001. The Balance of Power: Formal Perfection and Practical Flaws, in Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 6 pp.705-722
Little, Richard dan Smith, Michael. 1991. Perspective on World Politics. New York: Routledge
Mearsheimer, John J. Structural Realism. pp.71-88
Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations. New York: Knopf

Sunday, 4 April 2010

I Love You

0 comments
my life's full of lieness
I said I do, but I don't
I never do what I say, I am
but,
one think that I never lie
when I say "I Love You"
text u the same thing
because I do feel that
that,
I Love You R
^^


dedicated to my inspiration

Friday, 2 April 2010

Harvard Referencing Style

0 comments
Note

• Apabila nama pengarang dikutip dalam essay dan merupakan bagian dari kalimat, cantumkan nama pengarang diikuti dengan tahun publikasi dalam kurung.
  Coplin (1992) berpendapat bahwa....
Seperti yang diungkapkan oleh Coplin (1997), pengambilan keputusan kebijakan luar negeri merupakan....

• Apabila nama pengarang tidak dikutip secara langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun dalam kurung, dan letakkan di akhir kalimat.
  .... (Morgan 1982).

• Apabila lebih dari satu pengarang dalam essay dan referensi berasal dari lebih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara berurutan dengan memasukkan tahun dalam kurung.
Woodward (2002) dan Clarke (2004) memiliki pandangan sama. Keduanya menganggap….

• Apabila mengutip pendapat lebih dari satu orang secara tidak langsung dalam essay, cantumkan nama pengarang dan tahun terbit secara berurutan dengan dipisahkan tanda titik koma, masukkan dalam kurung.
  .... (Woodward 2002; Clarke 2004).

• Apabila mengutip sebuah pendapat yang disampaikan lebih dari satu pengarang, cantumkan nama pengarang secara berurutan dan diikuti tahun terbit yang dimasukkan dalam kurung.
  Evans dan Newnham (1998) menyatakan....
  .... (Evans dan Newnham 1998).

• Apabila mengutip sebuah pendapat lebih dari dua pengarang, cantumkan hanya pengarang pertama dan diikuti ”et al.”.
  Snyder et al. (1996) berargumen bahwa….
  …. (Snyder et al. 1996).

• Apabila nama pengarangnya tidak diketahui, cantumkan judul artikel dan tahun terbit. Judul artikel dicetak miring.
Dalam artikel Decision Making as an Approach to Study International Politics (1996), dinyatakan bahwa….

• Apabila tahun terbit tidak diketahui, cantumkan “n.d.” yang berarti no date.
  Smith (n.d.) menuliskan….
  …. (Smith n.d.).

• Apabila mencantumkan nomor halaman
  Lawrence (1966, 124) mengatakan….
  …. (Lawrence 1966, 124).
• Apabila mengutip pendapat dari satu pengarang dan diterbitkan pada tahun yang berbeda, cantumkan nama pengarang disertai tahun ketika dipublikasikan pertama kali.
  Bloggs (1992, 1994) mengajukan tesis bahwa ….
  …. (Bloggs, 1992, 1994).

• Apabila seorang pengarang mengajukan sejumlah pendapat pada tahun yang sama, bedakan dengan mencantumkan huruf kecil setelah tahun publikasi.
Penelitian awal Smith (1993a) menemukan bahwa… tetapi penelitian berikutnya oleh Smith (1993b) tampak bahwa….

• Apabila mengutip pendapat seseorang (sumber pertama) yang tercantum dalam artikel yang ditulis oleh orang yang lain (sumber kedua), sumber pertama dituliskan terlebih dahulu.
  …. (Brown 1966 dalam Bassett 1986).
Dalam penelitiannya, Brown (1966 dalam Basset 1986) menemukan bukti bahwa….
White, seperti dikutip oleh Black (1994), menyarankan….

Bibliography

• Buku dengan satu pengarang
Ulrich, W., 1983. Critical Heuristics of Social Planning. Chicago: University of Chicago Press.

• Buku dengan dua pengarang
Kirk, J. and Munday, R.J., 1988. Narrative Analysis. 3rd ed. Bloomington: Indiana University Press.

• Buku dengan lebih dari dua pengarang
Grace, B. et al., 1988. A History of the World. Princeton, NJ: Princeton University Press.

• Buku hasil editan
Keene, E. ed., 1988. Natural Language. Cambridge: University of Cambridge Press.
Silverman, D.F. and Propp, K.K. eds., 1990. The Active Interview. Beverly Hills, CA: Sage.

• Artikel dalam buku
Smith, J., 1975. A Source of Information. dalam W. Jones, ed. One hundred and One Ways to Find Information about Health. Oxford: Oxford University Press, 1998.
atau apabila mencantumkan halaman
Samson,C., 1970. Problems of Information Studies in History. dalam S. Stone, ed. Humanities Information Research. Sheffield: CRUS, 1980, hlm. 44-68.

• E-book
Fishman, Robert., 2005. The Rise and Fall of Suburbia. [e-book]. Chester: Castle Press. dalam libweb.anglia.ac.uk / E-books [diakses 24 Juli 2006].
Employment Law and Practice. 2005. [CD-ROM]. London: Gee. dalam libweb.anglia.ac.uk/ E-books [diakses 1 Agustus 2007].

• Apabila ada satu pengarang dengan dua buku yang dikutip
Soros, G., 1966a. The Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press.
------ 1966b. Beyond the Road to Serfdom. Chicago: University of Chicago Press.

• Artikel dalam jurnal
Boughton, J.M., 2002. The Bretton Woods Proposal, an Indepth Look. Political Science Quarterly, 42 (6), hlm. 564-78.

• Artikel dalam media massa
Slapper, Gary., 2005. Corporate Manslaughter, New Issues for Lawyers. The Times, 3 September. hlm. 4-5.

• Artikel jurnal yang diambil dari internet
Boughton, J.M., 2002. The Bretton Woods Proposal, an Indepth Look.
Political Science Quarterly, [online]. 42 (6), dalam http://www.pol.upenn/articles, Blackwell Science Synergy [diakses 12 Juni 2005].
Hamill, C., 1999. Academic Essay Writing in the First Person: A Guide for Undergraduates. Nursing Standard, [online] 21 Juli, 13 (44), hlm. 38-40, dalam http://libweb.anglia.ac.uk/ejournals/333 [diakses 12 Juni 2005].
Jenkings, R.,1989. Clashing with Caching. ARIADNE, [online] Issue 21,
10 September, dalam http://www.ariadne.ac.uk/issue21/web-cache/
[diakses 2 Desember 2004].
Wright, A. and Cottee, P., 2000. Consumer Understanding of US and EU Nutrition Labels. British Food Journal [online] 103 (8), hlm. 615-629. Emerald, dalam http://www.emerald-library.com [diakses 8 September 2001].
Beaver, M., 2000. Errant Greenhouse Could Still be Facing Demolition.
Building Design [online] 24 November, hlm. 3, dalam http://www.infotrac.london.galegroup.com/itweb/sbu_uk [diakses 15 Agustus 2003].

• Abstrak jurnal yang diambil dari internet
Boughton, J.M. 2002 The Bretton Woods Proposal, an Indepth Look.
Political Science Quarterly, [online]. 42 (6), abstrak dari Blackwell Science Synergy database, dalam http://www.pol.upenn/articles, Blackwell Science Synergy [diakses 12 Juni 2005].

• E-version dari dokumen laporan tahunan
Marks & Spencer ., 2004. Annual Report 2003-2004. [online]. dalam http://www-marks-and-spencer.co.uk/corporate/annual2003/ [diakses 4 Juni 2005].

• Artikel koran online
Chittenden, M., Rogers, L. and Smith, D., 2003. Focus: Targetitis Ails NHS. Times Online, [internet].1 Juni. dalam http://www.timesonline.co.uk/print/11-1506-669.html [diakses 17 Maret 2005].

• Informasi dari website
National Electronic Library for Health. 2003. Can Walking Make You Slimmer and Healthier? (Hitting the headlines article) [online]. (updated 16 Januari 2005) dalam http://www.nhs.uk.hth.walking [diakses 10 April 2005].

• Publikasi yang tersedia dalam website
Scottish Intercollegiate Guidelines Network. 2001. Hypertension in the Elderly. (SIGN publication 20) [internet]. Edinburgh: SIGN (2001)
dalam http://www.sign.ac.uk/pdf/sign49.pdf [diakses 17 Maret 2005].
Boots Group Plc., 2003. Corporate Social Responsibility. [online]. Boots Group Plc. dalam http://www.Boots-Plc.Com/Information/Info.Asp?id=447 [diakses 23 Juli 2005].
Defoe, D., 1999. The Fortunes and The Misfortunes of the Famous Moll Flanders. [online]. Champaign, Illinois: Project Gutenberg. dalam http://Promo.Net/Cgi-Promo/Pg/T9.Cgi?Entry=370&Full=Yes
[diakses 18 November 2005].
Tesco Plc., 2002. Annual Report and Financial Statements 2002 . [online]. Tesco Plc. dalam http://81.201.142.254/Presentresults/Results2001_02/ Prelims/Report/ f [diakses 18 November 2005].

• Korespondensi melalui email
Jones, J. jones@gmail.com, 2005. Mobile Phone Developments. [online]. e-mail kepada R. G. Schmit (r.g.schmit@syy.ac.uk). dikirim Senin 7 Juni 2005, 08.13. dalam http://gog.defer.com/2004_07_01_defer_archive.html [diakses 7 Juli 2005].

• Undang-Undang
UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, Jakarta: DPR RI.

• Publikasi resmi lembaga pemerintah
Buku Putih Departemen Pertahanan RI, 2007. Jakarta: Departemen Pertahanan RI.

• Laporan tahunan
Marks and Spencer, 2004. The Way Forward, Annual Report 2003-2004. London : Marks and Spencer.

• DVD/VCD
Warner Brothers, 2005. Great Films from the 80s: a Selection of Clips from Warner Brothers Top Films from the 1980s. [DVD]. New York: Warner Brothers.
The Habibie Center, 2004. Publikasi 5 Tahun, 1999-2004. [VCD]. Jakarta: The Habibie Center.

• Video (Film)
Pilger, John. 2001. The New Ruler of the World. [video]. Jakarta: Indy Cinema.
Child Growth Foundation., 2004. Health for All 3 the Video Part 1. [video]. London: Child Growth Foundation (narasi oleh D B M Hall).
• Skripsi/Tesis/Disertasi
Mubah, A. Safril. 2006. Pengaruh Kelompok Neokonservatif terhadap Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Memerangi Terorisme pada Periode Pertama Pemerintahan George W. Bush (2001-2005).
Skripsi Sarjana. Surabaya: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Richmond, Julia. 2005. Customer Expectations in the World of Electronic Banking: a Case Study of the Bank of Britain. Ph. D. Anglia Ruskin University.

The Note System

0 comments
-Note system based on the conventions of the Australian Government Printing Service, Style Manual for Authors, Editors and Printers, 2002
-Mereferensi : adalah sebuah kaidah standar dalam akademi dan himpunan professional yang didesain untuk menginformasikan kepada para pembaca tentang sumber informasi yang yang digunakan dalam sebuah tulisan tertentu.
-Hal tersebut sangat penting karena :
 1. Memberitahukan sumber2 tulisan tersebut
 2. Mengizinkan pembaca untuk menguji, memeriksa data atau informasi
 3. Mengizinkan pembaca untuk memberikan saran atau konsultasi pada sumber kita dengan bebas
 4. Mengindikasikan kedalaman dan makna dari bacaan kita
 5. Memberitahukan kepada para pembaca tentang apa pikiran dan alasan kita menggunakan informasi yang telah kita baca yang kita gunakan sebagai bahan tulisan kita
-Komposisi : -Kuota (kata-kata yang terperinci)
  -Parafrase (Menggunakan ide orang lain dengan bahasa kita sendiri)
  -Ringkasan (Menggunakan inti dari opini, teori, atau data orang lain)
  -Data dan perkiraan orang lain
-The note system : Sebuah percontohan dari sejumlah sistem yang mana jumlah sistem itu digunakan setiap waktu sebagai sebuah referensi yang disebutkan (tertulis, dikutip) dengan maksud dimunculkan dalam bentuk teks.
-Komponen: -Teks dalam yang berfungsi sebagai pengidentifikasi referensi sesuai urutan angka yang digunakan untuk memfokuskan kebutuhan klarifikasi lebih lanjut
  -Percontohan sesuai urutan angka dari berbagai catatan (footnotes/endnotes)
  -Daftar lengkap dari urutan referensi kita sesuai urutan abjad seperti bentuk bibliography atau daftar referensi

-Tingkatan : 1. Kutipan dalam teks
  -Cara untuk mengidentifikasi kutipan untuk referensi yang digunakan dalam teks adalah menggunakan sejumlah superscrip (huruf atau angka yang ditulis di atas) atau sejumlah parentheses (tanda kurung) yang berurutan dan bertalian dari 1 ke 2 ke 3 melalui seluruh teks.
  -Sejumlah superscript atau parentheses itu ditempatkan sedekat mungkin pada poin yang kita fokuskan secara umum di akhir kalimat yang relevan dan secara umum mengikuti tanda baca yang ada.
  2. Footnotes
  -Disebut juga catatan
  -Rangkaian catatan yang berhubungan dengan angka-angka yang digunakan di dalam teks, yang ditempatkan di kaki/bawah halaman (diakhir pernyataan untuk endnotes)
  -Footnotes harus berurutan seperti urutan angka (numerical), kutipan pertama adalah footnote 1, begitu seterusnya.
  -Keuntungan : para pembaca dapat dengan sedehana melemparkan pandangan mereka ke bawah halaman dari sebuat teks untuk mengetahui dari sumber mana referensi yang mereka ingin tahu
  -Footnotes mengidentifikasi pokok2 tertentu dari referensi ex. Kutipan yang mengidentifikasi lokasi dari diagram atau ide2 tertentu
-Pengulangan referensi dalam pekerjaan yang sama
 Untuk yang pertama kali, sumber ditulis sedetail mungkin pada footnotes or end notes yang pertama, jadi misalkan nanti ada pengulangan kata atau bagian tertentu yang ditekankan, kita dapat menggunakan informasi seminimal mungkin untuk yang kedua kali atau disebut juga singkatan, ex, nama akhir penulis, singkatan judul tulisan yang diperpendek.
-Daftar pustaka