Sunday 18 April 2010

Teori Power, Perimbangan Kekuatan dan Stabilitas Hegemoni

Sampai saat ini masih belum dapat ditentukan definisi pasti mengenai power. Salah satu scholar menuliskan bahwa power sebagai konsep kunci pada teori realis dalam politik internasional, dimana mengakui bahwa ‘definisi tepat dari power tetap menimbulkan kontroversi’ (Waltz 1986:333 dalam Baldwin 2002:177). Robert Giplin (1981:13 dalam Baldwin 2002:177) mendeskripsikan konsep power sebagai ‘salah satu konsep yang paling sukar dideskripsikan dalam studi hubungan internasional.
Hans Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace (1973) mendefinikan power sebagai suatu cara yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain. Sedangkan Kautilya (dalam Baldwin 2002:177), seorang scholar dari India menjelaskan konsep power sebagai sebuah pemilikan kekuatan (atribut) yang berasal dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian.
Ukuran besaran power merupakan sesuatu yang subjektif, tergantung dari sudut pandang manakah yang diambil serta apakah yang dijadikan sumber kekuatan tersebut. Oleh karenanya penentuan kekuatan merupakan hal yang psikologis, dimana yang melihat kekuatan tersebut hanyalah individu yang melihatnya. Joe Stoessinger dalam tulisannya yang berjudul The anatomy of the nation-state and the nature of power (dalam Little dan Smith 1991: 27) menyatakan bahwa “nation’s power may depend in considerable measurement on what other nations think it is or even on what it thinks other nations think it is”. Hal tersebut menunjukkan bahwa power suatu negara sangat relatif, baik jenis maupun ukuran yang dipakai.
Morgenthau beranggapan bahwa wilayah geografis merupakan faktor yang krusial dalam menentukan kekuatan suatu negara. Dia berpendapat bahwa faktor penentu kekuatan suatu negara adalah letak geografisnya (Morgenthau 1973: 117). Beberapa scholars berpendapat bahwa yang menentukan kekuatan suatu negara adalah sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagai contohnya adalah negara-negara di Timur Tengah yang membentuk hegemoni dengan menggunakan minyak sebagai sumber kekuatannya. Ada pula yang mengatakan bahwa populasilah yang menentukan kekuatan suatu negara. Dicontohkan dalam hal ini adalah Cina dan India, dimana kedua negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang potensial serta dipandang sebagai salah satu pilar kekuatan negara. Pemerintahan juga dipandang sebagai kekuatan negara. Sebab, seperti pada kerajaan Romawi kuno dimana pemimpin negara sangat menentukan jalannya suatu negara, pada saat ini pemerintah pun tetap dipandang sebagai roda kekuatan negara. Namun, apa sebenarnya yang menjadi kekuatan suatu negara sangat bergantung pada perspektif yang memandangnya, entah negara tersebut, atau negara lain yang melihat negara tersebut, atau bahkan negara lain yang mengetahui negara tersebut dari negara lain.
Konsep dasar power adalah hubungan antar aktor (terutama negara) dimana aktor yang satu mampu mengontrol aktor yang lainnya. Terdapat dua dimensi penting untuk menggambarkan konsep power, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi Internal yaitu kapasitas untuk melakukan tindakan. Negara dapat melakukan tindakan yang bebas tanpa ada paksaan dan pengaruh dari luar. Dimensi internal ini boleh dikatakan “otonomi”. Dimensi Eksternal, yaitu kapasitas untuk mengotrol perilaku aktor lain. Negara dapat mempengaruhi aktor lain secara aktif maupun pasif, secara implisit maupun eksplisit. Aktor lain yang telah terpengaruhi baik secara pikiran maupun tindakan dianggap sebagai produk / hasil dari pengejewantahan power.
Sedangkan konsep Balance of Power merupakan manifestasi dari konser power (Morgenthau 1973:173) karena pada dasarnya konsep ini merupakan kata lain bentuk equilibrium dalam sistem politik. Asumsi dasar Balance of Power adalah bahwa perang bisa dicegah jika kekuatan (power) setiap aktor berimbang, sehingga secara rasional peluang menang atau kalah sama besar dan mereka memilih untuk tidak saling menyerang. Sehingga perdamaian lebih mudah untuk dicapai, karena perdamaian tersebut secara tidak langsung muncul dari sisi internal pihak masing-masing.
Konsep sistem tata dunia dalam Balance of Power adalah konsep unipolar, bipolar dan multipolar. Menurut Claude sistem multipolar dalam sistem internasional diyakini dapat menghasilkan kondisi Balance of Power yang paling stabil karena suatu negara yang memiliki power lebih dapat ditangkal oleh aliansi negara lainnya. Akan tetapi menurut Waltz, sistem bipolar diyakini dapat memunculkan Balance of Power yang efektif karena masing-masing pihak dapat fokus kepada pihak lainnya tanpa memperhatikan pihak lain (Horowitz, Shale. 2001). Dengan demikian dunia akan tergeneralisasi kedalam dua pihak yang memiliki power yang kurang lebih sama sehingga mereka akan menghilangkan pertikaian merreka sendiri. Akan tetapi konsep perdamaian yang ditawarkan bersifat memaksa, dalam artian masing-masing pihak serta-merta melakukan perdamaian bukan dari inisiatif sendiri, melainkan paksaan dari satu pihak ke pihak yang lain secara tidak langsung. Paksaan tersebut berupa rasa kekhawatiran terhadap pihak lawan yang muncul dikarenakan konsep perimbangan diartikan secara harafiah, dimana masing-masing pihak seharusnya memiliki kekuatan yang sama besar dalam setiap kategori. Paksaan tersebut menjadi suatu tekanan bagi masing-masing pihak, sehingga berpotensi menimbulkan perang underground dimana secara fisik tidak nampak akan tetapi efeknya mempengaruhi seluruh penjuru dunia, seperti contohnya Cold War.
Hans Morgenthau yang merupakan salah satu penganut aliran realis klasik juga mengkritik konsep ini sebagai konsep yang tidak sempurna dan bersifat tidak pasti/tidak nyata. Ketidakpastian ini karena tidak adanya sumber yang lengkap dan dapat dipercaya atas tindakan, evaluasi dan perbandingan keberadaan sebuah kekuatan (power). Selain itu tidak ada kejelasan yang pasti mengenai tingkat equilibrium yang dimaksud. Karena tidak mungkin ada dua negara yang memiliki potensi yang sama, sehingga sulit ditemukan faktor substitusi dari masing-masing kategori yang bisa dikatakan sebagai unsur pembentuk power.
Kritik yang muncul kemudian menyerang tujuan Balance of Power sendiri yang menurut Bolingbroke, Gentz dan Castlereagh untuk menyelenggarakan hegemoni dunia, menyiapkan sistem dan pendukung sistem itu sendiri, menjamin stabilitas dan keamanan bersama, serta menjamin perdamaian abadi (Doughtery dan Pfaltzgraff 1971). Tujuan ini kemudian dimanifestasikan ke dalam cara-cara yang mendapat sorotan karena menjalankan politik tidak etis seperti adu domba, bantuan restrukturasi pasca perang, pembangunan daerah penyangga, aliansi, area pengaruh, intervensi, diplomasi, penyelesaian konflik secara legal, perlucutan senjata, perlombaan senjata serta perang. Karena kepentingan nasional suatu bangsa dapat menjadi ancaman bagi negara lain maka Balance of Power yang secara teori menghindari perang ternyata malah menyebabkan perang itu sendiri.
Teori Hegemonic Stability pertama kali dikemukakan oleh Charles Kindleberger di tahun 1970 dengan fokus perhatian pada peranan negara-negara ‘maju’ (leading states) pada sektor ekonomi. Tujuan utama dari adanya Hegemonic Stability adalah untuk menjaga stabilitas sistem dunia. Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa tindakan dominasi suatu negara adalah dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem ekonomi yang terbuka dan stabil. Teori Hegemonic Stability ini kemudian menuntut tatanan dunia tergabung dalam satu unitarian, yakni dalam konsep unipolar dimana seluruh dunia “patuh” terhadap hegemon yang berkuasa. Konsep unipolar ini mengindikasikan adanya satu negara superpower tunggal, dimana bertugas sebagai stabilisator sistem internasional serta bertindak sebagai hegemon didalamnya. Jika realis melihat power sebagai perhatian utama yang akan diperjuangkan oleh tiap negara maka kaum transnasionalis melihat power akan selalu terlibat dalam perubahan. Arti power menjadi lebih persuasif dan tingkat kekerasannya lebih berkurang.
Untuk menjadi sebuah hegemon, negara tersebut harus memiliki kapabilitas untuk menerapkan sistem peraturan, keinginan yang kuat untuk menjadi sebuah hegemon, serta komitmen terhadap sistem yang dinilai memberikan keuntungan yang mutual. Sedangkan kapabilitas tersebut ditentukan oleh tingkat stabilitas perekonomian, dominasi di bidang teknologi atau ekonomi, serta political power yang di-backed up oleh kekuatan militer (Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986).





Sources:
Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations dalam Handbook of International Relations. Pp. 177-189
Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986. Justice and Power. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Doughtery, J.E and Pfaltzgraff, R.L. 1971. Theoretical Approaches to International Relations dalam Contending Theories of International Relations. Pp. 30-38
Horowitz, Shale. 2001. The Balance of Power: Formal Perfection and Practical Flaws, in Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 6 pp.705-722
Little, Richard dan Smith, Michael. 1991. Perspective on World Politics. New York: Routledge
Mearsheimer, John J. Structural Realism. pp.71-88
Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations. New York: Knopf

0 comments:

Post a Comment

Sunday 18 April 2010

Teori Power, Perimbangan Kekuatan dan Stabilitas Hegemoni


Sampai saat ini masih belum dapat ditentukan definisi pasti mengenai power. Salah satu scholar menuliskan bahwa power sebagai konsep kunci pada teori realis dalam politik internasional, dimana mengakui bahwa ‘definisi tepat dari power tetap menimbulkan kontroversi’ (Waltz 1986:333 dalam Baldwin 2002:177). Robert Giplin (1981:13 dalam Baldwin 2002:177) mendeskripsikan konsep power sebagai ‘salah satu konsep yang paling sukar dideskripsikan dalam studi hubungan internasional.
Hans Morgenthau dalam bukunya yang berjudul Politics among Nations: The Struggle for Power and Peace (1973) mendefinikan power sebagai suatu cara yang digunakan untuk mempengaruhi pihak lain. Sedangkan Kautilya (dalam Baldwin 2002:177), seorang scholar dari India menjelaskan konsep power sebagai sebuah pemilikan kekuatan (atribut) yang berasal dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, kekuatan militer, dan keberanian.
Ukuran besaran power merupakan sesuatu yang subjektif, tergantung dari sudut pandang manakah yang diambil serta apakah yang dijadikan sumber kekuatan tersebut. Oleh karenanya penentuan kekuatan merupakan hal yang psikologis, dimana yang melihat kekuatan tersebut hanyalah individu yang melihatnya. Joe Stoessinger dalam tulisannya yang berjudul The anatomy of the nation-state and the nature of power (dalam Little dan Smith 1991: 27) menyatakan bahwa “nation’s power may depend in considerable measurement on what other nations think it is or even on what it thinks other nations think it is”. Hal tersebut menunjukkan bahwa power suatu negara sangat relatif, baik jenis maupun ukuran yang dipakai.
Morgenthau beranggapan bahwa wilayah geografis merupakan faktor yang krusial dalam menentukan kekuatan suatu negara. Dia berpendapat bahwa faktor penentu kekuatan suatu negara adalah letak geografisnya (Morgenthau 1973: 117). Beberapa scholars berpendapat bahwa yang menentukan kekuatan suatu negara adalah sumber daya alam yang dimiliki oleh negara tersebut. Sebagai contohnya adalah negara-negara di Timur Tengah yang membentuk hegemoni dengan menggunakan minyak sebagai sumber kekuatannya. Ada pula yang mengatakan bahwa populasilah yang menentukan kekuatan suatu negara. Dicontohkan dalam hal ini adalah Cina dan India, dimana kedua negara tersebut memiliki sumber daya manusia yang potensial serta dipandang sebagai salah satu pilar kekuatan negara. Pemerintahan juga dipandang sebagai kekuatan negara. Sebab, seperti pada kerajaan Romawi kuno dimana pemimpin negara sangat menentukan jalannya suatu negara, pada saat ini pemerintah pun tetap dipandang sebagai roda kekuatan negara. Namun, apa sebenarnya yang menjadi kekuatan suatu negara sangat bergantung pada perspektif yang memandangnya, entah negara tersebut, atau negara lain yang melihat negara tersebut, atau bahkan negara lain yang mengetahui negara tersebut dari negara lain.
Konsep dasar power adalah hubungan antar aktor (terutama negara) dimana aktor yang satu mampu mengontrol aktor yang lainnya. Terdapat dua dimensi penting untuk menggambarkan konsep power, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi Internal yaitu kapasitas untuk melakukan tindakan. Negara dapat melakukan tindakan yang bebas tanpa ada paksaan dan pengaruh dari luar. Dimensi internal ini boleh dikatakan “otonomi”. Dimensi Eksternal, yaitu kapasitas untuk mengotrol perilaku aktor lain. Negara dapat mempengaruhi aktor lain secara aktif maupun pasif, secara implisit maupun eksplisit. Aktor lain yang telah terpengaruhi baik secara pikiran maupun tindakan dianggap sebagai produk / hasil dari pengejewantahan power.
Sedangkan konsep Balance of Power merupakan manifestasi dari konser power (Morgenthau 1973:173) karena pada dasarnya konsep ini merupakan kata lain bentuk equilibrium dalam sistem politik. Asumsi dasar Balance of Power adalah bahwa perang bisa dicegah jika kekuatan (power) setiap aktor berimbang, sehingga secara rasional peluang menang atau kalah sama besar dan mereka memilih untuk tidak saling menyerang. Sehingga perdamaian lebih mudah untuk dicapai, karena perdamaian tersebut secara tidak langsung muncul dari sisi internal pihak masing-masing.
Konsep sistem tata dunia dalam Balance of Power adalah konsep unipolar, bipolar dan multipolar. Menurut Claude sistem multipolar dalam sistem internasional diyakini dapat menghasilkan kondisi Balance of Power yang paling stabil karena suatu negara yang memiliki power lebih dapat ditangkal oleh aliansi negara lainnya. Akan tetapi menurut Waltz, sistem bipolar diyakini dapat memunculkan Balance of Power yang efektif karena masing-masing pihak dapat fokus kepada pihak lainnya tanpa memperhatikan pihak lain (Horowitz, Shale. 2001). Dengan demikian dunia akan tergeneralisasi kedalam dua pihak yang memiliki power yang kurang lebih sama sehingga mereka akan menghilangkan pertikaian merreka sendiri. Akan tetapi konsep perdamaian yang ditawarkan bersifat memaksa, dalam artian masing-masing pihak serta-merta melakukan perdamaian bukan dari inisiatif sendiri, melainkan paksaan dari satu pihak ke pihak yang lain secara tidak langsung. Paksaan tersebut berupa rasa kekhawatiran terhadap pihak lawan yang muncul dikarenakan konsep perimbangan diartikan secara harafiah, dimana masing-masing pihak seharusnya memiliki kekuatan yang sama besar dalam setiap kategori. Paksaan tersebut menjadi suatu tekanan bagi masing-masing pihak, sehingga berpotensi menimbulkan perang underground dimana secara fisik tidak nampak akan tetapi efeknya mempengaruhi seluruh penjuru dunia, seperti contohnya Cold War.
Hans Morgenthau yang merupakan salah satu penganut aliran realis klasik juga mengkritik konsep ini sebagai konsep yang tidak sempurna dan bersifat tidak pasti/tidak nyata. Ketidakpastian ini karena tidak adanya sumber yang lengkap dan dapat dipercaya atas tindakan, evaluasi dan perbandingan keberadaan sebuah kekuatan (power). Selain itu tidak ada kejelasan yang pasti mengenai tingkat equilibrium yang dimaksud. Karena tidak mungkin ada dua negara yang memiliki potensi yang sama, sehingga sulit ditemukan faktor substitusi dari masing-masing kategori yang bisa dikatakan sebagai unsur pembentuk power.
Kritik yang muncul kemudian menyerang tujuan Balance of Power sendiri yang menurut Bolingbroke, Gentz dan Castlereagh untuk menyelenggarakan hegemoni dunia, menyiapkan sistem dan pendukung sistem itu sendiri, menjamin stabilitas dan keamanan bersama, serta menjamin perdamaian abadi (Doughtery dan Pfaltzgraff 1971). Tujuan ini kemudian dimanifestasikan ke dalam cara-cara yang mendapat sorotan karena menjalankan politik tidak etis seperti adu domba, bantuan restrukturasi pasca perang, pembangunan daerah penyangga, aliansi, area pengaruh, intervensi, diplomasi, penyelesaian konflik secara legal, perlucutan senjata, perlombaan senjata serta perang. Karena kepentingan nasional suatu bangsa dapat menjadi ancaman bagi negara lain maka Balance of Power yang secara teori menghindari perang ternyata malah menyebabkan perang itu sendiri.
Teori Hegemonic Stability pertama kali dikemukakan oleh Charles Kindleberger di tahun 1970 dengan fokus perhatian pada peranan negara-negara ‘maju’ (leading states) pada sektor ekonomi. Tujuan utama dari adanya Hegemonic Stability adalah untuk menjaga stabilitas sistem dunia. Pada dasarnya teori ini berpendapat bahwa tindakan dominasi suatu negara adalah dibutuhkan untuk mempertahankan kelangsungan sistem ekonomi yang terbuka dan stabil. Teori Hegemonic Stability ini kemudian menuntut tatanan dunia tergabung dalam satu unitarian, yakni dalam konsep unipolar dimana seluruh dunia “patuh” terhadap hegemon yang berkuasa. Konsep unipolar ini mengindikasikan adanya satu negara superpower tunggal, dimana bertugas sebagai stabilisator sistem internasional serta bertindak sebagai hegemon didalamnya. Jika realis melihat power sebagai perhatian utama yang akan diperjuangkan oleh tiap negara maka kaum transnasionalis melihat power akan selalu terlibat dalam perubahan. Arti power menjadi lebih persuasif dan tingkat kekerasannya lebih berkurang.
Untuk menjadi sebuah hegemon, negara tersebut harus memiliki kapabilitas untuk menerapkan sistem peraturan, keinginan yang kuat untuk menjadi sebuah hegemon, serta komitmen terhadap sistem yang dinilai memberikan keuntungan yang mutual. Sedangkan kapabilitas tersebut ditentukan oleh tingkat stabilitas perekonomian, dominasi di bidang teknologi atau ekonomi, serta political power yang di-backed up oleh kekuatan militer (Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986).





Sources:
Baldwin, David A. 2002. Power and International Relations dalam Handbook of International Relations. Pp. 177-189
Columbis, Theodore dan Wolfe, James. 1986. Justice and Power. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Doughtery, J.E and Pfaltzgraff, R.L. 1971. Theoretical Approaches to International Relations dalam Contending Theories of International Relations. Pp. 30-38
Horowitz, Shale. 2001. The Balance of Power: Formal Perfection and Practical Flaws, in Journal of Peace Research, Vol. 38, No. 6 pp.705-722
Little, Richard dan Smith, Michael. 1991. Perspective on World Politics. New York: Routledge
Mearsheimer, John J. Structural Realism. pp.71-88
Morgenthau, Hans J. 1973. Politics Among Nations. New York: Knopf

0 comments on "Teori Power, Perimbangan Kekuatan dan Stabilitas Hegemoni"

Post a Comment