Sunday 18 April 2010

Strategic Deterrence, Military Defense, and Compliance

Konsep effective deterrence muncul pada era Perang Dingin karena pada masa tersebut muncul pola bipolar dalam sistem internasional, dimana hal tersebut meresahkan dua belah pihak, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Hal tersebut kemudian menimbulkan rasa persaingan yang lebih besar diantara keduanya, dimana Amerika Serikat memandang dirinya merupakan penguasa tunggal sedangkan Uni Sovyet merupakan penghalang ambisi mereka untuk menguasai dunia. Kepemilikan nuklir pun dipandang sebagai sumber power bagi kedua negara. Dan karena tidak memungkinkan terjadinya perang terbuka maka mereka menggunakan cara lain untuk memenangkan persaingan, yakni dengan mempublikasikan kemajuan masing-masing negara dalam usaha pengembangan nuklir. Pada akhirnya Amerika terlihat memenangkan persaingannya, yang dibuktikan dengan tingkat keseganan dunia terhadap negara tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Sovyet. Hal ini tidak lepas dari konsep liberalisme Amerika Serikat yang dilekatkan dengan pandangan modernisme, sehingga segala hal yang berbau Amerika pasti lebih hebat, termasuk ideologinya.
Namun seiring dengan perkembangannya, superioritas nuklir Amerika Serikat menurun seiring berkembangnya teknologi serupa di negara-negara lain seperti Uni Soviet. Para policy makers mulai mempertanyakan kembali fungsi dari senjata penghancur massa ini sebagai instrumen politik luar negeri. Kesadaran dan kengerian akan buruknya akibat dari penggunaan senjata nuklir ini menyebabkan Amerika Serikat kemudian mengubah kebijakan strategis yang digunakan sebagai bentuk pertahanan terhadap Uni Sovyet, yang secara timeline dibagi menjadi tiga, yakni compellence (1945-1962), mutual deterrence (1962-1983) dan defense (1983-1993) (Kegley dan Wittkopf 1996).
Konsep compellence secara harfiah dapat diartikan sebagai pemaksaan. Dalam konteks militer, compellence berarti pemaksaan terhadap pihak lawan untuk menghentikan tindakan pihak lawan tersebut. Patrick Morgan mendefinisikan compellence sebagai penggunaan suatu tekanan atau ancaman untuk menggerakkan pihak lain agar menghentikan suatu tindakannya yang telah dilakukan atau melakukan suatu tindakan yang belum dilakukan (Morgan 2003). Konsep ini muncul pada masa pasca Perang Dingin pada tahun 1945 dan berakhir dengan ditandai oleh Krisis Misil di Kuba pada tahun 1965. Konsep ini dilatarbelakangi oleh munculnya Amerika Serikat sebagai negara nuklir pertama yang belum memiliki tandingan, dan berusaha memaksa negara-negara lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Dalam hal ini Amerika Serikat memaksakan ideologi mereka terhadap negara lain bahwa nuklir merupakan sumber power yang paling besar, sehingga negara yang memilikinya dapat dikatakan sebagai penguasa dunia.
Konsep ini mulai terjadi pada tahun 1950an pada era pemerintahan Dwight Eisenhower, dimana pada saat itu menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles mengancam musuh-musuhnya dengan proyek pengembangan nuklirnya. Selama masa ini, pola strategi massive retaliation diperbolehkan bagi penghancuran dan penahanan ekspansi Uni Sovyet, baik yang merupakan ideologis maupun secara fisik. Pola ini dikenal juga sebagai counter value targeting strategy karena mengarah ke senjata-senjata Amerika Serikat yang dianggap vital oleh Uni Sovyet. Strategi lainnya adalah counter force targeting strategy dimana segala kemiliteran Amerika Serikat diarahkan terpusat pada pusat kekuatan militer Uni Soviet.
Hal yang mengakhiri kebijakan strategis Amerika Serikat ini adalah dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet hampir terlibat di dalam perang nuklir berskala besar di Kuba. Akan tetapi strategi yang diterapkan Amerika Serikat membuat kedua negara tersebut berpikir dua kali dan hal inilah yang akhirnya juga mempengruhi perubahan strategi Amerika Serikat dari compellence menuju deterrence.
Deterrence, berasal dari kata deterrent secara harafiah diartikan sebagai penolakan atau pencegahan. Deterrence adalah salah satu kebijakan strategis yang muncul setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki Jepang oleh Amerika Serikat dan adanya perubahan daerah internasional balance of power menjadi balance of terror (Wittkopf 1981). Kata detterence sendiri merupakan sebuah produk dari nuclear age (Plazgraff 1996) yang secara garis besar, prakondisi dari strategi ini adalah bila suatu negara menjadi syarat terhadap penciptaan situasi deterrence.
Menurut Patrick M. Morgan dalam bukunya Deterrence Now (2003), deterrence adalah sebuah praktek lama dalam politik internasional dan reaksi wilayah lainnya. Konsep tersebut telah ditentukan oleh cukup banyak pemikiran dan studi, walaupun samapi sekarang konsep tersebut tidak mudah untuk dipahami dan dijelaskan. Deterrence merupakan salah satu dari konsep diplomasi dan militer. Konsep ini merupakan strategi militer yang berkembang pada era Perang Dingin, sekaligus digunakan sebagai sebuah strategi pada masa Perang Dingin dan merupakan sebuah kondisi dimana para aktor superpower saling melakukan pencegahan dalam perang formal yang frontal, yaitu dengan dimilikinya senjata pemusnah massal, senjata nuklir, oleh para aktor superpower (Amerika Serikat dan Uni Sovyet).
Menurut Alexander L George dan Richard Smoke, deterrence dapat diartikan sebagai serangkaian persuasi yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk agar pihak pertama melakukan keinginan pihak kedua (Dougherty dan Manzginrtioz 1996). Definisi ini dirangkum oleh Glenn Synder dengan kebijakan stick and carrot yang selama ini dipraktekkan oleh AS. Pihak yang satu mencegah pihak yang lain melakukan suatu aksi melalui ancaman baik implisit maupun eksplisit, dengan pemberian sanksi positif berupa hadiah jika pihak kedua menaati larangan pihak pertama dan pemberian sanksi negatif berupa hukuman jika pihak kedua berlaku sebaliknya. Deterrence hanya dapat dilakukan dalam keadaan damai walaupun damai yang dimakudkan adalah damai yang semu. Keadaan damai ini diperlukan agar teror yang dilancarkan dapat mencapai sasaran.
Kebijakan strategis Amerika Serikat ini berlangsung pada masa pasca Krisis Kuba hingga pada tahun 1983, dimana pada saat itu presiden Ronald Reagan menganut paham pertahanan. Pada strategi ini nuklir tidak lagi digunakan secara nyata untuk memaksa lawan mengubah perilakunya, melainkan justru senjata hanya dipakai untuk menakut-nakuti lawan agar lawan berharap senjata tersebut tidak sampai digunakan. Perubahan strategi Amerika Serikat ini merupakan suatu bukti nyata bahwa nuklir tidak lagi bisa digunakan untuk mengancam lawan untuk merubah perilakunya. Dengan menggunakan taktik extended deterrence, kedua negara dapat melindungi wilayah masing-masing. Dan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada kawasan Eropa dengan menempatkan pasukan militer dan persenjataan nuklir disana justru semakin meningkatkan intensitas perlombaan senjata. Ini karena sikap realisme yang dimiliki kedua adidaya, yaitu selalu curiga dan merasa terancam atas keberadaan satu dan yang lain. Sehingga menyebabkan prinsip deterrence saat itu adalah mutual assured destruction (MAD), dimana apabila gencatan senjata antara kedua negara terjadi maka kedua belah pihak akan hancur siapapun yang melakukan penyerangan pertama karena setiap negara memiliki kemampuan untuk melakukan serangan balik yang mematikan. Karena sikap ketakutan setiap negara itu maka konsep-konsep Strategic Arms Limitation Talks (SALT) bahkan tidak mampu untuk menghentikan perlombaan senjata ini. Di Amerika Serikat sendiri justru muncul satu kelompok yang menawarkan ide nuklir sebagai alat untuk menyerang (nuclear utilization theory). Mereka berpendapat bahwa Uni Soviet telah terlebih dahulu menyiapkan nuklirnya untuk perang sehingga untuk memperkecil akibatnya dengan menciptakan tekhnologi mutahir sehingga tidak akan terjadi kehancuran total. Tetapi pendapat ini ditentang kelompok-kelompok yang mendukung MAD. Seperti yang dikatakan oleh Robert McNamara, bahwa perang nuklir hamper pasti tidak bisa dibatasi dan akan menyulut perang yang lebih besar dengan konsekuensi kehancuran dunia secara totalitas.
Konsep compellence tersebut pada tahun 1983 bertransformasi menjadi kebijakan strategis yang lebih prefentif. Apabila sebelumnya Amerika Serikat selalu mengambil langkah yang ofensif dalam menghadapi Uni Sovyet, maka pemerintah Amerika Serikat dalam kendali Ronald Reagan mengambil langkah yang defensif. Adanya kebijakan pemerintah tentang sistem pertahanan anti rudal balistik menggunakan teknologi luar angkasa mengawali perubahan baru strategi Amerika Serikat. Bila sebelumnya segala teknologi luar angkasa Amerika Serikat digunakan untuk mengancam dan menghancurkan lawan maka sekarang ini digunakan untuk menahan dan menghancurkan ancaman berupa rudal balistik yang mengarah ke wilayah Amerika Serikat. Tetapi hal ini menimbulkan begitu banyak pula pro dan kontra. Kerana selain biayanya yang mahal, strategi ini juga melanggar perjanjian anti rudal balistik pada tahun 1972. Dan salah satu kritik terbesar adalah sistem pertahanan baru ini justru akan menjadi stimulus bagi negara lain yaitu Uni Sovyet, untuk mengembangkan senjata yang lebih canggih dan mampu mengalahkan pertahanan Amerika Serikat tersebut. Walaupun banyak sekali kritikan tetapi pemerintah Amerika Serikat tetap menjalankan program Star Wars milik Reagan tersebut, terutama pemerintah yang berasal dari partai republik.
Pada intinya ketiga kebijakan strategis Amerika Serikat tersebut berusaha menghilangkan ketakutan dunia terhadap dampak nuklir, sekaligus mengalihkan fokus utama sumber power negara terhadap sektor militer. Dan apabila dikaitkan dengan konsep balance of power maka hal tersebut terlihat dari perundingan yang terjadi diantara kedua negara, dimana disepakati mengenai pembatasan jumlah produksi nuklir serta pengawasan pemakaiannya baik oleh pihak yang bersangkutan maupun pihak yang berkepentingan.
 




Sources:
Dougherty, James and Manzginrtioz, Robert. 1996. Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Study (4th edition). New York : Longman
Kegley, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 1996. World Politics Trends and Transformation (6th edition). New York: St. Martin Press
Morgan, Patrick M. 2003. Deterrence now. Cambridge University Press

1 comments:

GarisCoklat said...

Mohon izin untuk me re-post artikel ini di Portal HI (www.portal-hi.net).. Tentu dengan menyebutkan sumber...

Jika ada tulisan2nya, bisa di posting juga di portal ini..
:)

Terima kasih...
Salam,


Portal HI team

Post a Comment

Sunday 18 April 2010

Strategic Deterrence, Military Defense, and Compliance


Konsep effective deterrence muncul pada era Perang Dingin karena pada masa tersebut muncul pola bipolar dalam sistem internasional, dimana hal tersebut meresahkan dua belah pihak, yakni Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Hal tersebut kemudian menimbulkan rasa persaingan yang lebih besar diantara keduanya, dimana Amerika Serikat memandang dirinya merupakan penguasa tunggal sedangkan Uni Sovyet merupakan penghalang ambisi mereka untuk menguasai dunia. Kepemilikan nuklir pun dipandang sebagai sumber power bagi kedua negara. Dan karena tidak memungkinkan terjadinya perang terbuka maka mereka menggunakan cara lain untuk memenangkan persaingan, yakni dengan mempublikasikan kemajuan masing-masing negara dalam usaha pengembangan nuklir. Pada akhirnya Amerika terlihat memenangkan persaingannya, yang dibuktikan dengan tingkat keseganan dunia terhadap negara tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Sovyet. Hal ini tidak lepas dari konsep liberalisme Amerika Serikat yang dilekatkan dengan pandangan modernisme, sehingga segala hal yang berbau Amerika pasti lebih hebat, termasuk ideologinya.
Namun seiring dengan perkembangannya, superioritas nuklir Amerika Serikat menurun seiring berkembangnya teknologi serupa di negara-negara lain seperti Uni Soviet. Para policy makers mulai mempertanyakan kembali fungsi dari senjata penghancur massa ini sebagai instrumen politik luar negeri. Kesadaran dan kengerian akan buruknya akibat dari penggunaan senjata nuklir ini menyebabkan Amerika Serikat kemudian mengubah kebijakan strategis yang digunakan sebagai bentuk pertahanan terhadap Uni Sovyet, yang secara timeline dibagi menjadi tiga, yakni compellence (1945-1962), mutual deterrence (1962-1983) dan defense (1983-1993) (Kegley dan Wittkopf 1996).
Konsep compellence secara harfiah dapat diartikan sebagai pemaksaan. Dalam konteks militer, compellence berarti pemaksaan terhadap pihak lawan untuk menghentikan tindakan pihak lawan tersebut. Patrick Morgan mendefinisikan compellence sebagai penggunaan suatu tekanan atau ancaman untuk menggerakkan pihak lain agar menghentikan suatu tindakannya yang telah dilakukan atau melakukan suatu tindakan yang belum dilakukan (Morgan 2003). Konsep ini muncul pada masa pasca Perang Dingin pada tahun 1945 dan berakhir dengan ditandai oleh Krisis Misil di Kuba pada tahun 1965. Konsep ini dilatarbelakangi oleh munculnya Amerika Serikat sebagai negara nuklir pertama yang belum memiliki tandingan, dan berusaha memaksa negara-negara lain untuk mengikuti apa yang diinginkannya. Dalam hal ini Amerika Serikat memaksakan ideologi mereka terhadap negara lain bahwa nuklir merupakan sumber power yang paling besar, sehingga negara yang memilikinya dapat dikatakan sebagai penguasa dunia.
Konsep ini mulai terjadi pada tahun 1950an pada era pemerintahan Dwight Eisenhower, dimana pada saat itu menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles mengancam musuh-musuhnya dengan proyek pengembangan nuklirnya. Selama masa ini, pola strategi massive retaliation diperbolehkan bagi penghancuran dan penahanan ekspansi Uni Sovyet, baik yang merupakan ideologis maupun secara fisik. Pola ini dikenal juga sebagai counter value targeting strategy karena mengarah ke senjata-senjata Amerika Serikat yang dianggap vital oleh Uni Sovyet. Strategi lainnya adalah counter force targeting strategy dimana segala kemiliteran Amerika Serikat diarahkan terpusat pada pusat kekuatan militer Uni Soviet.
Hal yang mengakhiri kebijakan strategis Amerika Serikat ini adalah dimana Amerika Serikat dan Uni Soviet hampir terlibat di dalam perang nuklir berskala besar di Kuba. Akan tetapi strategi yang diterapkan Amerika Serikat membuat kedua negara tersebut berpikir dua kali dan hal inilah yang akhirnya juga mempengruhi perubahan strategi Amerika Serikat dari compellence menuju deterrence.
Deterrence, berasal dari kata deterrent secara harafiah diartikan sebagai penolakan atau pencegahan. Deterrence adalah salah satu kebijakan strategis yang muncul setelah perang dunia kedua yang ditandai dengan pengeboman di Hiroshima dan Nagasaki Jepang oleh Amerika Serikat dan adanya perubahan daerah internasional balance of power menjadi balance of terror (Wittkopf 1981). Kata detterence sendiri merupakan sebuah produk dari nuclear age (Plazgraff 1996) yang secara garis besar, prakondisi dari strategi ini adalah bila suatu negara menjadi syarat terhadap penciptaan situasi deterrence.
Menurut Patrick M. Morgan dalam bukunya Deterrence Now (2003), deterrence adalah sebuah praktek lama dalam politik internasional dan reaksi wilayah lainnya. Konsep tersebut telah ditentukan oleh cukup banyak pemikiran dan studi, walaupun samapi sekarang konsep tersebut tidak mudah untuk dipahami dan dijelaskan. Deterrence merupakan salah satu dari konsep diplomasi dan militer. Konsep ini merupakan strategi militer yang berkembang pada era Perang Dingin, sekaligus digunakan sebagai sebuah strategi pada masa Perang Dingin dan merupakan sebuah kondisi dimana para aktor superpower saling melakukan pencegahan dalam perang formal yang frontal, yaitu dengan dimilikinya senjata pemusnah massal, senjata nuklir, oleh para aktor superpower (Amerika Serikat dan Uni Sovyet).
Menurut Alexander L George dan Richard Smoke, deterrence dapat diartikan sebagai serangkaian persuasi yang dilakukan oleh pihak pertama kepada pihak kedua untuk agar pihak pertama melakukan keinginan pihak kedua (Dougherty dan Manzginrtioz 1996). Definisi ini dirangkum oleh Glenn Synder dengan kebijakan stick and carrot yang selama ini dipraktekkan oleh AS. Pihak yang satu mencegah pihak yang lain melakukan suatu aksi melalui ancaman baik implisit maupun eksplisit, dengan pemberian sanksi positif berupa hadiah jika pihak kedua menaati larangan pihak pertama dan pemberian sanksi negatif berupa hukuman jika pihak kedua berlaku sebaliknya. Deterrence hanya dapat dilakukan dalam keadaan damai walaupun damai yang dimakudkan adalah damai yang semu. Keadaan damai ini diperlukan agar teror yang dilancarkan dapat mencapai sasaran.
Kebijakan strategis Amerika Serikat ini berlangsung pada masa pasca Krisis Kuba hingga pada tahun 1983, dimana pada saat itu presiden Ronald Reagan menganut paham pertahanan. Pada strategi ini nuklir tidak lagi digunakan secara nyata untuk memaksa lawan mengubah perilakunya, melainkan justru senjata hanya dipakai untuk menakut-nakuti lawan agar lawan berharap senjata tersebut tidak sampai digunakan. Perubahan strategi Amerika Serikat ini merupakan suatu bukti nyata bahwa nuklir tidak lagi bisa digunakan untuk mengancam lawan untuk merubah perilakunya. Dengan menggunakan taktik extended deterrence, kedua negara dapat melindungi wilayah masing-masing. Dan apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat kepada kawasan Eropa dengan menempatkan pasukan militer dan persenjataan nuklir disana justru semakin meningkatkan intensitas perlombaan senjata. Ini karena sikap realisme yang dimiliki kedua adidaya, yaitu selalu curiga dan merasa terancam atas keberadaan satu dan yang lain. Sehingga menyebabkan prinsip deterrence saat itu adalah mutual assured destruction (MAD), dimana apabila gencatan senjata antara kedua negara terjadi maka kedua belah pihak akan hancur siapapun yang melakukan penyerangan pertama karena setiap negara memiliki kemampuan untuk melakukan serangan balik yang mematikan. Karena sikap ketakutan setiap negara itu maka konsep-konsep Strategic Arms Limitation Talks (SALT) bahkan tidak mampu untuk menghentikan perlombaan senjata ini. Di Amerika Serikat sendiri justru muncul satu kelompok yang menawarkan ide nuklir sebagai alat untuk menyerang (nuclear utilization theory). Mereka berpendapat bahwa Uni Soviet telah terlebih dahulu menyiapkan nuklirnya untuk perang sehingga untuk memperkecil akibatnya dengan menciptakan tekhnologi mutahir sehingga tidak akan terjadi kehancuran total. Tetapi pendapat ini ditentang kelompok-kelompok yang mendukung MAD. Seperti yang dikatakan oleh Robert McNamara, bahwa perang nuklir hamper pasti tidak bisa dibatasi dan akan menyulut perang yang lebih besar dengan konsekuensi kehancuran dunia secara totalitas.
Konsep compellence tersebut pada tahun 1983 bertransformasi menjadi kebijakan strategis yang lebih prefentif. Apabila sebelumnya Amerika Serikat selalu mengambil langkah yang ofensif dalam menghadapi Uni Sovyet, maka pemerintah Amerika Serikat dalam kendali Ronald Reagan mengambil langkah yang defensif. Adanya kebijakan pemerintah tentang sistem pertahanan anti rudal balistik menggunakan teknologi luar angkasa mengawali perubahan baru strategi Amerika Serikat. Bila sebelumnya segala teknologi luar angkasa Amerika Serikat digunakan untuk mengancam dan menghancurkan lawan maka sekarang ini digunakan untuk menahan dan menghancurkan ancaman berupa rudal balistik yang mengarah ke wilayah Amerika Serikat. Tetapi hal ini menimbulkan begitu banyak pula pro dan kontra. Kerana selain biayanya yang mahal, strategi ini juga melanggar perjanjian anti rudal balistik pada tahun 1972. Dan salah satu kritik terbesar adalah sistem pertahanan baru ini justru akan menjadi stimulus bagi negara lain yaitu Uni Sovyet, untuk mengembangkan senjata yang lebih canggih dan mampu mengalahkan pertahanan Amerika Serikat tersebut. Walaupun banyak sekali kritikan tetapi pemerintah Amerika Serikat tetap menjalankan program Star Wars milik Reagan tersebut, terutama pemerintah yang berasal dari partai republik.
Pada intinya ketiga kebijakan strategis Amerika Serikat tersebut berusaha menghilangkan ketakutan dunia terhadap dampak nuklir, sekaligus mengalihkan fokus utama sumber power negara terhadap sektor militer. Dan apabila dikaitkan dengan konsep balance of power maka hal tersebut terlihat dari perundingan yang terjadi diantara kedua negara, dimana disepakati mengenai pembatasan jumlah produksi nuklir serta pengawasan pemakaiannya baik oleh pihak yang bersangkutan maupun pihak yang berkepentingan.
 




Sources:
Dougherty, James and Manzginrtioz, Robert. 1996. Contending Theories of International Relations: A Comprehensive Study (4th edition). New York : Longman
Kegley, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 1996. World Politics Trends and Transformation (6th edition). New York: St. Martin Press
Morgan, Patrick M. 2003. Deterrence now. Cambridge University Press

1 comments on "Strategic Deterrence, Military Defense, and Compliance"

GarisCoklat on 31 December 2011 at 10:36 said...

Mohon izin untuk me re-post artikel ini di Portal HI (www.portal-hi.net).. Tentu dengan menyebutkan sumber...

Jika ada tulisan2nya, bisa di posting juga di portal ini..
:)

Terima kasih...
Salam,


Portal HI team

Post a Comment