Thursday 22 April 2010

Major Theory in International Relations: Marxism and Structuralism

Marxisme
Teori Marxisme lahir dari pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang filosofis politik dan revolusionis berkebangsaan Jerman, serta Friedrich Engels (1820-1895), revolusioner ekonomi politik yang juga berkebangsaan Jerman. Mereka berdua membangun suatu pemikiran politik yang mereka sebut sebagai sosialisme ilmiah yang kemudian dipahami sebagai komunisme. Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels menempatkan landasan konseptual terhadap revolusi dan rezim komunis pada abad ke-20. Pada tahun 1847 mereka bergabung dalam kelompok kecil pemimpin kelas pekerja dalam Liga Komunis yang tak lama kemudian mereka diminta untuk merombak ulang program kelompok tersebut. Dalam Communist Manifesto (1848) Marx dan Engels meleburkan semua pembaharuan yang terjadi sebelumnya yang disebut sebagai sosialis utopian, mengklaim bahwa harapan mereka terhadap properti komunal tidak akan dapat dicapai dalam masyarakat kapitalistik. Marx dan Engels mendorong para pekerja di dunia untuk bersatu dalam mencapai sosialisme ilmiah, atau komunisme. Berawal dari teori filosofis Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, mereka mengumumkan komunisme sebagai teori yang tidak sentimental yang berasal dari hukum kekal dari sejarah.
Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal. Periode kolonialisme membawa masuk berbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk kesempatan baru dalam bentuk dependensi (ketergantungan).
Teori Marxisme menolak akan pandangan kaum Liberalis dan Realis yang lebih mengutamakan aspek politik daripada aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan fokus utama Marxisme adalah aspek ekonomi, sedangkan Realisme dan Liberalisme lebih fokus pada konflik dan kerja sama antar negara. Dalam hubungan antara ekonomi dan politik, kaum Marxis sepakat dengan kaum Merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat berkaitan. Keduanya menolak pandangan kaum liberal tentang ekonomi otonom dimana sistem ekonomi dapat berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa campur tangan politik. Mereka juga menolak pandangan kaum realis dimana politik yang mempengaruhi ekonomi. Tetapi sementara kaum merkantilis melihat ekonomi sebagai alat politik, kaum marxis menempatkan ekonomi pertama dan politik yang kedua, yakni ekonomi yang mempengaruhi politik. Marxisme juga menolak pandangan kaum Realis dan Liberalis mengenai relasi antar negara, dimana kaum realis memandang hubungan internasional sebagai zero-sum game (win-lose) dan kaum liberalis yang memandang hubungan internasional sebagai positive-sum gam (win-win). Menurut pandangan Marxisme, setiap hubungan relasional pasti konfliktual. Lebih spesifik lagi, Marx menyatakan bahwa dalam sistem internasional selalu terjadi konflik antar kelas. Hal ini menunjukkan bahwa Marx menspesifikasi aktor-aktor dalam hubungan internasional dalam kelas bourgeoisie dan kelas proletariat, dimana terdapat hubungan interdependensi antar kelas, sehingga konflik antar kelas tidak dapat dihindari yang dikarenakan kesenjangan antara kelas bourgeoisie dengan kelas proletariat.
Marx mengakui bahwa eksploitasi terhadap kaum pekerja oleh kaum kapital adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu wujud relasi interdepensi antar kelas sosial. Hubungan antar kelas dalam sistem sosial, menurut Marx, akan berlangsung secara harmonis apabila terjadi konflik antar kelas di dalamnya. Masih menurut pemikiran Marx, konflik yang dikarenakan eksploitasi kelas proletariat oleh kelas bourgeoisie tersebut akan memicu timbulnya aksi dan reaksi antar kelas yang disebutnya sebagai harmonisasi relasi antar kelas sosial.
Impian kaum Marxism adalah penghapusan kelas-kelas dalam sistem sosial maupun sistem internasional. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk menghilangkan konflik antar kelas adalah dengan cara peleburan antara kedua kelas tersebut sehingga kesenjangan antara kedua kelas dapat dihilangkan. Pada negara-negara yang menganut konsep Marxisme (yang kemudian disebut dengan sistem komunis Marxis), hal ini direalisasikan dengan, misalnya, pengalihan kepemilikan faktor produksi dari individu dan swasta ke pemerintah serta pemerataan pendapatan masing-masing warga negara.
Pemikiran Marxisme ini muncul pada kondisi industrialisasi, dimana terdapat pembagian struktur masyarakat dalam dua kelompok, yakni kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja. Teori ini mengasumsikan bahwa dalam sistem sosial aktor-aktor yang terlibat di dalamnya terbagi dalam dua kelas, yakni kelas bourgeoisie dan kelas proletariat. Kelas bourgeoisie merupakan kalangan yang memiliki faktor produksi, sedangkan kelas proletariat merupakan kalangan yang memiliki hasil produksi. Berbeda dengan kaum liberalis yang lebih memfokuskan perhatian pada kaum kapital, maka kaum sosialis lebih memfokuskan perhatian pada kaum pekerja. Menurut pandangan kaum sosialis, sistem perekonomian sangat bergantung pada kaum proletariat sebagai pemilik SDM. Asumsi mereka, apabila kelas proletariat membatasi hasil produksi mereka maka kegiatan produksi milik kelas bourgeoisie tidak akan berjalan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, kaum proletariat memgang kendali atas sistem perekonomian.
Dasar pemikiran Karl Marx mengenai pembagian kelas tersebut dalam hubungan internasional juga diimplementasikan dalam sistem internasional. Negara-negara maju dimana dalam sistem internasional merupakan negara yang kuat dan berkuasa disebut negara core dan negara berkembang disebut negara periphery. Fenomena kesenjangan antara negara core dengan negara periphery disebut dengan istilah comparative gain (menurut kaum kapitalis) atau absolute gain (menurut kaum marxis). Dari sudut pandang kaum liberalis, comparative gain dipandang sebagai keuntungan kolektif yang timbul karena adanya hubungan interdependensi antar negara. Namun kaum marxisme memandang fenomena tersebut sebagai absolute gain dimana relasi interdependensi antar negara diwujudkan dalam bentuk yang eksploitatif secara halus oleh negara core terhadap negara periphery.

Strukturalisme (Neo-Marxisme)
Strukturalisme (neo-Marxisme) muncul dikarenakan banyaknya kritik yang ditujukan terhadap pemikiran Marxis. Kritik tersdebut terutama datang dari kalangan Realis. Menurut kaum Realis, kalangan Marxis mengabaikan peranan negara yang krusial, baik secara defensif maupun ofensif. Kaum Realis memandang bahwa negara merupakan satu-satunya institusi legal yang dapat melindungi individu terhadap berbagai ancaman dari luar dirinya dikarenakan negara memiliki otoritasi berupa hukum dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengikat dan melindungi individu yang ada didalamnya.
Selain dari kalangan Realis, kritik terhadap pemikiran Marxis ini juga muncul dari critical theory dari Frankfurt School dimana dipelopori oleh Habermas. Menurutnya, keadaan manusia dikembangkan dengan kemampuan etis dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat. Dengan berlandaskan pemikiran ini kemudian muncul pembaharuan dari perspektif Marxisme yang kemudian dikenal dengan istilah Neo-marxisme.
Yang membedakan Strukturalisme dengan pendahulunya adalah unsur-unsur konseptual dan sistematis mengenai konsep klasifikasi kelas dan pemerataan distribusi. Pada perspektif Strukturalisme ini sistem klasifikasi tidak hanya diterapkan pada sistem sosial tetapi juga sistem internasional. Karenanya perspektif ini memiliki peranan dalam munculnya teori dependensi dan teori sistem dunia ala Wallerstein. Teori dependensi membagi negara-negara di dunia dalam dua kubu yaitu negara maju dan negara dunia ketiga. Hubungan kedua negara tersebut konfliktual dan interdependensi dimana hegemoni negara maju tidak dapat dihindari karena negara maju membutuhkan adanya negara dunia ketiga untuk menunjukkan kekuasaannya, sedangkan negara dunia ketiga tidak memiliki keberdayaan untuk melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap negara maju. Konsep teori dependensi ini kemudian diadopsi oleh Wallerstein dimana negara maju disebut dengan negara core sedangkan negara dunia ketiga disebut dengan negara periphery.
Teori sistem dunia ala Wallerstein ini merupakan penerapan klasifikasi negara-negara di lingkup internasional dimana negara core merupakan negara pemilik kapital, dominan hasil produksi dan penguasa modal. Negara semi-periphery merupakan negara yang berperan untuk menjaga keseimbangan antara negara core dengan negara periphery, sedangkan negara periphery merupakan negara pemilik raw material yang biasanya menjadi objek eksploitasi negara core.

Kesimpulan dan Kritik terhadap Marxisme dan Strukturalisme
Pada intinya, kaum Marxis serta kaum Strukturalis memandang adanya pembagian aktor-aktor, baik dalam sistem sosial maupun sistem internasional, dalam dua kelompok dimana hubungan antara kedua kelas tersebut berlangsung konfliktual dan cenderung eksploitatif. Relasi antar kelas tidak pernah terjalin secara damai dikarenakan adanya eksploitasi tersebut. Sistem internasional dipandang kaum Marxis sebagai absolute gain dimana selalu terjadi upaya eksploitasi terselubung terhadap negara berkembang. Impian kaum Marxis mengenai pemerataan tidak akan terwujud karena akan memicu reaksi chaos. Hal tersebut dikarenakan tidak diakuinya kreativitas individu, penghapusan hak asasi manusia, pembatasan ruang lingkup gerak individu, serta memungkinkan sentralisasi faktor dan hasil produksi pada salah satu pihak dalam pemerintahan. Selain itu kegiatan pemerataan hasil produksi pada kenyataannya bukan malah menjadi solusi kesejahteraan akan tetapi malah menimbulkan hegemoni baru sebab pihak yang bertugas membagi rata hasil produksi tersebut memungkinkan untuk adanya kekuasaan baru di dalam komunitas tersebut. Hal inilah yang tidak akan pernah terjawab oleh konsep ini dikarenakan sistem ala Marxis ini tidak akan menimbulkan situasi damai yang permanen terutama jika diterapkan di lingkup negara.
Konsep Marxism yang sebenarnya menghendaki kebebasan sepenuhnya terhadap individu, dimana tidak ada yang memimpin dan yang dipimpin, kemudian dibelokkan oleh negara-negara yang menggunakan konsep komunis Marxis dalam sistem politik dan pemerintahan mereka. Negara-negara tersebut (mis. Rusia dan Cina) kemudian memiliki satu orang pemimpin yang sangat berkuasa dan memiliki absolute power dimana pemimpin tersebut mengatur jalannya sistem kenegaraan mereka dan memiliki pemahaman sendiri mengenai konsep komunis Marxis (mis. Leninisme, Stalinisme, Maoisme).







Sources:
Baylis, John and Smith, Steve. 2005. The Globalization Of World Politics 3th Edition. New York: Oxford University Press
Dahendrof, Ralph. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Stanford University Press
Jackson, Robert and Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, Inc.
Jones, Richard Wyn. 2001. Critical Theory and World Politics. London: Lynne Reinner Publisher, Inc.
Shimko, Keith L. 2005. International Relations, Perspectives and Controvercies. New York: Houghton Mifflin, Co.

0 comments:

Post a Comment

Thursday 22 April 2010

Major Theory in International Relations: Marxism and Structuralism


Marxisme
Teori Marxisme lahir dari pemikiran Karl Marx (1818-1883), seorang filosofis politik dan revolusionis berkebangsaan Jerman, serta Friedrich Engels (1820-1895), revolusioner ekonomi politik yang juga berkebangsaan Jerman. Mereka berdua membangun suatu pemikiran politik yang mereka sebut sebagai sosialisme ilmiah yang kemudian dipahami sebagai komunisme. Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels menempatkan landasan konseptual terhadap revolusi dan rezim komunis pada abad ke-20. Pada tahun 1847 mereka bergabung dalam kelompok kecil pemimpin kelas pekerja dalam Liga Komunis yang tak lama kemudian mereka diminta untuk merombak ulang program kelompok tersebut. Dalam Communist Manifesto (1848) Marx dan Engels meleburkan semua pembaharuan yang terjadi sebelumnya yang disebut sebagai sosialis utopian, mengklaim bahwa harapan mereka terhadap properti komunal tidak akan dapat dicapai dalam masyarakat kapitalistik. Marx dan Engels mendorong para pekerja di dunia untuk bersatu dalam mencapai sosialisme ilmiah, atau komunisme. Berawal dari teori filosofis Jerman Georg Wilhelm Friedrich Hegel, mereka mengumumkan komunisme sebagai teori yang tidak sentimental yang berasal dari hukum kekal dari sejarah.
Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal. Periode kolonialisme membawa masuk berbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk kesempatan baru dalam bentuk dependensi (ketergantungan).
Teori Marxisme menolak akan pandangan kaum Liberalis dan Realis yang lebih mengutamakan aspek politik daripada aspek ekonomi. Hal ini dikarenakan fokus utama Marxisme adalah aspek ekonomi, sedangkan Realisme dan Liberalisme lebih fokus pada konflik dan kerja sama antar negara. Dalam hubungan antara ekonomi dan politik, kaum Marxis sepakat dengan kaum Merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat berkaitan. Keduanya menolak pandangan kaum liberal tentang ekonomi otonom dimana sistem ekonomi dapat berjalan dengan hukumnya sendiri tanpa campur tangan politik. Mereka juga menolak pandangan kaum realis dimana politik yang mempengaruhi ekonomi. Tetapi sementara kaum merkantilis melihat ekonomi sebagai alat politik, kaum marxis menempatkan ekonomi pertama dan politik yang kedua, yakni ekonomi yang mempengaruhi politik. Marxisme juga menolak pandangan kaum Realis dan Liberalis mengenai relasi antar negara, dimana kaum realis memandang hubungan internasional sebagai zero-sum game (win-lose) dan kaum liberalis yang memandang hubungan internasional sebagai positive-sum gam (win-win). Menurut pandangan Marxisme, setiap hubungan relasional pasti konfliktual. Lebih spesifik lagi, Marx menyatakan bahwa dalam sistem internasional selalu terjadi konflik antar kelas. Hal ini menunjukkan bahwa Marx menspesifikasi aktor-aktor dalam hubungan internasional dalam kelas bourgeoisie dan kelas proletariat, dimana terdapat hubungan interdependensi antar kelas, sehingga konflik antar kelas tidak dapat dihindari yang dikarenakan kesenjangan antara kelas bourgeoisie dengan kelas proletariat.
Marx mengakui bahwa eksploitasi terhadap kaum pekerja oleh kaum kapital adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Menurutnya, hal tersebut merupakan salah satu wujud relasi interdepensi antar kelas sosial. Hubungan antar kelas dalam sistem sosial, menurut Marx, akan berlangsung secara harmonis apabila terjadi konflik antar kelas di dalamnya. Masih menurut pemikiran Marx, konflik yang dikarenakan eksploitasi kelas proletariat oleh kelas bourgeoisie tersebut akan memicu timbulnya aksi dan reaksi antar kelas yang disebutnya sebagai harmonisasi relasi antar kelas sosial.
Impian kaum Marxism adalah penghapusan kelas-kelas dalam sistem sosial maupun sistem internasional. Menurut mereka, satu-satunya cara untuk menghilangkan konflik antar kelas adalah dengan cara peleburan antara kedua kelas tersebut sehingga kesenjangan antara kedua kelas dapat dihilangkan. Pada negara-negara yang menganut konsep Marxisme (yang kemudian disebut dengan sistem komunis Marxis), hal ini direalisasikan dengan, misalnya, pengalihan kepemilikan faktor produksi dari individu dan swasta ke pemerintah serta pemerataan pendapatan masing-masing warga negara.
Pemikiran Marxisme ini muncul pada kondisi industrialisasi, dimana terdapat pembagian struktur masyarakat dalam dua kelompok, yakni kelompok pemilik modal dan kelompok pekerja. Teori ini mengasumsikan bahwa dalam sistem sosial aktor-aktor yang terlibat di dalamnya terbagi dalam dua kelas, yakni kelas bourgeoisie dan kelas proletariat. Kelas bourgeoisie merupakan kalangan yang memiliki faktor produksi, sedangkan kelas proletariat merupakan kalangan yang memiliki hasil produksi. Berbeda dengan kaum liberalis yang lebih memfokuskan perhatian pada kaum kapital, maka kaum sosialis lebih memfokuskan perhatian pada kaum pekerja. Menurut pandangan kaum sosialis, sistem perekonomian sangat bergantung pada kaum proletariat sebagai pemilik SDM. Asumsi mereka, apabila kelas proletariat membatasi hasil produksi mereka maka kegiatan produksi milik kelas bourgeoisie tidak akan berjalan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, kaum proletariat memgang kendali atas sistem perekonomian.
Dasar pemikiran Karl Marx mengenai pembagian kelas tersebut dalam hubungan internasional juga diimplementasikan dalam sistem internasional. Negara-negara maju dimana dalam sistem internasional merupakan negara yang kuat dan berkuasa disebut negara core dan negara berkembang disebut negara periphery. Fenomena kesenjangan antara negara core dengan negara periphery disebut dengan istilah comparative gain (menurut kaum kapitalis) atau absolute gain (menurut kaum marxis). Dari sudut pandang kaum liberalis, comparative gain dipandang sebagai keuntungan kolektif yang timbul karena adanya hubungan interdependensi antar negara. Namun kaum marxisme memandang fenomena tersebut sebagai absolute gain dimana relasi interdependensi antar negara diwujudkan dalam bentuk yang eksploitatif secara halus oleh negara core terhadap negara periphery.

Strukturalisme (Neo-Marxisme)
Strukturalisme (neo-Marxisme) muncul dikarenakan banyaknya kritik yang ditujukan terhadap pemikiran Marxis. Kritik tersdebut terutama datang dari kalangan Realis. Menurut kaum Realis, kalangan Marxis mengabaikan peranan negara yang krusial, baik secara defensif maupun ofensif. Kaum Realis memandang bahwa negara merupakan satu-satunya institusi legal yang dapat melindungi individu terhadap berbagai ancaman dari luar dirinya dikarenakan negara memiliki otoritasi berupa hukum dan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengikat dan melindungi individu yang ada didalamnya.
Selain dari kalangan Realis, kritik terhadap pemikiran Marxis ini juga muncul dari critical theory dari Frankfurt School dimana dipelopori oleh Habermas. Menurutnya, keadaan manusia dikembangkan dengan kemampuan etis dalam menciptakan tatanan masyarakat yang bermartabat. Dengan berlandaskan pemikiran ini kemudian muncul pembaharuan dari perspektif Marxisme yang kemudian dikenal dengan istilah Neo-marxisme.
Yang membedakan Strukturalisme dengan pendahulunya adalah unsur-unsur konseptual dan sistematis mengenai konsep klasifikasi kelas dan pemerataan distribusi. Pada perspektif Strukturalisme ini sistem klasifikasi tidak hanya diterapkan pada sistem sosial tetapi juga sistem internasional. Karenanya perspektif ini memiliki peranan dalam munculnya teori dependensi dan teori sistem dunia ala Wallerstein. Teori dependensi membagi negara-negara di dunia dalam dua kubu yaitu negara maju dan negara dunia ketiga. Hubungan kedua negara tersebut konfliktual dan interdependensi dimana hegemoni negara maju tidak dapat dihindari karena negara maju membutuhkan adanya negara dunia ketiga untuk menunjukkan kekuasaannya, sedangkan negara dunia ketiga tidak memiliki keberdayaan untuk melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap negara maju. Konsep teori dependensi ini kemudian diadopsi oleh Wallerstein dimana negara maju disebut dengan negara core sedangkan negara dunia ketiga disebut dengan negara periphery.
Teori sistem dunia ala Wallerstein ini merupakan penerapan klasifikasi negara-negara di lingkup internasional dimana negara core merupakan negara pemilik kapital, dominan hasil produksi dan penguasa modal. Negara semi-periphery merupakan negara yang berperan untuk menjaga keseimbangan antara negara core dengan negara periphery, sedangkan negara periphery merupakan negara pemilik raw material yang biasanya menjadi objek eksploitasi negara core.

Kesimpulan dan Kritik terhadap Marxisme dan Strukturalisme
Pada intinya, kaum Marxis serta kaum Strukturalis memandang adanya pembagian aktor-aktor, baik dalam sistem sosial maupun sistem internasional, dalam dua kelompok dimana hubungan antara kedua kelas tersebut berlangsung konfliktual dan cenderung eksploitatif. Relasi antar kelas tidak pernah terjalin secara damai dikarenakan adanya eksploitasi tersebut. Sistem internasional dipandang kaum Marxis sebagai absolute gain dimana selalu terjadi upaya eksploitasi terselubung terhadap negara berkembang. Impian kaum Marxis mengenai pemerataan tidak akan terwujud karena akan memicu reaksi chaos. Hal tersebut dikarenakan tidak diakuinya kreativitas individu, penghapusan hak asasi manusia, pembatasan ruang lingkup gerak individu, serta memungkinkan sentralisasi faktor dan hasil produksi pada salah satu pihak dalam pemerintahan. Selain itu kegiatan pemerataan hasil produksi pada kenyataannya bukan malah menjadi solusi kesejahteraan akan tetapi malah menimbulkan hegemoni baru sebab pihak yang bertugas membagi rata hasil produksi tersebut memungkinkan untuk adanya kekuasaan baru di dalam komunitas tersebut. Hal inilah yang tidak akan pernah terjawab oleh konsep ini dikarenakan sistem ala Marxis ini tidak akan menimbulkan situasi damai yang permanen terutama jika diterapkan di lingkup negara.
Konsep Marxism yang sebenarnya menghendaki kebebasan sepenuhnya terhadap individu, dimana tidak ada yang memimpin dan yang dipimpin, kemudian dibelokkan oleh negara-negara yang menggunakan konsep komunis Marxis dalam sistem politik dan pemerintahan mereka. Negara-negara tersebut (mis. Rusia dan Cina) kemudian memiliki satu orang pemimpin yang sangat berkuasa dan memiliki absolute power dimana pemimpin tersebut mengatur jalannya sistem kenegaraan mereka dan memiliki pemahaman sendiri mengenai konsep komunis Marxis (mis. Leninisme, Stalinisme, Maoisme).







Sources:
Baylis, John and Smith, Steve. 2005. The Globalization Of World Politics 3th Edition. New York: Oxford University Press
Dahendrof, Ralph. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. London: Stanford University Press
Jackson, Robert and Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press, Inc.
Jones, Richard Wyn. 2001. Critical Theory and World Politics. London: Lynne Reinner Publisher, Inc.
Shimko, Keith L. 2005. International Relations, Perspectives and Controvercies. New York: Houghton Mifflin, Co.

0 comments on "Major Theory in International Relations: Marxism and Structuralism"

Post a Comment