seperti baru saja terbangun dari tidur panjang yang lama dan melelahkan
saat itu waktu seolah terhenti pada satu tanggal
dan tangan dan kaki kehilangan rasa
tak merasa di atas bumi meski kaki masih berpijak
tak merasa panas ketika terbakar, tak membeku saat badai es
apa yang dirasa hanya kesedihan, suram dan tak berdaya
kini ketika aku terbangun,segalanya nampak jauh berbeda
aku kembali bisa merasakan dan memberi rasa
aku merasakan embun pagi, terik tengah hari, dan kabut malam hari
aku merasa sakit jika aku terluka
jika aku sedih aku menangis, aku tertawa ketika mendengar lelucon
tersipu ketika ada yang memujiku, aku merasa lelah setelah berlari jauh
aku tak lagi menelan pil pahit
karena aku sudah memiliki permen manis berwarna-warni
warnaku tak lagi hitam dan kelabu
karena aku sudah bisa mewarnai hidupku dengan warna-warna cerah
aku tak lagi duduk dengan tatapan kosong
karena aku sudah bisa menari-nari dengan bebas
aku tak lagi menangis tanpa sebab
karena aku tak lagi dihantui mimpi buruk
ya, pengetahuanku akan hidup memang hanya sebatas mata kaki
dan kesenanganku hanya sebatas fana, bersifat duniawi
namun paling tidak aku memiliki alasan yang kuat untuk melanjutkan hidup
bukan hanya bertahan dengan kenangan, seperti bergantung pada helai rambut
Monday, 25 January 2010
Wednesday, 20 January 2010
Kado
Sekali waktu kurupakan cintaku dalam bentuk barang
Bukan bentuk atau harga yang kuingin tuk dihargai,
Tapi rasa yang ada didalamnya, betapa inginnya cintaku terus menyatu
Kuingin terlindungi dan melindungi, seperti kotak kado
Ketika tak ada tanggapan dari penerima,
Bukan uangku yang kutangisi
Bukan waktuku yang kusesali
Tapi keterpurukankulah yang menghancurkanku,
Menenggelamkanku dalam-dalam
Jika ada waktu yang dapat kuambil kembali,
Tak ingin ku mengubah apapun
Jikalau aku mampu berlari,
Ku akan tetap diam
Aku tak ingin segalanya kembali ke titik semula
Aku ingin waktu terus berputar, kaki terus berjalan
Dalam ruang yang semestinya
Bila aku punya semesta, pastinya dia bukan semestaku
Dia pemberian terindah, pusat kesibukan otakku
Tak ada benda pemberiannya,
Namun kubertaahan dengan segala kenangan indah bersamanya
Dan aku menjaganya agar tetap tersimpan dengan baik dalam salah satu bagian otakku
Apapun yang kuberikan, apapun yang kuterima,
Bahkan tak ingin ku terbalas oleh fana
Apa yang kucari dalam hidup
Mungkin sama, mungkin berbeda dengan orang lain
Kuingin bahagia, apakah sama?
Bukan bentuk atau harga yang kuingin tuk dihargai,
Tapi rasa yang ada didalamnya, betapa inginnya cintaku terus menyatu
Kuingin terlindungi dan melindungi, seperti kotak kado
Ketika tak ada tanggapan dari penerima,
Bukan uangku yang kutangisi
Bukan waktuku yang kusesali
Tapi keterpurukankulah yang menghancurkanku,
Menenggelamkanku dalam-dalam
Jika ada waktu yang dapat kuambil kembali,
Tak ingin ku mengubah apapun
Jikalau aku mampu berlari,
Ku akan tetap diam
Aku tak ingin segalanya kembali ke titik semula
Aku ingin waktu terus berputar, kaki terus berjalan
Dalam ruang yang semestinya
Bila aku punya semesta, pastinya dia bukan semestaku
Dia pemberian terindah, pusat kesibukan otakku
Tak ada benda pemberiannya,
Namun kubertaahan dengan segala kenangan indah bersamanya
Dan aku menjaganya agar tetap tersimpan dengan baik dalam salah satu bagian otakku
Apapun yang kuberikan, apapun yang kuterima,
Bahkan tak ingin ku terbalas oleh fana
Apa yang kucari dalam hidup
Mungkin sama, mungkin berbeda dengan orang lain
Kuingin bahagia, apakah sama?
long trip to nowhere
perjalanan yang sangat lama, dan melelahkan
ketika langkah kaki semakin jauh dari rumah,
ketika semua orang yang dicintai telah mendahului
ketika segala kesenangan berada di balik punggung
dan yang ada hanya apa yang ada hanyalah hamparan padang yang luas, terusan jalan yang dilalui
saat itu tak ada yang bisa diandalkan selain nurani dan naluri
apa yang dicari? apa yang diinginkan?
tidak tahu
jalan yang menuju ke kegelapan
terowongan panjang tak berujung, memakan segala keindahan dunia
namun kaki tetap melangkah ke depan
terus berjalan hingga menemukan serpihan sinar
dihadapkan pada persimpangan, dan saat dimana harus memilih
akhir dari hari ini, awal dari perjalanan selanjutnya
mengosongkan kepala dan hanya mengandalkan hati
saat kaki melangkah ke arah matahari, seluruh tubuh mengikuti dengan senyuman
hamparan kapas di langit berganti dengan taburan biji jagung
seluruh tubuh memandang tarian langit malam
kulit tertembus tajamnya rumput
bau tanah lembap menusuk hidung
nyanyian hewan malam memekakkan telinga
kerlip kunang-kunang memyilaukan mata
dan tanpa terasa simfoni malam telah membuai hingga ke alam mimpi
di dalam hutan, api unggun menyala
pria-pria wanita-wanita menari-nari melingkari
pakaian yang bergemerlapan, senandung puisi dinyanyikan merdu
tenda dari kulit sapi berwarna keemasan
peralatan makan, tombak, pisau besar, teronggok di salah satu sudut
sinar matahari pagi membelai pipi
terbangun dengan penuh semangat, memandang ke jalan tak berujung
di sekeliling, hamparan rumput dan hanya beberapa batang pohon besar
rumput di tangannya terasa dingin, dan menyisakan bulir-bulir air yang kemudian menetes ke baju
berdiri tegak, memulai perjalanan
jalan yang mengarah ke gunung, semakin lama semakin melelahkan
panas mulai menyengat, udara terasa berat, jalan semakin berbatu dan terjal
masih ada kesempatan untuk berbalik dan mengganti arah yang lebih mudah
tapi kaki terus mantap melangkah ke depan, dan melalui segala tantangan
menapaki jalanan, dimana ujian terasa benar-benar berat
memandang ke bawah, dan kengerian serta ketakutan menghadang
tak ada jalan lain selain merangkak dan terus maju
mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai keindahan terakhir
dan ketika perjalanan ini berakhir, jalanan yang telah dilalui terlihat tak lebih panjang dari satu ruas jari
bolehlah untuk tersenyum puas atas akhir hari ini
namun ketika kembali menatap ke depan, ketakutan kembali menghantui
what will i do next? stay, or going down?
then when i go down, where should i do next? which path should i take?
pertanyaan yang terus mengusik pikiran menemani raga yang sedang menikmati langit sore
menghayati setiap langkah matahari menuju ke peristirahatan terakhirnya
ketika langkah kaki semakin jauh dari rumah,
ketika semua orang yang dicintai telah mendahului
ketika segala kesenangan berada di balik punggung
dan yang ada hanya apa yang ada hanyalah hamparan padang yang luas, terusan jalan yang dilalui
saat itu tak ada yang bisa diandalkan selain nurani dan naluri
apa yang dicari? apa yang diinginkan?
tidak tahu
jalan yang menuju ke kegelapan
terowongan panjang tak berujung, memakan segala keindahan dunia
namun kaki tetap melangkah ke depan
terus berjalan hingga menemukan serpihan sinar
dihadapkan pada persimpangan, dan saat dimana harus memilih
akhir dari hari ini, awal dari perjalanan selanjutnya
mengosongkan kepala dan hanya mengandalkan hati
saat kaki melangkah ke arah matahari, seluruh tubuh mengikuti dengan senyuman
hamparan kapas di langit berganti dengan taburan biji jagung
seluruh tubuh memandang tarian langit malam
kulit tertembus tajamnya rumput
bau tanah lembap menusuk hidung
nyanyian hewan malam memekakkan telinga
kerlip kunang-kunang memyilaukan mata
dan tanpa terasa simfoni malam telah membuai hingga ke alam mimpi
di dalam hutan, api unggun menyala
pria-pria wanita-wanita menari-nari melingkari
pakaian yang bergemerlapan, senandung puisi dinyanyikan merdu
tenda dari kulit sapi berwarna keemasan
peralatan makan, tombak, pisau besar, teronggok di salah satu sudut
sinar matahari pagi membelai pipi
terbangun dengan penuh semangat, memandang ke jalan tak berujung
di sekeliling, hamparan rumput dan hanya beberapa batang pohon besar
rumput di tangannya terasa dingin, dan menyisakan bulir-bulir air yang kemudian menetes ke baju
berdiri tegak, memulai perjalanan
jalan yang mengarah ke gunung, semakin lama semakin melelahkan
panas mulai menyengat, udara terasa berat, jalan semakin berbatu dan terjal
masih ada kesempatan untuk berbalik dan mengganti arah yang lebih mudah
tapi kaki terus mantap melangkah ke depan, dan melalui segala tantangan
menapaki jalanan, dimana ujian terasa benar-benar berat
memandang ke bawah, dan kengerian serta ketakutan menghadang
tak ada jalan lain selain merangkak dan terus maju
mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai keindahan terakhir
dan ketika perjalanan ini berakhir, jalanan yang telah dilalui terlihat tak lebih panjang dari satu ruas jari
bolehlah untuk tersenyum puas atas akhir hari ini
namun ketika kembali menatap ke depan, ketakutan kembali menghantui
what will i do next? stay, or going down?
then when i go down, where should i do next? which path should i take?
pertanyaan yang terus mengusik pikiran menemani raga yang sedang menikmati langit sore
menghayati setiap langkah matahari menuju ke peristirahatan terakhirnya
aku kemarin, sekarang, esok
aku telah berubah terlalu jauh,
aku telah memahami terlalu banyak.
aku membaca, aku melihat, aku mendengar, aku merasakan,
aku tak hanya menggunakan indera fisikku.
aku miliki segala yang ingin kumiliki,
aku raih segala keinginanku,
aku bersusah payah, aku berjuang.
ketika hidupku hanya berisi aku,
bertambah keluargaku,
bertambah saudaraku,
bertambah temanku.
ketika yang ditinggikan tak hanya orang tuaku,
tetapi juga guruku,
tetapi juga pengasuhku.
ketika aku harus berbagi dengan teman-temanku,
dengan sahabatku,
dengan saudaraku,
dengan orang yang tak kukenal.
ketika aku masih harus ditopang keluargaku,
kemudian berdiri dengan kakiku sendiri,
kemudian menopang pasanganku,
kemudian menopang anakku,
kemudian menopang orang tuaku.
ketika langkahku masih sepanjang sepuluh senti,
kemudian semakin besar bertambah lagi,
hingga dewasa, hingga tua, hingga mati.
aku telah memahami terlalu banyak.
aku membaca, aku melihat, aku mendengar, aku merasakan,
aku tak hanya menggunakan indera fisikku.
aku miliki segala yang ingin kumiliki,
aku raih segala keinginanku,
aku bersusah payah, aku berjuang.
ketika hidupku hanya berisi aku,
bertambah keluargaku,
bertambah saudaraku,
bertambah temanku.
ketika yang ditinggikan tak hanya orang tuaku,
tetapi juga guruku,
tetapi juga pengasuhku.
ketika aku harus berbagi dengan teman-temanku,
dengan sahabatku,
dengan saudaraku,
dengan orang yang tak kukenal.
ketika aku masih harus ditopang keluargaku,
kemudian berdiri dengan kakiku sendiri,
kemudian menopang pasanganku,
kemudian menopang anakku,
kemudian menopang orang tuaku.
ketika langkahku masih sepanjang sepuluh senti,
kemudian semakin besar bertambah lagi,
hingga dewasa, hingga tua, hingga mati.
jejak kaki
sedari dalam kandungan, sebenarnya kaki kita sudah banyak meninggalkan jejak kaki
di dalam rahim ibu, dan yang paling jelas adalah di jalan yang telah dibuatkan Tuhan untuk kita
kita lahir, sebagai wujud nyata jejak kaki kita, yang kelah akan membelah dunia dengan kekuatannya
pada saat itu, belum nampak kearah mana jalan kita maupun jejak kita melangkah
karena masa itu baru tahap awal kehidupan
kita tumbuh semakin besar, perlahan namun pasti, memperjelas jejak pada jalan kita
pada saat itu, masih ada tangan orang tua menahan beban kita, mengarahkan dan selalu mengingatkan akan jalan yang benar
selalu ada bantuan ketika tiba-tiba kita terjatuh, selalu ada tangan untuk menghapus air mata yang keluar
dan kaki orang tua kita pun terekam pada jalan kita, tepat dibelakang jejak kaki kita
ketika kita sudah cukup kuat, dan ketika kedua tangan bahkan tidak lagi kuat menopang kita agar tetap tegak
pada saat itu mereka percaya bahwa kaki kita cukup kuat untuk menapaki jalan
ketika kita tersandung, terperosok, tertatih-tatih ketika berjalan
mereka berpegangan tangan, khawatir
tapi mereka yakin kita bisa melalui jalan kita sampai akhir
merekapun berjalan lambat di belakang kita, mengawasi setiap langkah kita
setia mengingatkan meskipun kadang tak terdengar karena jarak semakin jauh
entah karena mereka semakin melambat, atau langkah kita yang semakin cepat
sepanjang perjalanan, jalan yang kita lalui tak hanya jalan milik kita
banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, berjalan kearah yang sama
sehingga seringkali kita berjalan di jalan milik orang lain
saling bertemu dan berpisah, orang lain selalu datang dan pergi
berbagai wajah berlalu, silih berganti
dan tanpa disadari, kaki kita telah menjejaki berbagai jalan
sejengkal langkah ke berbagai arah, menimbulkan jejak kaki di berbagai jalan
menginjak daratan, mengarungi lautan
lepas tanpa batas
hitunglah seberapa banyak jejak yang tercipta, sejauh mana kaki melangkah
maka tak ada jari yang mampu menghitungnya
suatu saat, kita akan menyadari bahwa kita berjalan ke arah yang sama, namun di jalan yang berbeda
ketika kita kembali berjalan di jalan kita, seketika pula kembali menapaki jalan milik orang lain
semakin sering sehingga kita terbiasa dengan wajah asingnya
pemilik jalan itu, tak ada keberatan untuk berbagi jalan, tak terbebani dengan adanya teman di jalan
pemilik jalan itu, memiliki tangan sekuat tangan orang tua kita ketika kita masih pada tahap awal
dan masing-masing saling meninggalkan jejak di samping satu sama lain
ada saatnya ketika kitalah yang menjadi penuntun, berdiri dibelakang penerus kita
menjadi penopang dan pengingat, tak hanya bagi penerus tapi juga untuk pendahulu kita, orang tua kita
pada saat inilah jalan kita melambat, hingga orang tua kita mampu menyusul kita
bersama-sama, salah satu tangan kita menopang penerus kita dan tangan yang lain merangkul bahu orang tua kita
hingga satu per satu tak lagi membutuhkan tangan kita
orang tua kita telah sampai di tujuannya, dan penerus kita terlampau jauh untuk dikejar
dan satu-satunya yang tersisa adalah teman sejalan, yang tak sekuat semula
begitu pula dengan kita
salah satu tangan saling menggandeng, tangan yang lain dibekukan angin
hingga jalan terbagi dan kita harus melepaskan tangan dengan teman sejalan
menapaki jalan terakhir menuju tujuan
di dalam rahim ibu, dan yang paling jelas adalah di jalan yang telah dibuatkan Tuhan untuk kita
kita lahir, sebagai wujud nyata jejak kaki kita, yang kelah akan membelah dunia dengan kekuatannya
pada saat itu, belum nampak kearah mana jalan kita maupun jejak kita melangkah
karena masa itu baru tahap awal kehidupan
kita tumbuh semakin besar, perlahan namun pasti, memperjelas jejak pada jalan kita
pada saat itu, masih ada tangan orang tua menahan beban kita, mengarahkan dan selalu mengingatkan akan jalan yang benar
selalu ada bantuan ketika tiba-tiba kita terjatuh, selalu ada tangan untuk menghapus air mata yang keluar
dan kaki orang tua kita pun terekam pada jalan kita, tepat dibelakang jejak kaki kita
ketika kita sudah cukup kuat, dan ketika kedua tangan bahkan tidak lagi kuat menopang kita agar tetap tegak
pada saat itu mereka percaya bahwa kaki kita cukup kuat untuk menapaki jalan
ketika kita tersandung, terperosok, tertatih-tatih ketika berjalan
mereka berpegangan tangan, khawatir
tapi mereka yakin kita bisa melalui jalan kita sampai akhir
merekapun berjalan lambat di belakang kita, mengawasi setiap langkah kita
setia mengingatkan meskipun kadang tak terdengar karena jarak semakin jauh
entah karena mereka semakin melambat, atau langkah kita yang semakin cepat
sepanjang perjalanan, jalan yang kita lalui tak hanya jalan milik kita
banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, berjalan kearah yang sama
sehingga seringkali kita berjalan di jalan milik orang lain
saling bertemu dan berpisah, orang lain selalu datang dan pergi
berbagai wajah berlalu, silih berganti
dan tanpa disadari, kaki kita telah menjejaki berbagai jalan
sejengkal langkah ke berbagai arah, menimbulkan jejak kaki di berbagai jalan
menginjak daratan, mengarungi lautan
lepas tanpa batas
hitunglah seberapa banyak jejak yang tercipta, sejauh mana kaki melangkah
maka tak ada jari yang mampu menghitungnya
suatu saat, kita akan menyadari bahwa kita berjalan ke arah yang sama, namun di jalan yang berbeda
ketika kita kembali berjalan di jalan kita, seketika pula kembali menapaki jalan milik orang lain
semakin sering sehingga kita terbiasa dengan wajah asingnya
pemilik jalan itu, tak ada keberatan untuk berbagi jalan, tak terbebani dengan adanya teman di jalan
pemilik jalan itu, memiliki tangan sekuat tangan orang tua kita ketika kita masih pada tahap awal
dan masing-masing saling meninggalkan jejak di samping satu sama lain
ada saatnya ketika kitalah yang menjadi penuntun, berdiri dibelakang penerus kita
menjadi penopang dan pengingat, tak hanya bagi penerus tapi juga untuk pendahulu kita, orang tua kita
pada saat inilah jalan kita melambat, hingga orang tua kita mampu menyusul kita
bersama-sama, salah satu tangan kita menopang penerus kita dan tangan yang lain merangkul bahu orang tua kita
hingga satu per satu tak lagi membutuhkan tangan kita
orang tua kita telah sampai di tujuannya, dan penerus kita terlampau jauh untuk dikejar
dan satu-satunya yang tersisa adalah teman sejalan, yang tak sekuat semula
begitu pula dengan kita
salah satu tangan saling menggandeng, tangan yang lain dibekukan angin
hingga jalan terbagi dan kita harus melepaskan tangan dengan teman sejalan
menapaki jalan terakhir menuju tujuan
resensi novel - Bachelorette#1
Novel ini diawali dengan ide Suzanne, seorang kepala editor majalah The Famme, untuk memasukkan Sarah Divine Holmes, salah satu penulis artikel terbaik mereka, untuk menjadi peserta dalam acara The Stag, sebuah acara televisi dimana 25 gadis cantik dari seluruh penjuru Amerika Serikat bersaing memperebutkan cinta sejati yang digambarkan oleh sesosok pria paling sempurna se-Amerika. Tampan, pirang, atletis, smart, dan yang pasti: kaya. Suzanne yakin, gadis-gadis yang nampak sempurna didepan kamera tersebut melakukan kekonyolan ketika kamera dimatikan. Menurut Suzanne, yang juga disetujui oleh Sarah, para hen — sebutan bagi gadis-gadis peserta The Stag ― tidak lebih dari sekumpulan gadis cantik bodoh yang selalu melakukan hal-hal yang memalukan.
Masalahnya, Sarah bukanlah gadis berusia dua puluhan. Usianya sudah berkepala tiga dan perutnya tidak sekencang ketika masih remaja karena pernah melahirkan. Dia juga bukan seorang PR yang setiap hari merasakan denyut pusat kota melalui trotoar dan stasiun bawah tanah. Dia hanya seorang penulis lepas yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dan yang paling penting, dia telah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Bagi Sarah, mengubah penampilannya menjadi nampak seperti gadis cantik kebanyakan merupakan sesuatu yang
Suzanne mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Sarah dengan memanipulasi identitas dalam formulir pendaftaran dan melakukan makeover terhadap penampilan Sarah. Dalam formulir pendaftaran tertulis Sarah sebagai seorang PR dalam sebuah perusahaan. Tahun kelahiran dan kelulusan Sarah dimajukan beberapa tahun. Untuk masalah penampilan, Suzanne mempercayakannya pada kru make-up artist andalannya. Mulai dari hair stylist hingga dresser. Hasilnya? Sangat menakjubkan. Sarah hampir tidak mempercayai pengalamannya ketika menguji coba penampilan barunya di jalanan pusat kota. Bahkan Jack, suaminya, mengatakan bahwa dia lebih terlihat seperti pacar daripada seorang istri.
Maka Sarah pun mengikuti audisi The Stag, dan dia pun lolos di tingkat negara bagian. Dia bergabung dengan 25 gadis lain dari seuruh penjuru Amerika. Sarah pun lolos pada seremoni lilin pertama — masa “penyusutan kelompok” dalam acara The Stag — dan merasa beruntung karena mendapat kesempatan untuk menggali informasi dari para hen selama seminggu hingga seremoni lilin berikutnya. Sarah pun sukses menjadi hen yang kompetitif dan pendapat perhatian ekstra dari Chris, pria The Stag. Pandangan pertama Sarah terhadap para hen masih sama sejak pertama kali berangkat dari kota asalnya.
Satu minggu berlalu, dan Sarah kembali lolos pada sesi seremoni lilin. Pandangan Sarah mulai berubah. Dia mulai mengenal sebagian peserta, dan menjadi teman diantara mereka. Dia menyadari bahwa tidak semua hen itu konyol dan berpemikiran sempit. Hanya ada satu peserta yang memenuhi kriteria Suzzane mengenai sifat dan perilaku hen. Namun Sarah tidak rela menggeneralisasikannya untuk memberi gambaran seluruhnya para hen. Pada saat itu Sarah masih bimbang dalam menentukan sudut pandang penulisan artikelnya.
Minggu-minggu pun berlalu, dan Sarah selalu lolos dalam setiap seremoni lilin. Dia pun lebih mengenal peserta yang lain karena jumlahnya terus menyusut setiap minggu. Dalam perjalanannya Sarah banyak menemui hambatan. Mulai dari masalah ketertarikan terhadap Chris, Jack yang mulai gelisah dan semakin sinis, hingga Suzanne yang terus mendesak menyelesaikan artikel. Belum lagi berbagai kejutan yang terjadi didepan matanya. Para peserta mulai menunjukkan sikap aslinya, ada yang memalukan namun masih ada yang sangat mengagumkan. Pada intinya, pandangan Sarah mengenai para kontestan sama sekali berubah. Sarah pun dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata kedua produser acara tersebut sangat sinis dan memandang rendah para kontestan sehingga apa yang nampak dalam televisi semuanya merupakan sudut pandang mereka. Oleh karenanya Sarah pikir tidak mengherankan bila pada acara The Stag musim lalu para hen terlihat sangat konyol dan memalukan. Karena ternyata disana sama sekali tidak ada privasi, kecuali di kamar mandi. Sarah pun menyangsikan privasi di kamar pribadi.
Sarah mulai membuat artikel dengan produser sebagai fokus utamanya. Namun setelah dia berbicara dari hati ke hati dengan salah satu produsernya, dia pun mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada sinisme terhadap para hen. Rasa iri yang didera si produser pun tidak sebatas yang nampak, bahwa para hen masih muda dan cantik sedangkan tidak demikian dengan dia. Tetapi ternyata yang sebenarnya terjadi jauh lebih bermakna dari yang nampak. Melalui acara tersebut si produser ingin memberi motivasi kepada para hen, bahwa mereka selalu memiliki kesempatan untuk menggapai apapun yang ingin mereka dapatkan asalkan mereka mau bekerja keras untuk mewujudkannya.
Pada akhirnya Sarah menulis artikel motivasi dengan mengambil The Stag sebagai latar belakangnya. Cukup mengecewakan jika melihat motivasi awal kepala editornya mengikutsertakan Sarah dalam acara tersebut beserta upaya mereka untuk memperbaiki penampilan Sarah dan segala resiko yang ditanggung sebagai akibatnya. Meski demikian Suzanne tetap puas dengan hasilnya karena Sarah menulisnya dengan baik dan sangat menyentuh. Suzanne pun turut terharu setelah membaca bagian awal artikel buatan Sarah dan setuju untuk memuatnya dalam majalah untuk edisi mendatang. Sementara itu acara The Stag sendiri berakhir berantakan karena Sarah mendadak pulang sesaat sebelum seremoni lilin puncak, dimana hanya tinggal dua kontestan yang tersisa dan hanya ada satu kontestan yang menang dan dilamar oleh si Stag. Sedangkan kontestan selain Sarah tersebut juga mengundurkan diri karena mengira dirinya hamil sehingga dia segera menghubungi mantan pacarnya dan memaksa agar melamarnya. Si produser pun kebingungan mencari-cari Sarah karena bingung bagaimana menentukan bagian akhir musim ini dan bagaimana mengaitkannya dengan musim mendatang.
Ending dari novel ini cukup unik dan tak terduga, sehingga pembaca pun tidak akan menangkap makna dalam novel ini tanpa membaca secara keseluruhan. Karena halaman terakhir dari novel ini sama sekali tidak mencerminkan perjalanan Sarah selama mengikuti acara The Stag, sehingga sangat percuma jika ada yang mencuri baca bagian akhirnya. Banyak sekali kejutan-kejutan yang muncul selama perjalanan, dan pengalaman luar biasa yang tak hanya seru tetapi juga inspiratif, baik terhadap Sarah maupun terhadap pembaca novel ini.
Masalahnya, Sarah bukanlah gadis berusia dua puluhan. Usianya sudah berkepala tiga dan perutnya tidak sekencang ketika masih remaja karena pernah melahirkan. Dia juga bukan seorang PR yang setiap hari merasakan denyut pusat kota melalui trotoar dan stasiun bawah tanah. Dia hanya seorang penulis lepas yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dan yang paling penting, dia telah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Bagi Sarah, mengubah penampilannya menjadi nampak seperti gadis cantik kebanyakan merupakan sesuatu yang
Suzanne mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Sarah dengan memanipulasi identitas dalam formulir pendaftaran dan melakukan makeover terhadap penampilan Sarah. Dalam formulir pendaftaran tertulis Sarah sebagai seorang PR dalam sebuah perusahaan. Tahun kelahiran dan kelulusan Sarah dimajukan beberapa tahun. Untuk masalah penampilan, Suzanne mempercayakannya pada kru make-up artist andalannya. Mulai dari hair stylist hingga dresser. Hasilnya? Sangat menakjubkan. Sarah hampir tidak mempercayai pengalamannya ketika menguji coba penampilan barunya di jalanan pusat kota. Bahkan Jack, suaminya, mengatakan bahwa dia lebih terlihat seperti pacar daripada seorang istri.
Maka Sarah pun mengikuti audisi The Stag, dan dia pun lolos di tingkat negara bagian. Dia bergabung dengan 25 gadis lain dari seuruh penjuru Amerika. Sarah pun lolos pada seremoni lilin pertama — masa “penyusutan kelompok” dalam acara The Stag — dan merasa beruntung karena mendapat kesempatan untuk menggali informasi dari para hen selama seminggu hingga seremoni lilin berikutnya. Sarah pun sukses menjadi hen yang kompetitif dan pendapat perhatian ekstra dari Chris, pria The Stag. Pandangan pertama Sarah terhadap para hen masih sama sejak pertama kali berangkat dari kota asalnya.
Satu minggu berlalu, dan Sarah kembali lolos pada sesi seremoni lilin. Pandangan Sarah mulai berubah. Dia mulai mengenal sebagian peserta, dan menjadi teman diantara mereka. Dia menyadari bahwa tidak semua hen itu konyol dan berpemikiran sempit. Hanya ada satu peserta yang memenuhi kriteria Suzzane mengenai sifat dan perilaku hen. Namun Sarah tidak rela menggeneralisasikannya untuk memberi gambaran seluruhnya para hen. Pada saat itu Sarah masih bimbang dalam menentukan sudut pandang penulisan artikelnya.
Minggu-minggu pun berlalu, dan Sarah selalu lolos dalam setiap seremoni lilin. Dia pun lebih mengenal peserta yang lain karena jumlahnya terus menyusut setiap minggu. Dalam perjalanannya Sarah banyak menemui hambatan. Mulai dari masalah ketertarikan terhadap Chris, Jack yang mulai gelisah dan semakin sinis, hingga Suzanne yang terus mendesak menyelesaikan artikel. Belum lagi berbagai kejutan yang terjadi didepan matanya. Para peserta mulai menunjukkan sikap aslinya, ada yang memalukan namun masih ada yang sangat mengagumkan. Pada intinya, pandangan Sarah mengenai para kontestan sama sekali berubah. Sarah pun dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata kedua produser acara tersebut sangat sinis dan memandang rendah para kontestan sehingga apa yang nampak dalam televisi semuanya merupakan sudut pandang mereka. Oleh karenanya Sarah pikir tidak mengherankan bila pada acara The Stag musim lalu para hen terlihat sangat konyol dan memalukan. Karena ternyata disana sama sekali tidak ada privasi, kecuali di kamar mandi. Sarah pun menyangsikan privasi di kamar pribadi.
Sarah mulai membuat artikel dengan produser sebagai fokus utamanya. Namun setelah dia berbicara dari hati ke hati dengan salah satu produsernya, dia pun mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada sinisme terhadap para hen. Rasa iri yang didera si produser pun tidak sebatas yang nampak, bahwa para hen masih muda dan cantik sedangkan tidak demikian dengan dia. Tetapi ternyata yang sebenarnya terjadi jauh lebih bermakna dari yang nampak. Melalui acara tersebut si produser ingin memberi motivasi kepada para hen, bahwa mereka selalu memiliki kesempatan untuk menggapai apapun yang ingin mereka dapatkan asalkan mereka mau bekerja keras untuk mewujudkannya.
Pada akhirnya Sarah menulis artikel motivasi dengan mengambil The Stag sebagai latar belakangnya. Cukup mengecewakan jika melihat motivasi awal kepala editornya mengikutsertakan Sarah dalam acara tersebut beserta upaya mereka untuk memperbaiki penampilan Sarah dan segala resiko yang ditanggung sebagai akibatnya. Meski demikian Suzanne tetap puas dengan hasilnya karena Sarah menulisnya dengan baik dan sangat menyentuh. Suzanne pun turut terharu setelah membaca bagian awal artikel buatan Sarah dan setuju untuk memuatnya dalam majalah untuk edisi mendatang. Sementara itu acara The Stag sendiri berakhir berantakan karena Sarah mendadak pulang sesaat sebelum seremoni lilin puncak, dimana hanya tinggal dua kontestan yang tersisa dan hanya ada satu kontestan yang menang dan dilamar oleh si Stag. Sedangkan kontestan selain Sarah tersebut juga mengundurkan diri karena mengira dirinya hamil sehingga dia segera menghubungi mantan pacarnya dan memaksa agar melamarnya. Si produser pun kebingungan mencari-cari Sarah karena bingung bagaimana menentukan bagian akhir musim ini dan bagaimana mengaitkannya dengan musim mendatang.
Ending dari novel ini cukup unik dan tak terduga, sehingga pembaca pun tidak akan menangkap makna dalam novel ini tanpa membaca secara keseluruhan. Karena halaman terakhir dari novel ini sama sekali tidak mencerminkan perjalanan Sarah selama mengikuti acara The Stag, sehingga sangat percuma jika ada yang mencuri baca bagian akhirnya. Banyak sekali kejutan-kejutan yang muncul selama perjalanan, dan pengalaman luar biasa yang tak hanya seru tetapi juga inspiratif, baik terhadap Sarah maupun terhadap pembaca novel ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Monday, 25 January 2010
Bangun
seperti baru saja terbangun dari tidur panjang yang lama dan melelahkan
saat itu waktu seolah terhenti pada satu tanggal
dan tangan dan kaki kehilangan rasa
tak merasa di atas bumi meski kaki masih berpijak
tak merasa panas ketika terbakar, tak membeku saat badai es
apa yang dirasa hanya kesedihan, suram dan tak berdaya
kini ketika aku terbangun,segalanya nampak jauh berbeda
aku kembali bisa merasakan dan memberi rasa
aku merasakan embun pagi, terik tengah hari, dan kabut malam hari
aku merasa sakit jika aku terluka
jika aku sedih aku menangis, aku tertawa ketika mendengar lelucon
tersipu ketika ada yang memujiku, aku merasa lelah setelah berlari jauh
aku tak lagi menelan pil pahit
karena aku sudah memiliki permen manis berwarna-warni
warnaku tak lagi hitam dan kelabu
karena aku sudah bisa mewarnai hidupku dengan warna-warna cerah
aku tak lagi duduk dengan tatapan kosong
karena aku sudah bisa menari-nari dengan bebas
aku tak lagi menangis tanpa sebab
karena aku tak lagi dihantui mimpi buruk
ya, pengetahuanku akan hidup memang hanya sebatas mata kaki
dan kesenanganku hanya sebatas fana, bersifat duniawi
namun paling tidak aku memiliki alasan yang kuat untuk melanjutkan hidup
bukan hanya bertahan dengan kenangan, seperti bergantung pada helai rambut
saat itu waktu seolah terhenti pada satu tanggal
dan tangan dan kaki kehilangan rasa
tak merasa di atas bumi meski kaki masih berpijak
tak merasa panas ketika terbakar, tak membeku saat badai es
apa yang dirasa hanya kesedihan, suram dan tak berdaya
kini ketika aku terbangun,segalanya nampak jauh berbeda
aku kembali bisa merasakan dan memberi rasa
aku merasakan embun pagi, terik tengah hari, dan kabut malam hari
aku merasa sakit jika aku terluka
jika aku sedih aku menangis, aku tertawa ketika mendengar lelucon
tersipu ketika ada yang memujiku, aku merasa lelah setelah berlari jauh
aku tak lagi menelan pil pahit
karena aku sudah memiliki permen manis berwarna-warni
warnaku tak lagi hitam dan kelabu
karena aku sudah bisa mewarnai hidupku dengan warna-warna cerah
aku tak lagi duduk dengan tatapan kosong
karena aku sudah bisa menari-nari dengan bebas
aku tak lagi menangis tanpa sebab
karena aku tak lagi dihantui mimpi buruk
ya, pengetahuanku akan hidup memang hanya sebatas mata kaki
dan kesenanganku hanya sebatas fana, bersifat duniawi
namun paling tidak aku memiliki alasan yang kuat untuk melanjutkan hidup
bukan hanya bertahan dengan kenangan, seperti bergantung pada helai rambut
Wednesday, 20 January 2010
Kado
Sekali waktu kurupakan cintaku dalam bentuk barang
Bukan bentuk atau harga yang kuingin tuk dihargai,
Tapi rasa yang ada didalamnya, betapa inginnya cintaku terus menyatu
Kuingin terlindungi dan melindungi, seperti kotak kado
Ketika tak ada tanggapan dari penerima,
Bukan uangku yang kutangisi
Bukan waktuku yang kusesali
Tapi keterpurukankulah yang menghancurkanku,
Menenggelamkanku dalam-dalam
Jika ada waktu yang dapat kuambil kembali,
Tak ingin ku mengubah apapun
Jikalau aku mampu berlari,
Ku akan tetap diam
Aku tak ingin segalanya kembali ke titik semula
Aku ingin waktu terus berputar, kaki terus berjalan
Dalam ruang yang semestinya
Bila aku punya semesta, pastinya dia bukan semestaku
Dia pemberian terindah, pusat kesibukan otakku
Tak ada benda pemberiannya,
Namun kubertaahan dengan segala kenangan indah bersamanya
Dan aku menjaganya agar tetap tersimpan dengan baik dalam salah satu bagian otakku
Apapun yang kuberikan, apapun yang kuterima,
Bahkan tak ingin ku terbalas oleh fana
Apa yang kucari dalam hidup
Mungkin sama, mungkin berbeda dengan orang lain
Kuingin bahagia, apakah sama?
Bukan bentuk atau harga yang kuingin tuk dihargai,
Tapi rasa yang ada didalamnya, betapa inginnya cintaku terus menyatu
Kuingin terlindungi dan melindungi, seperti kotak kado
Ketika tak ada tanggapan dari penerima,
Bukan uangku yang kutangisi
Bukan waktuku yang kusesali
Tapi keterpurukankulah yang menghancurkanku,
Menenggelamkanku dalam-dalam
Jika ada waktu yang dapat kuambil kembali,
Tak ingin ku mengubah apapun
Jikalau aku mampu berlari,
Ku akan tetap diam
Aku tak ingin segalanya kembali ke titik semula
Aku ingin waktu terus berputar, kaki terus berjalan
Dalam ruang yang semestinya
Bila aku punya semesta, pastinya dia bukan semestaku
Dia pemberian terindah, pusat kesibukan otakku
Tak ada benda pemberiannya,
Namun kubertaahan dengan segala kenangan indah bersamanya
Dan aku menjaganya agar tetap tersimpan dengan baik dalam salah satu bagian otakku
Apapun yang kuberikan, apapun yang kuterima,
Bahkan tak ingin ku terbalas oleh fana
Apa yang kucari dalam hidup
Mungkin sama, mungkin berbeda dengan orang lain
Kuingin bahagia, apakah sama?
long trip to nowhere
perjalanan yang sangat lama, dan melelahkan
ketika langkah kaki semakin jauh dari rumah,
ketika semua orang yang dicintai telah mendahului
ketika segala kesenangan berada di balik punggung
dan yang ada hanya apa yang ada hanyalah hamparan padang yang luas, terusan jalan yang dilalui
saat itu tak ada yang bisa diandalkan selain nurani dan naluri
apa yang dicari? apa yang diinginkan?
tidak tahu
jalan yang menuju ke kegelapan
terowongan panjang tak berujung, memakan segala keindahan dunia
namun kaki tetap melangkah ke depan
terus berjalan hingga menemukan serpihan sinar
dihadapkan pada persimpangan, dan saat dimana harus memilih
akhir dari hari ini, awal dari perjalanan selanjutnya
mengosongkan kepala dan hanya mengandalkan hati
saat kaki melangkah ke arah matahari, seluruh tubuh mengikuti dengan senyuman
hamparan kapas di langit berganti dengan taburan biji jagung
seluruh tubuh memandang tarian langit malam
kulit tertembus tajamnya rumput
bau tanah lembap menusuk hidung
nyanyian hewan malam memekakkan telinga
kerlip kunang-kunang memyilaukan mata
dan tanpa terasa simfoni malam telah membuai hingga ke alam mimpi
di dalam hutan, api unggun menyala
pria-pria wanita-wanita menari-nari melingkari
pakaian yang bergemerlapan, senandung puisi dinyanyikan merdu
tenda dari kulit sapi berwarna keemasan
peralatan makan, tombak, pisau besar, teronggok di salah satu sudut
sinar matahari pagi membelai pipi
terbangun dengan penuh semangat, memandang ke jalan tak berujung
di sekeliling, hamparan rumput dan hanya beberapa batang pohon besar
rumput di tangannya terasa dingin, dan menyisakan bulir-bulir air yang kemudian menetes ke baju
berdiri tegak, memulai perjalanan
jalan yang mengarah ke gunung, semakin lama semakin melelahkan
panas mulai menyengat, udara terasa berat, jalan semakin berbatu dan terjal
masih ada kesempatan untuk berbalik dan mengganti arah yang lebih mudah
tapi kaki terus mantap melangkah ke depan, dan melalui segala tantangan
menapaki jalanan, dimana ujian terasa benar-benar berat
memandang ke bawah, dan kengerian serta ketakutan menghadang
tak ada jalan lain selain merangkak dan terus maju
mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai keindahan terakhir
dan ketika perjalanan ini berakhir, jalanan yang telah dilalui terlihat tak lebih panjang dari satu ruas jari
bolehlah untuk tersenyum puas atas akhir hari ini
namun ketika kembali menatap ke depan, ketakutan kembali menghantui
what will i do next? stay, or going down?
then when i go down, where should i do next? which path should i take?
pertanyaan yang terus mengusik pikiran menemani raga yang sedang menikmati langit sore
menghayati setiap langkah matahari menuju ke peristirahatan terakhirnya
ketika langkah kaki semakin jauh dari rumah,
ketika semua orang yang dicintai telah mendahului
ketika segala kesenangan berada di balik punggung
dan yang ada hanya apa yang ada hanyalah hamparan padang yang luas, terusan jalan yang dilalui
saat itu tak ada yang bisa diandalkan selain nurani dan naluri
apa yang dicari? apa yang diinginkan?
tidak tahu
jalan yang menuju ke kegelapan
terowongan panjang tak berujung, memakan segala keindahan dunia
namun kaki tetap melangkah ke depan
terus berjalan hingga menemukan serpihan sinar
dihadapkan pada persimpangan, dan saat dimana harus memilih
akhir dari hari ini, awal dari perjalanan selanjutnya
mengosongkan kepala dan hanya mengandalkan hati
saat kaki melangkah ke arah matahari, seluruh tubuh mengikuti dengan senyuman
hamparan kapas di langit berganti dengan taburan biji jagung
seluruh tubuh memandang tarian langit malam
kulit tertembus tajamnya rumput
bau tanah lembap menusuk hidung
nyanyian hewan malam memekakkan telinga
kerlip kunang-kunang memyilaukan mata
dan tanpa terasa simfoni malam telah membuai hingga ke alam mimpi
di dalam hutan, api unggun menyala
pria-pria wanita-wanita menari-nari melingkari
pakaian yang bergemerlapan, senandung puisi dinyanyikan merdu
tenda dari kulit sapi berwarna keemasan
peralatan makan, tombak, pisau besar, teronggok di salah satu sudut
sinar matahari pagi membelai pipi
terbangun dengan penuh semangat, memandang ke jalan tak berujung
di sekeliling, hamparan rumput dan hanya beberapa batang pohon besar
rumput di tangannya terasa dingin, dan menyisakan bulir-bulir air yang kemudian menetes ke baju
berdiri tegak, memulai perjalanan
jalan yang mengarah ke gunung, semakin lama semakin melelahkan
panas mulai menyengat, udara terasa berat, jalan semakin berbatu dan terjal
masih ada kesempatan untuk berbalik dan mengganti arah yang lebih mudah
tapi kaki terus mantap melangkah ke depan, dan melalui segala tantangan
menapaki jalanan, dimana ujian terasa benar-benar berat
memandang ke bawah, dan kengerian serta ketakutan menghadang
tak ada jalan lain selain merangkak dan terus maju
mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai keindahan terakhir
dan ketika perjalanan ini berakhir, jalanan yang telah dilalui terlihat tak lebih panjang dari satu ruas jari
bolehlah untuk tersenyum puas atas akhir hari ini
namun ketika kembali menatap ke depan, ketakutan kembali menghantui
what will i do next? stay, or going down?
then when i go down, where should i do next? which path should i take?
pertanyaan yang terus mengusik pikiran menemani raga yang sedang menikmati langit sore
menghayati setiap langkah matahari menuju ke peristirahatan terakhirnya
aku kemarin, sekarang, esok
aku telah berubah terlalu jauh,
aku telah memahami terlalu banyak.
aku membaca, aku melihat, aku mendengar, aku merasakan,
aku tak hanya menggunakan indera fisikku.
aku miliki segala yang ingin kumiliki,
aku raih segala keinginanku,
aku bersusah payah, aku berjuang.
ketika hidupku hanya berisi aku,
bertambah keluargaku,
bertambah saudaraku,
bertambah temanku.
ketika yang ditinggikan tak hanya orang tuaku,
tetapi juga guruku,
tetapi juga pengasuhku.
ketika aku harus berbagi dengan teman-temanku,
dengan sahabatku,
dengan saudaraku,
dengan orang yang tak kukenal.
ketika aku masih harus ditopang keluargaku,
kemudian berdiri dengan kakiku sendiri,
kemudian menopang pasanganku,
kemudian menopang anakku,
kemudian menopang orang tuaku.
ketika langkahku masih sepanjang sepuluh senti,
kemudian semakin besar bertambah lagi,
hingga dewasa, hingga tua, hingga mati.
aku telah memahami terlalu banyak.
aku membaca, aku melihat, aku mendengar, aku merasakan,
aku tak hanya menggunakan indera fisikku.
aku miliki segala yang ingin kumiliki,
aku raih segala keinginanku,
aku bersusah payah, aku berjuang.
ketika hidupku hanya berisi aku,
bertambah keluargaku,
bertambah saudaraku,
bertambah temanku.
ketika yang ditinggikan tak hanya orang tuaku,
tetapi juga guruku,
tetapi juga pengasuhku.
ketika aku harus berbagi dengan teman-temanku,
dengan sahabatku,
dengan saudaraku,
dengan orang yang tak kukenal.
ketika aku masih harus ditopang keluargaku,
kemudian berdiri dengan kakiku sendiri,
kemudian menopang pasanganku,
kemudian menopang anakku,
kemudian menopang orang tuaku.
ketika langkahku masih sepanjang sepuluh senti,
kemudian semakin besar bertambah lagi,
hingga dewasa, hingga tua, hingga mati.
jejak kaki
sedari dalam kandungan, sebenarnya kaki kita sudah banyak meninggalkan jejak kaki
di dalam rahim ibu, dan yang paling jelas adalah di jalan yang telah dibuatkan Tuhan untuk kita
kita lahir, sebagai wujud nyata jejak kaki kita, yang kelah akan membelah dunia dengan kekuatannya
pada saat itu, belum nampak kearah mana jalan kita maupun jejak kita melangkah
karena masa itu baru tahap awal kehidupan
kita tumbuh semakin besar, perlahan namun pasti, memperjelas jejak pada jalan kita
pada saat itu, masih ada tangan orang tua menahan beban kita, mengarahkan dan selalu mengingatkan akan jalan yang benar
selalu ada bantuan ketika tiba-tiba kita terjatuh, selalu ada tangan untuk menghapus air mata yang keluar
dan kaki orang tua kita pun terekam pada jalan kita, tepat dibelakang jejak kaki kita
ketika kita sudah cukup kuat, dan ketika kedua tangan bahkan tidak lagi kuat menopang kita agar tetap tegak
pada saat itu mereka percaya bahwa kaki kita cukup kuat untuk menapaki jalan
ketika kita tersandung, terperosok, tertatih-tatih ketika berjalan
mereka berpegangan tangan, khawatir
tapi mereka yakin kita bisa melalui jalan kita sampai akhir
merekapun berjalan lambat di belakang kita, mengawasi setiap langkah kita
setia mengingatkan meskipun kadang tak terdengar karena jarak semakin jauh
entah karena mereka semakin melambat, atau langkah kita yang semakin cepat
sepanjang perjalanan, jalan yang kita lalui tak hanya jalan milik kita
banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, berjalan kearah yang sama
sehingga seringkali kita berjalan di jalan milik orang lain
saling bertemu dan berpisah, orang lain selalu datang dan pergi
berbagai wajah berlalu, silih berganti
dan tanpa disadari, kaki kita telah menjejaki berbagai jalan
sejengkal langkah ke berbagai arah, menimbulkan jejak kaki di berbagai jalan
menginjak daratan, mengarungi lautan
lepas tanpa batas
hitunglah seberapa banyak jejak yang tercipta, sejauh mana kaki melangkah
maka tak ada jari yang mampu menghitungnya
suatu saat, kita akan menyadari bahwa kita berjalan ke arah yang sama, namun di jalan yang berbeda
ketika kita kembali berjalan di jalan kita, seketika pula kembali menapaki jalan milik orang lain
semakin sering sehingga kita terbiasa dengan wajah asingnya
pemilik jalan itu, tak ada keberatan untuk berbagi jalan, tak terbebani dengan adanya teman di jalan
pemilik jalan itu, memiliki tangan sekuat tangan orang tua kita ketika kita masih pada tahap awal
dan masing-masing saling meninggalkan jejak di samping satu sama lain
ada saatnya ketika kitalah yang menjadi penuntun, berdiri dibelakang penerus kita
menjadi penopang dan pengingat, tak hanya bagi penerus tapi juga untuk pendahulu kita, orang tua kita
pada saat inilah jalan kita melambat, hingga orang tua kita mampu menyusul kita
bersama-sama, salah satu tangan kita menopang penerus kita dan tangan yang lain merangkul bahu orang tua kita
hingga satu per satu tak lagi membutuhkan tangan kita
orang tua kita telah sampai di tujuannya, dan penerus kita terlampau jauh untuk dikejar
dan satu-satunya yang tersisa adalah teman sejalan, yang tak sekuat semula
begitu pula dengan kita
salah satu tangan saling menggandeng, tangan yang lain dibekukan angin
hingga jalan terbagi dan kita harus melepaskan tangan dengan teman sejalan
menapaki jalan terakhir menuju tujuan
di dalam rahim ibu, dan yang paling jelas adalah di jalan yang telah dibuatkan Tuhan untuk kita
kita lahir, sebagai wujud nyata jejak kaki kita, yang kelah akan membelah dunia dengan kekuatannya
pada saat itu, belum nampak kearah mana jalan kita maupun jejak kita melangkah
karena masa itu baru tahap awal kehidupan
kita tumbuh semakin besar, perlahan namun pasti, memperjelas jejak pada jalan kita
pada saat itu, masih ada tangan orang tua menahan beban kita, mengarahkan dan selalu mengingatkan akan jalan yang benar
selalu ada bantuan ketika tiba-tiba kita terjatuh, selalu ada tangan untuk menghapus air mata yang keluar
dan kaki orang tua kita pun terekam pada jalan kita, tepat dibelakang jejak kaki kita
ketika kita sudah cukup kuat, dan ketika kedua tangan bahkan tidak lagi kuat menopang kita agar tetap tegak
pada saat itu mereka percaya bahwa kaki kita cukup kuat untuk menapaki jalan
ketika kita tersandung, terperosok, tertatih-tatih ketika berjalan
mereka berpegangan tangan, khawatir
tapi mereka yakin kita bisa melalui jalan kita sampai akhir
merekapun berjalan lambat di belakang kita, mengawasi setiap langkah kita
setia mengingatkan meskipun kadang tak terdengar karena jarak semakin jauh
entah karena mereka semakin melambat, atau langkah kita yang semakin cepat
sepanjang perjalanan, jalan yang kita lalui tak hanya jalan milik kita
banyak orang yang memiliki tujuan yang sama, berjalan kearah yang sama
sehingga seringkali kita berjalan di jalan milik orang lain
saling bertemu dan berpisah, orang lain selalu datang dan pergi
berbagai wajah berlalu, silih berganti
dan tanpa disadari, kaki kita telah menjejaki berbagai jalan
sejengkal langkah ke berbagai arah, menimbulkan jejak kaki di berbagai jalan
menginjak daratan, mengarungi lautan
lepas tanpa batas
hitunglah seberapa banyak jejak yang tercipta, sejauh mana kaki melangkah
maka tak ada jari yang mampu menghitungnya
suatu saat, kita akan menyadari bahwa kita berjalan ke arah yang sama, namun di jalan yang berbeda
ketika kita kembali berjalan di jalan kita, seketika pula kembali menapaki jalan milik orang lain
semakin sering sehingga kita terbiasa dengan wajah asingnya
pemilik jalan itu, tak ada keberatan untuk berbagi jalan, tak terbebani dengan adanya teman di jalan
pemilik jalan itu, memiliki tangan sekuat tangan orang tua kita ketika kita masih pada tahap awal
dan masing-masing saling meninggalkan jejak di samping satu sama lain
ada saatnya ketika kitalah yang menjadi penuntun, berdiri dibelakang penerus kita
menjadi penopang dan pengingat, tak hanya bagi penerus tapi juga untuk pendahulu kita, orang tua kita
pada saat inilah jalan kita melambat, hingga orang tua kita mampu menyusul kita
bersama-sama, salah satu tangan kita menopang penerus kita dan tangan yang lain merangkul bahu orang tua kita
hingga satu per satu tak lagi membutuhkan tangan kita
orang tua kita telah sampai di tujuannya, dan penerus kita terlampau jauh untuk dikejar
dan satu-satunya yang tersisa adalah teman sejalan, yang tak sekuat semula
begitu pula dengan kita
salah satu tangan saling menggandeng, tangan yang lain dibekukan angin
hingga jalan terbagi dan kita harus melepaskan tangan dengan teman sejalan
menapaki jalan terakhir menuju tujuan
resensi novel - Bachelorette#1
Novel ini diawali dengan ide Suzanne, seorang kepala editor majalah The Famme, untuk memasukkan Sarah Divine Holmes, salah satu penulis artikel terbaik mereka, untuk menjadi peserta dalam acara The Stag, sebuah acara televisi dimana 25 gadis cantik dari seluruh penjuru Amerika Serikat bersaing memperebutkan cinta sejati yang digambarkan oleh sesosok pria paling sempurna se-Amerika. Tampan, pirang, atletis, smart, dan yang pasti: kaya. Suzanne yakin, gadis-gadis yang nampak sempurna didepan kamera tersebut melakukan kekonyolan ketika kamera dimatikan. Menurut Suzanne, yang juga disetujui oleh Sarah, para hen — sebutan bagi gadis-gadis peserta The Stag ― tidak lebih dari sekumpulan gadis cantik bodoh yang selalu melakukan hal-hal yang memalukan.
Masalahnya, Sarah bukanlah gadis berusia dua puluhan. Usianya sudah berkepala tiga dan perutnya tidak sekencang ketika masih remaja karena pernah melahirkan. Dia juga bukan seorang PR yang setiap hari merasakan denyut pusat kota melalui trotoar dan stasiun bawah tanah. Dia hanya seorang penulis lepas yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dan yang paling penting, dia telah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Bagi Sarah, mengubah penampilannya menjadi nampak seperti gadis cantik kebanyakan merupakan sesuatu yang
Suzanne mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Sarah dengan memanipulasi identitas dalam formulir pendaftaran dan melakukan makeover terhadap penampilan Sarah. Dalam formulir pendaftaran tertulis Sarah sebagai seorang PR dalam sebuah perusahaan. Tahun kelahiran dan kelulusan Sarah dimajukan beberapa tahun. Untuk masalah penampilan, Suzanne mempercayakannya pada kru make-up artist andalannya. Mulai dari hair stylist hingga dresser. Hasilnya? Sangat menakjubkan. Sarah hampir tidak mempercayai pengalamannya ketika menguji coba penampilan barunya di jalanan pusat kota. Bahkan Jack, suaminya, mengatakan bahwa dia lebih terlihat seperti pacar daripada seorang istri.
Maka Sarah pun mengikuti audisi The Stag, dan dia pun lolos di tingkat negara bagian. Dia bergabung dengan 25 gadis lain dari seuruh penjuru Amerika. Sarah pun lolos pada seremoni lilin pertama — masa “penyusutan kelompok” dalam acara The Stag — dan merasa beruntung karena mendapat kesempatan untuk menggali informasi dari para hen selama seminggu hingga seremoni lilin berikutnya. Sarah pun sukses menjadi hen yang kompetitif dan pendapat perhatian ekstra dari Chris, pria The Stag. Pandangan pertama Sarah terhadap para hen masih sama sejak pertama kali berangkat dari kota asalnya.
Satu minggu berlalu, dan Sarah kembali lolos pada sesi seremoni lilin. Pandangan Sarah mulai berubah. Dia mulai mengenal sebagian peserta, dan menjadi teman diantara mereka. Dia menyadari bahwa tidak semua hen itu konyol dan berpemikiran sempit. Hanya ada satu peserta yang memenuhi kriteria Suzzane mengenai sifat dan perilaku hen. Namun Sarah tidak rela menggeneralisasikannya untuk memberi gambaran seluruhnya para hen. Pada saat itu Sarah masih bimbang dalam menentukan sudut pandang penulisan artikelnya.
Minggu-minggu pun berlalu, dan Sarah selalu lolos dalam setiap seremoni lilin. Dia pun lebih mengenal peserta yang lain karena jumlahnya terus menyusut setiap minggu. Dalam perjalanannya Sarah banyak menemui hambatan. Mulai dari masalah ketertarikan terhadap Chris, Jack yang mulai gelisah dan semakin sinis, hingga Suzanne yang terus mendesak menyelesaikan artikel. Belum lagi berbagai kejutan yang terjadi didepan matanya. Para peserta mulai menunjukkan sikap aslinya, ada yang memalukan namun masih ada yang sangat mengagumkan. Pada intinya, pandangan Sarah mengenai para kontestan sama sekali berubah. Sarah pun dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata kedua produser acara tersebut sangat sinis dan memandang rendah para kontestan sehingga apa yang nampak dalam televisi semuanya merupakan sudut pandang mereka. Oleh karenanya Sarah pikir tidak mengherankan bila pada acara The Stag musim lalu para hen terlihat sangat konyol dan memalukan. Karena ternyata disana sama sekali tidak ada privasi, kecuali di kamar mandi. Sarah pun menyangsikan privasi di kamar pribadi.
Sarah mulai membuat artikel dengan produser sebagai fokus utamanya. Namun setelah dia berbicara dari hati ke hati dengan salah satu produsernya, dia pun mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada sinisme terhadap para hen. Rasa iri yang didera si produser pun tidak sebatas yang nampak, bahwa para hen masih muda dan cantik sedangkan tidak demikian dengan dia. Tetapi ternyata yang sebenarnya terjadi jauh lebih bermakna dari yang nampak. Melalui acara tersebut si produser ingin memberi motivasi kepada para hen, bahwa mereka selalu memiliki kesempatan untuk menggapai apapun yang ingin mereka dapatkan asalkan mereka mau bekerja keras untuk mewujudkannya.
Pada akhirnya Sarah menulis artikel motivasi dengan mengambil The Stag sebagai latar belakangnya. Cukup mengecewakan jika melihat motivasi awal kepala editornya mengikutsertakan Sarah dalam acara tersebut beserta upaya mereka untuk memperbaiki penampilan Sarah dan segala resiko yang ditanggung sebagai akibatnya. Meski demikian Suzanne tetap puas dengan hasilnya karena Sarah menulisnya dengan baik dan sangat menyentuh. Suzanne pun turut terharu setelah membaca bagian awal artikel buatan Sarah dan setuju untuk memuatnya dalam majalah untuk edisi mendatang. Sementara itu acara The Stag sendiri berakhir berantakan karena Sarah mendadak pulang sesaat sebelum seremoni lilin puncak, dimana hanya tinggal dua kontestan yang tersisa dan hanya ada satu kontestan yang menang dan dilamar oleh si Stag. Sedangkan kontestan selain Sarah tersebut juga mengundurkan diri karena mengira dirinya hamil sehingga dia segera menghubungi mantan pacarnya dan memaksa agar melamarnya. Si produser pun kebingungan mencari-cari Sarah karena bingung bagaimana menentukan bagian akhir musim ini dan bagaimana mengaitkannya dengan musim mendatang.
Ending dari novel ini cukup unik dan tak terduga, sehingga pembaca pun tidak akan menangkap makna dalam novel ini tanpa membaca secara keseluruhan. Karena halaman terakhir dari novel ini sama sekali tidak mencerminkan perjalanan Sarah selama mengikuti acara The Stag, sehingga sangat percuma jika ada yang mencuri baca bagian akhirnya. Banyak sekali kejutan-kejutan yang muncul selama perjalanan, dan pengalaman luar biasa yang tak hanya seru tetapi juga inspiratif, baik terhadap Sarah maupun terhadap pembaca novel ini.
Masalahnya, Sarah bukanlah gadis berusia dua puluhan. Usianya sudah berkepala tiga dan perutnya tidak sekencang ketika masih remaja karena pernah melahirkan. Dia juga bukan seorang PR yang setiap hari merasakan denyut pusat kota melalui trotoar dan stasiun bawah tanah. Dia hanya seorang penulis lepas yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dan yang paling penting, dia telah menikah dan memiliki seorang anak perempuan. Bagi Sarah, mengubah penampilannya menjadi nampak seperti gadis cantik kebanyakan merupakan sesuatu yang
Suzanne mengatasi berbagai masalah yang dihadapi Sarah dengan memanipulasi identitas dalam formulir pendaftaran dan melakukan makeover terhadap penampilan Sarah. Dalam formulir pendaftaran tertulis Sarah sebagai seorang PR dalam sebuah perusahaan. Tahun kelahiran dan kelulusan Sarah dimajukan beberapa tahun. Untuk masalah penampilan, Suzanne mempercayakannya pada kru make-up artist andalannya. Mulai dari hair stylist hingga dresser. Hasilnya? Sangat menakjubkan. Sarah hampir tidak mempercayai pengalamannya ketika menguji coba penampilan barunya di jalanan pusat kota. Bahkan Jack, suaminya, mengatakan bahwa dia lebih terlihat seperti pacar daripada seorang istri.
Maka Sarah pun mengikuti audisi The Stag, dan dia pun lolos di tingkat negara bagian. Dia bergabung dengan 25 gadis lain dari seuruh penjuru Amerika. Sarah pun lolos pada seremoni lilin pertama — masa “penyusutan kelompok” dalam acara The Stag — dan merasa beruntung karena mendapat kesempatan untuk menggali informasi dari para hen selama seminggu hingga seremoni lilin berikutnya. Sarah pun sukses menjadi hen yang kompetitif dan pendapat perhatian ekstra dari Chris, pria The Stag. Pandangan pertama Sarah terhadap para hen masih sama sejak pertama kali berangkat dari kota asalnya.
Satu minggu berlalu, dan Sarah kembali lolos pada sesi seremoni lilin. Pandangan Sarah mulai berubah. Dia mulai mengenal sebagian peserta, dan menjadi teman diantara mereka. Dia menyadari bahwa tidak semua hen itu konyol dan berpemikiran sempit. Hanya ada satu peserta yang memenuhi kriteria Suzzane mengenai sifat dan perilaku hen. Namun Sarah tidak rela menggeneralisasikannya untuk memberi gambaran seluruhnya para hen. Pada saat itu Sarah masih bimbang dalam menentukan sudut pandang penulisan artikelnya.
Minggu-minggu pun berlalu, dan Sarah selalu lolos dalam setiap seremoni lilin. Dia pun lebih mengenal peserta yang lain karena jumlahnya terus menyusut setiap minggu. Dalam perjalanannya Sarah banyak menemui hambatan. Mulai dari masalah ketertarikan terhadap Chris, Jack yang mulai gelisah dan semakin sinis, hingga Suzanne yang terus mendesak menyelesaikan artikel. Belum lagi berbagai kejutan yang terjadi didepan matanya. Para peserta mulai menunjukkan sikap aslinya, ada yang memalukan namun masih ada yang sangat mengagumkan. Pada intinya, pandangan Sarah mengenai para kontestan sama sekali berubah. Sarah pun dihadapkan pada kenyataan bahwa ternyata kedua produser acara tersebut sangat sinis dan memandang rendah para kontestan sehingga apa yang nampak dalam televisi semuanya merupakan sudut pandang mereka. Oleh karenanya Sarah pikir tidak mengherankan bila pada acara The Stag musim lalu para hen terlihat sangat konyol dan memalukan. Karena ternyata disana sama sekali tidak ada privasi, kecuali di kamar mandi. Sarah pun menyangsikan privasi di kamar pribadi.
Sarah mulai membuat artikel dengan produser sebagai fokus utamanya. Namun setelah dia berbicara dari hati ke hati dengan salah satu produsernya, dia pun mengetahui bahwa sebenarnya tidak ada sinisme terhadap para hen. Rasa iri yang didera si produser pun tidak sebatas yang nampak, bahwa para hen masih muda dan cantik sedangkan tidak demikian dengan dia. Tetapi ternyata yang sebenarnya terjadi jauh lebih bermakna dari yang nampak. Melalui acara tersebut si produser ingin memberi motivasi kepada para hen, bahwa mereka selalu memiliki kesempatan untuk menggapai apapun yang ingin mereka dapatkan asalkan mereka mau bekerja keras untuk mewujudkannya.
Pada akhirnya Sarah menulis artikel motivasi dengan mengambil The Stag sebagai latar belakangnya. Cukup mengecewakan jika melihat motivasi awal kepala editornya mengikutsertakan Sarah dalam acara tersebut beserta upaya mereka untuk memperbaiki penampilan Sarah dan segala resiko yang ditanggung sebagai akibatnya. Meski demikian Suzanne tetap puas dengan hasilnya karena Sarah menulisnya dengan baik dan sangat menyentuh. Suzanne pun turut terharu setelah membaca bagian awal artikel buatan Sarah dan setuju untuk memuatnya dalam majalah untuk edisi mendatang. Sementara itu acara The Stag sendiri berakhir berantakan karena Sarah mendadak pulang sesaat sebelum seremoni lilin puncak, dimana hanya tinggal dua kontestan yang tersisa dan hanya ada satu kontestan yang menang dan dilamar oleh si Stag. Sedangkan kontestan selain Sarah tersebut juga mengundurkan diri karena mengira dirinya hamil sehingga dia segera menghubungi mantan pacarnya dan memaksa agar melamarnya. Si produser pun kebingungan mencari-cari Sarah karena bingung bagaimana menentukan bagian akhir musim ini dan bagaimana mengaitkannya dengan musim mendatang.
Ending dari novel ini cukup unik dan tak terduga, sehingga pembaca pun tidak akan menangkap makna dalam novel ini tanpa membaca secara keseluruhan. Karena halaman terakhir dari novel ini sama sekali tidak mencerminkan perjalanan Sarah selama mengikuti acara The Stag, sehingga sangat percuma jika ada yang mencuri baca bagian akhirnya. Banyak sekali kejutan-kejutan yang muncul selama perjalanan, dan pengalaman luar biasa yang tak hanya seru tetapi juga inspiratif, baik terhadap Sarah maupun terhadap pembaca novel ini.
Subscribe to:
Posts (Atom)