Wednesday, 31 March 2010

Liberalisme dan Neoliberalisme

Liberalisme

Fokus utama teori liberalisme adalah individu. Fokus analisis teori ini adalah individu dan kolektifitasnya: negara, perusahaan, organisasi, asosiasi dan sebagainya (Viotti&Kauppi 1999, 7). Kaum liberalis dengan tegas mengungkapkan bahwa dalam masalah internasional terdapat baik konflik maupun kerjasama. Teori ini muncul setelah Perang Dunia I dimana muncul sebagai bentuk kritik dari realitas bahwa negara tidak dapat mengontrol perang dalam hubungan internasional mereka. Bagi kaum liberalis, hubungan internasional akan lebih menguntungkan apabila masing-masing negara mengadakan relasi mutualisme dan saling bekerja sama serta memberi penekanan bahwa perang merupakan solusi yang destruktif dalam hubungan internasional dan tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menguntungkan siapa-siapa.
Salah satu alasan munculnya teori liberalisme adalah sebagai bentuk kontra dari teori realisme. Apabila teori realisme memandang pesimis negatif terhadap human nature yang dianggap sebagai sesuatu yang destruktif, maka liberalisme memandang human nature secara positif optimis (Sorensen&Jackson 1999, 59). Kaum liberal sangat yakin terhadap akal pikiran manusia dan prinsip-prinsip rasional dapat diimplikasikan pada masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu memiliki ego yang tinggi serta rasa persaingan satu sama lain. Konflik dan perang tak terhindarkan. Akan tetapi tiap individu dapat menggunakan akal pikiran mereka untuk mencapai kerja sama yang saling menguntungkan. Kaum liberalis kemudian yakin bahwa akal pikiran manusia dapat mengalahkan ketakutan manusia dan hasrat akan kekuasaan. Kaum liberalis menyadari akan adanya hambatan dalam proses perkembangan manusia. Namun mereka yakin akan adanya kerjasama yang didasarkan pada hubungan timbal balik yang dikarenakan modernisasi yang meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan bagi kerja sama.
Asumsi dasar realisme adalah kemajuan manusia, akal pikiran manusia, dan kerja sama (ibid., 58). Tiga aspek tersebut kemudian mengarah pada proses modernisasi. Salah satu scholar liberalis, Hans Kochler¸ mengutarakan bahwa dasar legitimasi hukum internasional adalah hak-hak asasi manusia. Hal inilah yang kemudian mendasari konsep demokrasi yang menjadi “tujuan hidup” kaum idealis.
Teori libaralisme mengungkapkan bahwa preferensi negara, lebih daripada kapabilitas negara, merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku negara. Tidak seperti pandangan realisme yang memandang negara sebagai satu-satunya aktor, liberalisme mengakui adanya pluralitas dalam tiap tindakan negara, seperti misalnya aktor-aktor non negara yang dapat berjalan sendiri namum tetap tunduk pada kebijakan negara. Preferensi negara berbeda-beda satu sama lain,. Tergantung faktor budaya, sistem ekonomi atau tipe pemerintahan negara tersebut. Teori liberalisme juga mengemukakan bahwa interaksi antar negara tidak terbatas pada konteks politik atau keamanan (high politics) saja, tetapi juga pada konteks ekonomi dan kultural (low politics) baik antar perusahaan komersial, organisasi, maupun individu. Liberalisme mengedepankan asumsi bahwa dalam hubungan internasional antar negara memiliki banyak kesempatan untuk mengadakan kerja sama serta adanya hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Karena itulah kaum liberalis sangat optimis akan terciptanya perdamaian dunia. Optimisme kaum liberal tersebut sangat berkaitan dengan kebangkitan negara modern. Karena modernisasi dapat diartikan sebagai kemajuan dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk hubungan internasional.
Berdasarkan pemikiran liberalis, kondisi damai tercipta bukan melalui indikator tidak adanya perang secara fisik. Sebab Perang Dingin pun juga disebut perang meskipun tidak terjadi kontak secara fisik. Kondisi damai yang dimaksud oleh kaum liberalis adalah kondisi dimana sistem pemerintahan dunia terbentuk dalam konstruksi multipolar. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya sistem multipolar maka keunggulan masing-masing negara hanya ada pada satu aspek sehingga kemudian terjadi hubungan interdependensi antar negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kepentingannya.
Pasca Perang Dunia 2, teori liberalisme terbagi menjadi empat teori utama yaitu liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional dan liberalisme republikan (Burchill 2005). Dalam liberalisme sosiologis dicetuskan oleh Richard Rosecrance dimana hubungan internasional tidak hanya mempelajari tentang hubungan antar pemerintah tetapi juga hubungan antara individu, organisasi dan masyarakat swasta. Hubungan antar rakyat lebih kooperatif daripada hubungan antar pemerintah. Jaringan transnasional juga semakin berkembang dimana merupakan dampak dari bermunculannya korporasi transnasional yang juga turut memberikan pengaruhnya pada hubungan internasional.
Pada liberalisme interdependensi, relasi interdependensi antar negara semaakiin meningkat yang merupakan dampak dari modernisasi. Aktor-aktor transnasional juga semakin diperhitungkan eksistensinya dalam hubungan internasional. Militer, sebagai salah satu instrumen pembentuk power suatu negara pada perspektif realisme, kurang diperhitungkan dalam hubungan internasional. Tujuan utama negara dan dunai saat ini tidak lagi soal keamanan tetapi mengenai kesejahteraan. Sehingga isu-isu ekonomi dan sosial menjadi isu utama.
Liberalisme institusional mengadopsi pemikiran Woodrow Wilson dimana hubungan internasional tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah tetapi juga institusi internasional, baik organisasi yang terstruktur maupun asosiasi yang dapat memajukan hubungan kerjasama antar negara. Peranan institusi dalam hubungan internasional antara lain mengurangi masalah yang timbul akibat tidak adanya kepercayaan antar negara serta menguangi ketakutan satu negara terhdap negara lain. Liberalisme republikan merupakan suatu kondisi dan situasi internasional dimana negara demokrasi tidak saling berperang karena memiliki budaya domeatik atas penyelesaian konflik secara damai yang mengutamakan nilai moral dan hubungan kerjasama di bidang ekonomi dan relasi interdependensi yang saling menguntungkan.

Neoliberal

Perspektif neoliberal berkembang pada era pasca Perang Dingin diimana mengadopsi nilai teori realis klasik dengan penyempurnaan melalui pendekatan behavioralis. Kaum neoliberalis mengkritisi pandangan kaum liberalis klasik bahwa anarki tidak dapat dihilangkan dari sistem internasional dan karena itu optimisme kaum liberal tidak terjamin karena terlihat terlalu utopis. Sepanjang anarki berjalan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari menolong diri sendiri dan dilema keamanan. Selain itu, kaum neoliberalis menolak pandangan optimis kaum liberalis klasik terhadap basic human nature karena pada kenyataanya tidak semua manusia bersifat baik. Akan tetapi neoliberalisme tidak fokus pada basic human nature tetapi lebih kepada upaya dan tindakan manusia untuk mencapai perdamaian. Perang bisa saja terjadi kapan saja, tetapi juga bisa dihindari dengan mengadakan interaksi mutualisme antar aktornya dan terdapat organisasi internasional sebagai mediator serta payung bagi kepentingan masing-masing aktor dalam rangka mencapai perdamaian dunia.

Kritik terhadap Liberalisme dan Neoliberalisme

Kaum liberalis kurang dipersiapkan untuk menghadapi masa ketiadaan kemajuan. Teori liberal memiliki kesulitan untuk menangani kasus semacam ketiadaan pembangunan dan kehancuran negara-negara dunia ketiga karena secara fundamental teori liberal didasarkan pada konsep modernisasi yang tidak dapat diubah. Kaum liberal juga mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai modernisasi dan perubahan, level keamanan dalam perdamaian demokratis, hubungan yang tepat antara aktor-aktor liberal dalam hubungan internasional. Hal ini dikarenakan kaum liberal mencoba menteorisasi perubahan sejarah yang bersifat kompleks, dinamis, dan terbuka. Dengan demikian timbul ketidakpastian dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaan konflik.
Penekanan perspektif neoliberalisme mengenai adanya kerjasama antar aktor serta adanya organisasi internasional sebagai mediator dan payung kepentingan seluruh aktor bisa jadi hanya mengusung kepentingan beberapa negara saja. Semangat yang diusung oleh organisasi tersebut bisa jadi bukan merupakan representasi dari seluruh aktor yang tergabung didalamnya tetapi merupakan representasi dari kepentingan salah satu atau beberapa negara hegemon didalamnya. Fungsi mediator pun bisa jadi tidak berjalan lancar apabila organisasi internasional tersebut tidak bersifat netral. Sangat besar kemungkinan terjadinya kondisi dimana negara hegemon mengeksploitasi negara non-hegemon. Karenanya diperlukan polisi internasional dimana merupakan negara kuat non-hegemon untuk menjaga stabilitas hubungan internasional.

Sources:
Burchill,Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd Edition. New York: St.Martin Press.Inc.
Griffith, Martin. 1999. 50 Key Thinker of International Relations.
Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Viotti, Paul R. and Kauppi, Mark V. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. 3rd Edition. Boston: Allyn and Bacon

Wednesday, 17 March 2010

REALISME DAN NEOREALISME

Realisme

Realisme merupakan salah satu teori mayor dalam studi hubungan internasional dimana merupakan kontra dari teori liberalisme. Asumsi dasar dari teori realisme ini adalah rasa pesimisme terhadap human nature (human nature dipandang sebagai sesuatu yang destruktif), keyakinan bahwa pada dasarnya hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan satu-satunya jalan keluarnya adalah perang, menjunjung tinggi nilai national security serta kelangsungan hidup negara, skeptisme dasar terhadap adanya kemajuan dalam politik internasional (Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999).
Pada dasarnya, kaum realis tidak mempercayai adanya bentuk kerjasama dan hubungan saling ketergantungan antar negara. Menurut mereka, dalam upayanya meningkatkan keamanan, negara yang telah berdaulat merupakan aktor utama sekaligus tokoh kunci (aktor dominan dalam politik internasional) dimana mereka berusaha mencari kekuasaan dan tertarik pada kepentingan sendiri (self-interested) (ibid.). Sedangkan aktor-aktor lain yang merupakan aktor non-negara seperti organisasi internasional, perusahaan transnasional maupun multinasional, kelompok masyarakat ekstrimis (mis. teroris) atau negara yang belum memperoleh kedaulatannya tidak memiliki akses di hubungan internasional. Beberapa pemikir realis memasukkan aktor non-negara kedalam peta politik internasional dengan posisi pemain minor dimana perannya dalam hubungan internasional dinilai kurang signifikan dan kurang penting.
Negara merupakan aktor yang berasal dari sekumpulan komponen pembentuknya kemudian membentuk kesatuan unit yang terintegrasi, dimana setiap kebijakan yang dibuat merupakan representatif dari seluruh komponen negara tersebut.Negara juga merupakan satu-satunya aktor yang rasional, karena hanya negara yang dapat membuat kebijakan secara rasional yang didasari olehpernyataan yang objektif.
Berdasarkan asumsi para pemikir realis klasik, politik internasional berkembang dalam kondisi anarki internasional dimana tidak terdapat kekuasaan berlebihan dalam suatu sistem serta tidak ada pemerintahan dunia. Dalam konteks realisme, foreign policy suatu negara adalah membentuk dan mempertahankan interest negara dalam politik internasional. Akan tetapi terdapat hirarki internasional dimana negara yang paling penting adalah negara-negara great powers. Beberapa kaum realis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, Hobbes, berpendapat bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik, sehingga politik internasional dideskripsikan sebagai politik kekuasaan.
Power merupakan kunci utama dalam pengertian kaum realis. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar manusia yang destruktif dimana ketika diimplementasikan baik terhadap individu maupun terhadap negara, power digunakan sebagai alat untuk offense dan sekaligus untuk defense. Dan isu yang paling diutamakan adalah isu ideologi, pertahanan, keamanan serta militer dimana kemudian disebut dengan istilah high politics issues. Sedangkan isu-isu yang bersifat sosial dan ekonomi seperti isu kesehatan, pendidikan, lingkungan, perdagangan, dan kesejahteraan dimana disebut dengan istilah low politics issues kurang begitu diperhatikan.

Realisme klasik

Thucydides : nasib politik, kebutuhan dan keamanan, ketahanan politik, keselamatan.
Machiavelli : kebuasan politik, kesempatan dan keamanan, kelangsungan hidup politik, kebaikan bersama.
Hobbes : keinginan politik, dilema keamanan, ketahanan politik, perdamaian.

Realisme Neo Klasik (Morgenthau)

Konsep kenegaraan menurut Hans Morgenthau :
Sifat manusia  kondisi dasar : animus dominandi, mementingkan diri sendiri
Situasi politik  alat dan konteks : politik kekuasaan, kekuatan politik, lingkungan politik, keahlian politik
Pelaksanaan politik  tujuan dan nilai : etika politik, kebutuhan manusia, kepentingan nasional, perimbangan kekuatan

Neorealisme (Waltz)

Teori neorealisme (realisme struktural) merupakan teori milik Kenneth Waltz yang merupakan upaya perombakan teori realisme yang sudah ada. Teori ini berusaha untuk lebih ilmiah dan lebih positivis. Neorealis tetap mempertahankan nilai realis bahwa hubungan internasional antarnegara merupakan hubungan yag antagonistik dan konfliktual yang disebabkan oleh struktur anarkis dalam sistem internasional.
Hal yang membedakan neorealisme dengan realisme dilihat dari aktor yang berperan di dalam sistem internasional. Jika pada realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme aktornya adalah sistem itu sendiri. Sehingga meskipun negara merupakan aktor yang dominan, non-state actors memiliki peranan yang penting dalam sistem internasional.
Struktur internasional dalam konsep neo realisme adalah anarki internasional, negara sebagai ‘unit serupa’, perbedaan kapabilitas negara serta adanya negara besar lebih dari satu dimana terdapat hubungan antar negara-negara tersebut. Sedangkan konsep kunci dari neo realisme adalah perimbangan kekuatan, pengulangan internasional, dan konflik internasional yang berupa perang dan perubahan internasional

Kritik Terhadap Realisme

Realisme hanya mengakui negara sebagai aktor utama yang dominan dan satu-satunya tokoh kunci yang ada pada sistem internasional. Pada kenyataannya banyak aktor-aktor non-negara yang bermunculan dalam sistem internasional, terutama pada masa pasca Perang Dunia II, dan memiliki pengaruh pada sistem internasional. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memiliki otoritas diatas negara. Contohnya seperti NAFTA dimana secara tidak langsung hanya Amerika Serikat yang membuat dan menyetujui berbagai kesepakatan yang dibuat, atau dominasi Brazil dan Argentina dalam Mercosur. Dari hal tersebut kemudian dapat dipertanyakan, kemana kedaulatan negara tersebut? Karena ketika intervensi suatu negara terhadap negara lain mulai mempengaruhi proses decision making negara tersebut maka foreign policy yang berlaku didalamnya berisi kepentingan suatu negara terhadap negara tersebut, yang mana merupakan perpanjangan tangan dari negara yang berkepentingan terhadap negara tersebut.
Selain itu, teori realisme disebut sebagai teori yang ‘gagal’ karena hanya memandang sistem internasional dari salah satu sudut pandang serta pandangan kaum realis yang terlalu pesimis mengenai human nature. Realisme juga bersifat destruktif, karena problem solving yang ditawarkan oleh teori ini adalah perang secara militer. Hal ini dikarenakan salah satu penyebabnya adalah fokus utamanya adalah konsep power dan isu yang menjadi points of interest adalah isu high politic. Kecenderungan untuk memakai power sebagai alat untuk defense bukannya untuk ofense turut mengakibatkan kondisi internasional yang cenderung konfliktual.

Sumber:
Aron, Raymon. 1968. Peace and War. New York: Praeger
Griffith, Martin. 1999. 50 Key Thinker of International Relations.
Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Viotti, Paul R. and Kauppi, Mark V. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon

Monday, 15 March 2010

Teori-Teori Geopolitik

Secara etimologi istilah geopolitik berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang berarti bumi dimana tidak lepas dari pengaruh letak serta kondisi geografis bumi yang menjadi wilayah hidup dan politik yang berasal dari kata polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara dan teia yang berarti urusan (politik) yang memiliki makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso, 2006). Dari definisi tersebut maka geopolitik dapat dimaknai sebagai studi ilmu negara dimana wilayah geografi suatu negara merupakan kepentingan nasional negara tersebut. Pada perkembangannya, geo-politik memiliki dua macam versi yang memiliki perbedaan mendasar dalam perspektif pendekatannya. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik (political geography) dimana memandang fenomena geografi dari kacamata politik. Sebaliknya Rudolf Kjellen memandang fenomena politik dari kacamata geografi dan menyebutnya geographical politic yang kemudian disingkat menjadi geopolitik. Akan tetapi studi ilmu hubungan internasional menggunakan perspektif Kjellen dalam mempelajari studi geopolitik.
Titik fokus utama studi geopolitik adalah negara, dan sejak awal perkembangannya konsep geopolitik merupakan alat doktrin negara. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pengaruh waktu perkembangannya yakni setelah perjanjian Westphalia yang kondisi ini didukung oleh kenyataan bahwa Kjellen merupakan anak didik Friedrich Ratzel, pencetus istilah Lebensraum (semboyan di Jerman yang merujuk pada penyatuan negara dan akuisisi koloni, yang didasarkan pada model bahasa Inggris dan Perancis). Oleh karenanya konsep geopolitik ini sarat dengan pemikiran Adolf Hitler yang menimpikan terciptanya negara totalitarian. Baik Ratzel maupun Kjellen melihat adanya benang merah antara negara dengan organisme. Bedanya, Ratzel memandang persamaan antara kedua aspek tersebut terletak pada kebutuhan negara untuk berkembang secara intelektual serta membutuhkan ruang gerak, dimana mirip dengan sifat dasar organisme. Sedangkan Kjellen memandang bahwa negara merupakan bentuk dari organisme tersebut yang diartikan negara sebagai subjek imajiner.
Karena studi geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografis, maka sebagai doktrin dasar negara studi geopolitik mencakup empat unsur utama, yaitu ruang, frontier, politik kekuatan, dan keamanan negara dan bangsa (Sunardi, 2004). Konsep ruang diperkenalkan oleh Karl Haushoffer dimana menyimpulkan bahwa ruang merupakan tempat bagi dinamika politik dan militer. Haushoffer memandang bahwa ruang, yang disini diartikan sebagai letak geografis, merupakan faktor utama dalam menentukan kekuatan suatu negara secara militer dan politik. Hal ini dikarenakan kekuatan politik bertujuan untuk ekspansi wilayah dan kepemilikan wilayah secara de facto dan de jure menjamin legitimasi kekuasaan politik. Kondisi geografis wilayah yang ditempati oleh negara tersebut merupakan warisan berharga bagi negara tersebut apabila mereka memahami cara menggunakan dan memberdayakan wilayah mereka menjadi kekuatan negara. Pemikiran Haushoffer ini kemudian dikenal sebagai Teori Ruang dan Kekuatan, dimana kemudian diadopsi oleh Jerman yang memakai istilah Lebensraum pada awal tahun 1900an dan Jepang yang menggunakan istilah Fukoku Kyohei (rich country strong army) pada pertengahan tahun 1900an.
Pada era pra Perang Dunia II teori Lebensraum ala Friedrich Ratzel ini lalu melahirkan teori baru yang dicetuskan oleh Karl Haushoffer yang kemudian dinamakan teori Autarkhis, dimana Lebensraum sudah cukup dengan hanya mengikuti hukum alam. Teori ini kemudian memunculkan paham Pan-Regionalisme yang dibagi menjadi empaat yaitu Pan Amerika (Monroe Doctrine, USA), Pan Asia Timur (doktrin Hoka I Chiu, Jepang), Pan Rusia India (wilayah Asia Barat dan Eropa Timur, Rusia) dan Pan Eropa Afrika (Eropa Barat minus Inggris, Rusia dan Jerman)
Konsep frontier merupakan konsep kepemilikan wilayah antar negara yang berdekatan satu sama lain dimana antara negara tersebut terdapat batas secara imajiner (yang hanya terlihat pada gambar peta negara) yang kemudian ditindaklanjuti dengan pendirian batas negara secara visual. Batas negara ini bersifat dinamis, yakni dapat sewaktu-waktu berubah dengan berbagai kondisi yang mempengaruhi. Konsep politik kekuatan merupakan konsep dimana geopolitik dipahami dengan pengertian wilayah geografis merupakan unsur kepentingan nasional. Kepentingan nasional merupakan visi negara yang harus dijaga oleh rakyatnya, dimana berlandaskan kekuatan ekonomi, militer dan politik. Konsep keamanan negara dan bangsa merupakan konsep dimana wilayah geografis merupakan salat satu unsur pertahanan negara.

Sources:
Smith, Woodruff D. Friedrich Ratzel and the Origins of Lebensraum. Jerman Studies Review vol. 3, no. 1. Jstor.
Sunardi, RM. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia: Teori Ketahanan Nasional, Geostrategi Indonesia, dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Kuaternita Adidarma
Sunarso. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press.

Thursday, 11 March 2010

Dampak Krisis Ekonomi di Uni Eropa terhadap Krisis Finansial di Amerika Serikat dan Krisis Ekonomi Global

Abstract:
Many people thought that global economy crisis is an impact of the economic crisis in United States. They believe that those crisis just started from collapsed shred exchange in Wall Street, main finance sector of United States that then caused financial loss of giant enterprises in United States. Their loss seems very great, that can impact world economy. But no one consider that global economy crisis precisely started from European Union.


Keywords : subprime mortgage, global economy crisis, AIG, European Union, United States, KTT G-20 Washington, KTT APEC Lima


Subprime Mortgage di Amerika Serikat
Runtuhnya raksasa-raksasa lembaga finansial di Amerika Serikat merupakan salah satu akibat dari serangkaian efek yang ditimbulkan dari krisis subprime mortgage pada sebuah negara yang dikenal sebagai negara adidaya tersebut. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut telah menyeret krisis nilai tukar terbesar yang pernah ada (the mother of all currency crisis). Di Eropa Timur, dampak krisis global mengakibatkan resesi di sejumlah negara. Runtuhnya nilai tukar akibat penarikan dana oleh investor, bersamaan dengan turunnya penerimaan ekspor dan tingginya inflasi memunculkan resiko kebangkrutan seluruh ekonomi Eropa Timur.
Di Amerika Serikat, krisis ekonomi dikarenakan pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang di Afganistan dan Iraq, dan yang paling penting adalah subprime mortgage. Subprime mortgage merupakan penyebab utama krisis keuangan di Amerika Serikat yang dikarenakan kerugian dari surat berharga properti yang sudah berlangsung sejak Juli 2007. Pada awalnya pemerintah Amerika Serikat memberi kemudahan dalam pinjaman kepemilikan rumah (mortgage, semacam KPR di Indonesia) terhadap warganya tanpa melihat profil dan karakter debitur dan tanpa jaminan yang memadai, sehingga pengangguran pun dapat memperoleh subprime loan tersebut. Hal ini dikarenakan harga properti di Amerika Serikat selalu merangkak naik sehingga pasar properti di Amerika Serikat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan menjanjikan. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat tidak terlalu menggembirakan sejak tahun 2006. Hal tersebut berdampak pada menurunnya harga properti di Amerika Serikat sehingga membuat para debitur makin terbelit dan kemudian tidak mampu membayar pinjamannya (default). Masalah ini semakin diperparah dengan banyaknya investment banker yang menerbitkan produk derivative subprime mortgage (menerbitkan hutang dengan jaminan mortgage loan). Sehingga ketika terjadi kredit macet pada mortgage, maka dampaknya perbankan harus membukukan kerugian atas kredit properti dan secara otomatis produk derivate juga hancur. Hal ini merupakan faktor primer yang mempengaruhi anjloknya bursa saham di Amerika Serikat.
Sebagai akibatnya, harga saham di pasar finansial terus menurun tajam yang kemudian mengakibatkan perusahaan-perusahaan keuangan multinasional di Amerika Serikat seperti Bear Stearns, Fannie Mae, Fredie Mac., Washington Mutual, Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS, AIG, dan Mitsubishi UF mengalami kesulitan finansial dan kemudian pailit. Dalam waktu singkat kondisi pasar finansial Wall Street, Amerika Serikat, terpuruk dan pemerintah Amerika Serikat dipaksa untuk memberi dana talangan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Namun di lain pihak, Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin terakhir perbankan) sejumlah raksasa bank investasi, lembaga asuransi, lembaga sekuritas dan lembaga penjamin kredit yang juga terpuruk. Bisa dikatakan, hal ini merupakan collateral efffect yang timbul akibat subprime mortgage.

Penawaran AIG London
Di Uni Eropa, krisis ekonomi bermula dari AIG, sebuah perusahaan asuransi Amerika Serikat yang memiliki kantor cabang di london yang dimanajeri oleh Joseph J. Cassano, yang memberi sebuah penawaran berupa jaminan pada bank-bank di negara-negara Uni Eropa untuk memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan berakreditasi AAA (excellent/ top position) di Amerika Serikat yang mengalami kesulitan finansial. Transaksi utang piutang tersebut diantarai oleh AIG selaku pihak penjamin sehingga bank-bank di Uni Eropa tidak perlu memberi setoran kas kepada bank sentral negara masing-masing.
Bank-bank di Uni Eropa setuju terhadap penawaran tersebut karena kebiasaan masyarakat Uni Eropa yang lebih banyak menabung sehingga bank harus memberikan bunga yang cukup tinggi bagi nasabahnya. Sebaliknya, masyarakat Amerika Serikat terbiasa dengan sistem kredit yang bagi mereka lebih menguntungkan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah bank di Amerika Serikat kekurangan cadangan kas dikarenakan kebiasaan masyarakatnya. Bagi bank-bank di Uni Eropa hal ini tentu sangat menguntungkan. Sebab dalam kesempatan ini bank-bank di Uni Eropa dapat menentukan prosentase bunga hutang yang cukup tinggi bagi perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat yang mengalami kredit macet tersebut. Selain itu, mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kerugian yang besar, sebab mereka telah sepakat dengan AIG untuk menjamin transaksi antara bank-bank di Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tersebut.

Krisis Finansial di Uni Eropa
Untuk beberapa waktu, arus piutang berjalan lancar. Hampir dipastikan tidak ada masalah yang dialami, baik dari pihak bank-bank di Uni Eropa maupun dari pihak perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Namun kemudian timbul masalah dari pihak perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Sebagian besar dikarenakan arus perputaran surat berharga perusahaan tersebut mengalami kemacetan. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tidak dapat meneruskan pembayaran hutang mereka terhadap bank-bank di Uni Eropa dalam jangka waktu yang cukup panjang. Akibatnya, bank-bank di Uni Eropa mengalami kesulitan dalam menangani tumpukan piutang mereka serta tanggung jawab mereka terhadap bank sentral masing-masing negara. Hal itu diperparah dengan kesepakatan mereka dengan AIG London dimana AIG hanya memberi ganti rugi yang prosentasenya cukup sedikit dari jumlah dana yang dipinjamkan. Dan kemudian hal tersebut menyebabkan kerugian besar-besaran di pihak bank-bank di Uni Eropa.
Hal tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi pemerintah negara-negara di Uni Eropa. Mereka pun ikut merugi, sebab bank-bank di Uni Eropa tidak memberikan tambahan jaminan kas di bank sentra masing-masing negara, sesuai dengan peraturan prosedural mengenai transaksi utang piutang yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan masing-masing negara. Sedangkan jumlah dana yang dipinjamkan oleh bank-bank mereka cukup besar. Untuk menutup transaksi piutang yang macet, pemerintah negara-negara di Uni Eropa yang memberi pinjaman terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mengalihkan hutang-hutang perusahaan-perusahaan tersebut kepada pemerintah Amerika Serikat. Namun karena di Amerika Serikat itu sendiri juga sedang mengalami krisis finansial maka hutang-hutang tersebut tetap tidak dapat terbayarkan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Krisis Ekonomi di Indonesia
Di Indonesia, krisis ekonomi global tersebut berdampak melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, sehingga kondisi pasar Indonesia menjadi tidak sehat. Akibatnya, nilai aset Indonesia semakin menurun sedangkan tanggungan hutang luar negeri Indonesia semakin banyak karena selisih kurs terhadap mata uang asing semakin tajam. Jika pada awalnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah Rp. 9000 sampai Rp. 9500 per satu Dollar kemudian melonjak tajam hingga Rp. 13000 per satu Dollar Amerika Serikat, maka dapat diperkirakan berapa yang ditanggung pemerintah Indonesia. Dengan jumlah nominal Dollar yang sama, tanggungan hutang luar negeri Indonesia akan bertambah sekitar 30% dalam kurs Rupiah.
Kegiatan ekspor produk-produk Indonesia diperkirakan juga akan terhambat karena perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat akan melakukan politik banting harga yang kemudian dapat mengakibatkan turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Harga minyak mentah juga semakin merosot akibat krisis nilai alat tukar. Selain itu bursa saham di Indonesia juga terpuruk yang dikarenakan mayoritas investor asing yang berinvestasi dalam bentuk modal finansial tersebut menarik dana mereka untuk diinvestasikan di negara asalnya karena pemerintah mereka membutuhkan dana likuiditas. Mereka lebih suka menarik uang kas di pasar saham dan rela untuk cut of transaction. Belum cukup, pemerintah Indonesia juga dihadapkan dengan problem ketenagakerjaan yang disebabkan peningkatan jumlah pengangguran karena diperkirakan banyak perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia kemudian ditutup akibat krisis finansial yang melanda negara asalnya.

Tindak Lanjut
Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah negara-negara di Uni Eropa kemudian mengalihkan hutang-hutang perusahaan di Amerika Serikat kepada pemerintah Amerika Serikat. Kemudian dalam bidang perjanjian utang piutang perbankan selanjutnya negara-negara di Uni Eropa memutuskan untuk memberikan syarat yang sangat ketat dan tingkat kerumitan yang cukup tinggi untuk setiap kegiatan transaksi perbankan yang melibatkan bank-bank di negaranya. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi, syarat yang harus dipenuhi oleh pihak peminjam juga lebih banyak. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Uni Eropa dalam rangka proteksionisme di bidang finansial untuk menanggulangi krisis ekonomi agar tidak semakin parah. Selain itu, proteksionisme juga sebagai langkah untuk membatasi dan menyeleksi negara-negara debitur agar jaminan yang ditawarkan oleh negara-negara debitur tersebut sesuai dengan jumlah kredit yang diambil.
Pemerintah Indonesia dalam pertemuan KTT G-20 mengupayakan agar syarat yang diajukan oleh pemerintah negara-negara di Uni Eropa disesuaikan dengan tingkat kesulitannya sehingga syarat transaksi perbankan tidak terlalu tinggi. Sebab Indonesia juga merupakan salah satu negara yang perekonomiannya tergantung pada bank-bank di Uni Eropa. Oleh karena itu, apabila tingkat kesulitannya sangat tinggi bagi pemerintah Indonesia tentu akan membatasi ruang gerak pemerintah Indonesia dalam transaksi utang piutang dengan bank-bank di Uni Eropa. Belum lagi apabila tidak ada kompromisasi dari pihak Uni Eropa terhadap syarat-syarat yang diajukan, bisa jadi apa yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia tidak sepadan dengan apa yang didapatkan.
KTT APEC di Lima, Peru merupakan upaya tindak lanjut dari KTT G-20 di Washington, Amerika Serikat. Kebetulan beberapa negara anggota APEC juga merupakan anggota G-20 seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan Australia. Pada pertemuan G-20, para anggotanya sepakat untuk berkomitmen berama mengatasi krisis ekonomi global. Para pemimpin G-20 telah menyepakati paket penyelamatan ekonomi demi menstabilkan sistem keuangan, merangsang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kerangka kerja pengaturan keuangan. Dalam KTT APEC terdapat indikasi bahwa para pemimpinnya akan membebaskan perdagangan dan investasi yang merupakan titik berat dalam forum APEC, serta menolak proteksionisme .

Kesimpulan
Krisis ekonomi global, termasuk krisis finansial di Amerika Serikat, yang terjadi merupakan salah satu dari serangkaian dampak krisis ekonomi di uni Eropa. Hal ini tidak lepas dari sikap bank-bank di Uni Eropa yang terlalu yakin terhadap akreditasi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang akan mereka beri pinjaman tersebut. Sebab meskipun memiliki akreditasi yang sempurna, bukanlah sebuah jaminan bahwa perusahaan tersebut tidak akan hancur meskipun terjadi krisis ekonomi. Akibatnya, ketika para debitur tidak dapat membayar hutang-hutangnya dikarenakan anjloknya nilai jual saham perusahaan mereka di pasar modal, bank-bank di Uni Eropa kebingungan mencari cara untuk mengatasi tumpukan piutang yang belum terselesaikan.
Prinsip kapitalisme dalam perekonomian Amerika Serikat, para pemilih usaha dituntut untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Dan sebagai jalan pintas, pemerintah Amerika Serikat memudahkan berbagai bentuk kredit yang ditawarkan oleh bank-bank di Amerika Serikat tersebut. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan ternama di Amerika Serikat dimana posisinya sudah cukup kuat dan memiliki kredibilitas yang tinggi di pasar Amerika Serikat, ternyata harta yang dimiliki berasal dari pinjaman bank (pihak ketiga). Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis finansial, perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutang mereka karena dana pribadi mereka lebih sedikit daripada dana pihak ketiga (dana pinjaman).


REFERENSI :

Boediono, 2008. Ancaman Krisis Ekonomi Dunia. Prime Access Card online. [internet] November 2008 dalam http://news.primeaccesscard.com/ekonomi/bursa/ancaman-krisis-ekonomi-dunia.html [diakses 3 Desember 2008]

Grant, James, 2007. The Feds Subprime Solutions. New York Times online. [internet] 26 Agustus 2007 dalam http://www.nytimes.com/2007/08/26/opinion/26grant.html [diakses 23 November 2008]

Hadi, Rismal, 2008. Menyikapi Krisis Ekonomi Global. Kabar Indonesia online. [internet] 21 Oktober 2008 12.39 WIB dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20081021091642 [diakses 23 November 2008]

Kawilarang, Renne R.A dan Adiati, Harriska Farida, 2008. KTT APEC Akan Tindak Lanjuti Pertemuan G-20. Vivanews Beta. [internet] Senin, 17 November 2008 16.29 WIB dalam http://dunia.vivanews.com/news/read/9916-ktt_apec¬_akan_tindak_lanjuti_pertemuan _g_20 [diakses 24 November 2008]








TUGAS TEKNIK PENULISAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DAMPAK KRISIS EKONOMI DI UNI EROPA TERHADAP KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT DAN KRISIS EKONOMI GLOBAL




MAYA MERALDA KARTIKA
(070710413)

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2008

Penyerapan Konsep Neoliberalisme dalam Sistem Ekonomi di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Sektor Makro Ekonomi

Banyak yang tidak disadari oleh bangsa Indonesia bahwa ideologi liberal sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Bahkan secara terang-terangan masyarakat Indonesia telah digiring untuk menjadi masyarakat konsumtif yang haus akan uang, dimana merupakan dampak dari paham kapitalisme yang merupakan salah satu “produk” dari liberalisme. Salah satu bukti yang paling mudah ditemui adalah semakin mudahnya masyarakat dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank. Persyaratan yang diajukan oleh bank cukup mudah, cepat, serta minim persyaratan khusus sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk mengajukan permohonan kredit. Sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengajukan permohonan kredit dibandingkan dengan menabung uangnya. Banyak sekali varian kredit yang ditawarkan oleh bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta, seperti kredit tanpa anggunan, kredit jangka panjang, kredit bunga rendah, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan budaya konsumtif dalam masyarakat, karena mereka dapat membeli suatu barang tanpa harus memiliki uang sebesar jumlah nominalnya pada saat yang sama.
Contoh yang lain adalah kepemilikan kartu kredit dimana pemegangnya dimanjakan oleh berbagai fasilitas seperti gratis pembelian item tertentu dengan syarat pembelian menggunakan kartu kredit tersebut dalam jumlah tertentu atau di tenant tertentu, atau diskon produk-produk tertentu. Fasilitas-fasilitas tersebut secara disengaja atau tidak, merekonstruksi pemikiran pemiliknya untuk terus berbelanja produk yang tidak terlalu dibutuhkan dengan dalih penghematan. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah mereka sedang melakukan pemborosan besar-besaran, yang biasanya baru disadari saat mereka sudah terlanjur membeli produk-produk tersebut. Namun efek ini hanya merupakan efek temporer, karena pemiliknya terus melakukan berulang kali meski pada akhirnya mereka sedikit menyesalinya. Lebih parahnya pemilik kartu kredit ini mengalami ketergantungan yang sangat dasyat terhadap kartu tersebut.
Akibat yang ditimbulkan kedua contoh diatas tersebut serupa, yakni penambahan pengeluaran yang dikarenakan adanya biaya yang dikenakan bunga. Pemikiran masyarakat kembali dikonstruksikan bahwa dengan adanya sistem kredit maka mereka dimudahkan dalam mendapatkan dana dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, namun pada akhirnya mereka menanggung resiko yang tidak mudah dengan membayar biaya tambahan (biasanya 25%) yang sebenarnya tidak perlu mereka keluarkan. Hal ini serupa dengan yang dialami Indonesia beberapa tahun yang lalu dimana bangsa ini masih tergantung dengan utang yang berasal dari IMF dan Bank Dunia. Bunga yang dikenakan cukup mencekik, mengingat bahwa jumlah bunganya jauh lebih tinggi daripada jumlah pinjamannya. Hal ini cukup membuktikan bahwa kedua lembaga keuangan tersebut melenceng dari konsep utama pembentukannya yakni sebagai lembaga keuangan yang membantu negara berkembang dalam menangani masalah finansialnya. Pada kenyataanya negara tersebut justru menghadapi masalah baru, yakni menyelesaikan utang dengan kedua lembaga tersebut.
Kondisi pra-pemilu kali ini media tanah air diwarnai oleh isu neoliberal yang dianut oleh salah satu calon presiden ataupun calon wakil presiden (lebih dikenal dengan istilah neolib). Namun tidak ada penjelasan pasti mengenai konsep ini? Apa makna konsep ini sesungguhnya, dan mengapa konsep ini dianggap berbahaya oleh kalangan politik?
Neoliberal merupakan bentuk pembaharuan dari teori liberal klasik (pada artikel ini konteks liberalisme dibatasi pada segi ekonomi dan perdagangan) dimana didalamnya memperjuangkan hak-hak kepemilikan dan kebebasan individual. Semboyan yang lazim digunakan oleh kaum liberalis adalah laizzes (nous) faire, yang merupakan istilah bahasa Perancis. Jika diartikan ke dalam bahasa Inggris kira-kira berbunyi “Leave Us Alone”. Pencetus konsep neoliberalisme merupakan seorang neoliberalis institusionalis. Nilai yang diperbarui terutama posisi sistem ekonomi yang memasuki kawasan politik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah posisi negara yang semakin minimal atau bahkan nihil dalam sistem ekonomi. Bila dalam konsep liberalisme segara dipercaya sebagai pembuat peraturan dan regulasi dalam sistem perdagangan, maka dalam konsep neoliberal ini negara sama sekali tidak ikut campur dalam urusan ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan negara dinilai merugikan pasar sehingga intervensi negara ditiadakan. Konsep neoliberal ini fokus pada perdagangan bebas dimana pembatasan terhadap perilaku bisnis serta hak-hak milik pribadi sangat minimal. Dalam konsep ekonomi neoliberal ini, pihak swasta memiliki peluang yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan dikarenakan nilai yang diusung oleh konsep ini adalah deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang pro pasar. Secara otomatis, tiga hal tersebut mendukung perkembangan perusahaan swasta terutama perusahaan besar baik transnasional maupun multinasional.
Yang membuat konsep neoliberalisme lebih berbahaya terhadap sistem perekonomian di Indonesia adalah kecenderungan untuk menerapkan perkembangan dari konsep tersebut, yakni konsep Washington Consensus. Dalam hubungannya dengan perdagangan bebas, konsep Washington Consensus ini menuntut penghapusan kontrol negara atas aliran finansial global, privatisasi, serta reformasi perdagangan dimana hambatan quota diganti dengan tarif. Bagi kalangan yang mendukung konsep ini, privatisasi merupakan upaya stimulasi untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan penerapan Foreign Direct Investment (FDI) dinilai efektif dalam upayanya meningkatkan perkembangan teknologi.
Namun pada dasarnya konsep Washington Consensus ini lebih menguntungkan perusahaan besar seperti MNC dan TNC daripada negara. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk meniadakan intervensi dari pemerintah pada kegiatan ekonomi (dalam bentuk regulasi dan kebijakan ekspor impor baik dari segi quota maupun pajak) dan sepenuhnya menyerahkan kontrolnya kepada mekanisme pasar bebas. Membiarkan pasar berjalan sesuai dengan mekanismenya berarti memberi peluang bagi perusahaan besar seperti MNC dan TNC untuk lebih leluasa mengontrol sistem ekonomi global. Karena sebagaimana nilai kebebasan dan persaingan bebas yang diusung oleh liberalisme menciptakan kekuatan terbesar menjadi dominan dalam sistem. Dalam sistem ekonomi hal ini mengacu pada perusahaan besar seperti MNC dan TNC tersebut.
Hal yang membuat neoliberal lebih berbahaya terhadap ekonomi nasional dikarenakan nilai yang ada dalam neoliberal maupun Washington Consensus sebagai perkembangan dari neoliberal secara langsung menyerang ekonomi makro negara. Dengan kata lain juga secara langsung mempengaruhi sektor mikro ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai yang ditekankan pada konsep Washington Consensus sangat menekan perekonomian negara dengan dalih efisiensi. Misalnya seperti kebijakan privatisasi dimana negara menyerahkan perusahaan milik negara kepada pihak swasta dengan alasan pengelolaan swastanisasi yang lebih efisien dan mendatangkan profit. Kebijakan deregulasi yang menuntut negara untuk merekonstruksi peraturan di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan pemerintah yang terlalu banyak sehingga memicu timbulnya korupsi dan diskriminasi terhadap pengusaha kecil dan meminimalisasi pengaruh mereka terhadap pemerintah. Kedua contoh prinsip dari Washington Consensus menunjukkan bahwa kebijakannya tidak ada yang pro negara.
Menghilangkan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian tentu berakibat keterpurukan sektor makro ekonomi negara. Sebab dalam kaitannya dengan regulasi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah apabila hal tersebut dihilangkan maka pertumbuhan ekonomi negara mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan negara sebagai pilar utama perekonomian global tidak dapat menjalankan peranan yang seharusnya. Dengan menyerahkan wewenang pemerintah terhadap swasta maka dapat dipastikan negara mengalami pengurangan besar. Semisal dalam hal perpajakan. Negara dituntut untuk mengurangi pajak bea dan cukai sampai pada level minimum. Hal ini ditujukan sebagai wujud eksistensi negara terhadap perdagangan bebas. Sebagai konsekuensinya, negara harus rela kehilangan sebagian besar pendapatan dikarenakan pajak merupakan pendapatan utama negara.
Selain itu konsep efisiensi yang diusung oleh neoliberal tersebut juga membawa dampak sosial terhadap negara, yakni masalah pengangguran. Dengan adanya peranan swasta terhadap sistem ekonomi maka masyarakat dituntut untuk berada pada situasi kompetitif. Sehingga yang sukses adalah dia yang memiliki potensi lebih unggul dan yang tidak sukses bukan karena kesalahan sistem melainkan tidak berhasil menjadi orang yang sukses. Hal ini turut merekonstruksi pemikiran masyarakat bahwa tubuh pun aset. Sama seperti kecakapan dan kepandaian yang bisa juga dipandang sebagai aset.
Lain misalnya dengan sektor ekonomi kerakyatan. Mungkin memang pada awalnya konsep neoliberal dapat membuat perekonomian rakyat terpuruk, tetapi karena fokus utama ekonomi rakyat adalah pasar domestik serta kurang diminati oleh investor asing maka kejatuhannya hanya pada sistem saja. Selain itu sifatnya temporer karena ekonomis ekonomi rakyat masih berpeluang untuk mengalami restrukturisasi dan rehabilitasi. Misalnya apabila terdapat persaingan produk lokal dengan produk dari negara lain dalam segi harga. Hal tersebut memang kemudian menjatuhkan pendapatan produsen produk lokal, namun tidak serta merta pendapatan mereka hilang karena masih ada peluang untuk memperoleh pemasukan. Karena sifatnya yang masih terbatas pada pasar domestik maka peningkatannya lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang bekerja pada sektor makro ekonomi.
Liberalisme lebih memiliki efek langsung terhadap aktor yang bersangkutan, karena masih dalam ranah ekonomi sehingga hanya pelaku aktor yang menerima konsekuensi. Namun dalam liberalisme yang tidak ikut secara langsung pun terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan nilai politik sudah masuk ranah ekonomi, sehingga efeknya lebih hebat. Apabila negara mengalami keterpurukan maka rakyatnya pasti juga terpuruk. Ekonomi kerakyatan bukanlah lawan yang tepat bagi konsep neoliberal karena hanya bergerak di sektor mikro ekonomi, sehingga sektor riil negara tidak tersentuh. Lawan yang seimbang bagi neoliberal adalah konsep Keynesianisme, dimana negara memiliki otoritas untuk melakukan intervensi penuh terhadap sistem perekonomian baik dalam perdagangan domestik maupun dalam perdagangan internasional. Bentuk intervensi tersebut tidak hanya menentukan regulasi perdagangan tetapi juga intervensi fiskal dan moneter khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan pekerjaan, serta menjamin stabilitas moneter. Konsep Keynesianisme sepintas terlihat serupa dengan pemikiran sosialis, terutama dalam hal intervensi negara secara total serta mengakui negara sebagai aktor dominan dalam sistem perekonomian. Namun bedanya dengan paham sosialisme, Keynes mengakui adanya kapitalisme, mengakui adanya kebebasan individu baik dalam kepemilikan kapital maupun dalam mendapatkan uang, serta mengakui adanya pasar bebas. Akan tetapi yang banyak berperan dalam perdagangan adalah negara sebagai the invisible hand dimana negara juga dapat mencapai keuntungan melalui regulasi perdagangan yang dibuat. Sehingga negara dapat meningkatkan sektor perekonomiannya tanpa adanya intervensi dari perusahaan besar. Selain itu dengan terciptanya stabilitas ekonomi maka secara tak langsung juga memajukan sektor mikro ekonomi, sehingga baik kesejahteraan negara maupun rakyat dapat berjalan secara linier.







Souces:
• Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
• Khan, Mohsin S. Evaluating the Effects of IMF-Supported Adjustment Programmes: A Survey dalam Melvin, Michael. 1992. International Money and Finance. New York: HarperCollins Publishers.
• Marty, Alvin L. Money, Financial Repression and Economic Growth. Ibid.
• Phylaktis, Kate dan Pradhan, Mahmood. International Finance and The Less Developed Countries. London:Macmillan Academic and Professional Ltd.

Pengaruh Kebijakan Moneter Pemerintah Terhadap Kekuatan Perusahaan Domestik Di Pasar Global

Pada saat ini sistem perekonomian global menganut sistem floating rate dimana nilai tukar mata uang masing-masing negara tergantung pada mekanisme pasar. Oleh karenanya peranan pemerintah sangat krusial dibidang moneter dalam rangka mempertahankan kekuatan mata uangnya di pasar global melalui berbagai kebijakan yang dibuat. Fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi baik didalam maupun diluar negeri turut mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara sehingga pemerintah negara harus benar-benar mempertimbangkan kebijakan yang dibuat, terutama yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan.
Dalam kaitannya dengan bisnis, sistem floating rate merupakan tantangan tersendiri bagi pelaku bisnis. Hal ini dikarenakan fleksibilitas dalam sistem ini menuntut para pelaku untuk menentukan strategi bisnis agar dapat bertahan dari persaingan baik dari sesama perusahaan domestik maupun dari perusahaan asing. Akan tetapi perubahan nilai mata uang dimana merupakan fleksibilitas mekanisme pasar pun masih dapat dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga secara tidak langsung kebijakan pemerintah turut mempengaruhi kekuatan perusahaan.
Pada kondisi yang normal, perekonomian suatu negara dipandang kuat bila nilai mata uangnya stabil terhadap pasar global, sehingga tercipta kondisi optimis terhadap peningkatan nilai ekspor barang dan jasa serta penurunan nilai impor. Namun pada kenyataannya nilai mata uang suatu negara selalu mengalami fluktuasi sehingga ketika nilai tukar mata uang tersebut turun maka yang terjadi nilai ekspor menurun sedangkan nilai impor meningkat. Hal ini tentu sangat merugikan baik dari segi pelaku bisnis maupun dari sudut pandang negara asal.
Fluktuasi nilai mata uang suatu negara memiliki resiko yang cukup besar untuk menimbulkan serta mempertinggi tingkat inflasi dikarenakan tidak hanya faktor internal yang mempengaruhi perubahan nilai mata uang tetapi juga kondisi eksternal negara tersebut, terutama apabila negara terebut aktif dalam kegiatan perdagangan lintas negara. Sehingga setiap perubahan yang terjadi di negara lain ikut mempengaruhi potensi ekonominya yang kemudian mempengaruhi kondisi perekonomian negara-negara yang berkaitan dengan nergara tersebut. Apabila terjadi inflasi di negara lain maka negara tersebut pun juga ikut terkena pengaruh. Kekuatan nilai jual mata uang tersebut dapat diprediksi, sebab meskipun mekanisme pasar selalu berubah-ubah akan tetapi terdapat kecenderungan dalam pasar dimana dapat dijadikan landasan dalam menentukan potensi mata uang tersebut. Salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki perekonomian negara adalah dengan melakukan devaluasi, dimana pemerintah dengan sengaja menurunkan nilai mata uang negaranya. Harapannya adalah dengan menurunnya nilai mata uang maka perusahaan-perusahaan terpacu untuk meningkatkan komoditas ekspor mereka. Dengan demikian negara dapat mendapat pemasukan dari kegiatan ekspor impor. Namun kebijakan ini memiliki potensi memperburuk kondisi ekonomi dalam negeri yang disebabkan harga jual produk di pasar domestik cenderung meningkat sehingga daya beli masyarakat cenderung turun.
Akan tetapi kebijakan devaluasi tersebut membuka peluang bagi perusahaan domestik dalam rangka memperkuat posisinya di pasar global. Hal tersebut disebabkan perusahaan dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan mempertimbangkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Seperti misalnya pada perusahaan Dell Computer yang diproduksi di Malaysia. Dell Computer mendapatkan seluruh sumber daya yang dibutuhkan dari dalam negeri. Baik dari buruh, tenaga kerja, hingga suplai bahan dasar pembuatan produk didapat dari dalam negeri. Jikalau mendapatkan sumber daya dari luar negeri maka Dell Computer membayarnya dengan Ringgit Malaysia. Dengan kata lain Dell Computer menentukan sumber daya yang mereka butuhkan berdasarkan standar harga lokal. Akan tetapi Dell Computer menjual produk mereka dengan menggunakan standar internasional yakni menggunakan Dollar Amerika Serikat. Oleh sebab itu pada saat Krisis Asia melanda Malaysia pada akhir tahun 1990an, Dell Computer justru mengalami keuntungan besar. Hal tersebut dikarenakan Dell Computer memperoleh pendapatan dari mata uang yang nilainya selalu meningkat sedangkan pengeluaran perusahaan bersandar pada standar mata uang yang nilainya terus mengalami penurunan (anonim. pp.274).
Potensi suatu perusahaan terhadap pasar global salah satunya dapat dilihat dari dominasi produk perusahaan tersebut. Sebab didalam pasar internasional kualitas dan kuantitas merupakan faktor pendorong dalam meningkatkan posisi perusahaan di perdagangan internasional. Sedangkan faktor utamanya adalah brand image dari produk perusahaan tersebut (Thompson, Henry. pp.358). Dalam contoh Dell Computer, mereka memanfaatkan kondisi pasar domestik yang lesu akibat kondisi mata uang domestik yang mengalami penurunan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sehingga ketika perusahaan lain mengalami penurunan pendapatan dikarenakan nilai mata uang lokal negara tersebut mengalami devaluasi maka justru sebaliknya yang terjadi pada Dell Computer. Strategi yang diterapkan Dell Computer pada dasarnya tetap dapat mendatangkan keuntungan bagi mereka, sebab bagaimanapun nilai tukar Ringgit Malaysia lebih rendah jika dibandingkan dengan Dollar Amerika Serikat. Sehingga pada kondisi ekonomi yang stabil pun strategi bisnis Dell Computer tetap dapat mendatangkan keuntungan maksimal tanpa adanya penurunan nilai mata uang.
Dengan pemasukan keuntungan yang optimal produk-produk Dell Computer memiliki peluang untuk mendominasi pasar internasional (ibid. pp.224). Karena ketika perusahaan mendapatkan keuntungan besar maka langkah pertama yang dilakukan selain mengalokasikan dalam bentuk investasi surat berharga adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perusahaan tersebut. Dengan menggunakan standar harga jual internasional, kedepannya Dell Computer juga menggunakan standar internasional terhadap kinerja perusahaan dan kualitas produksi mereka.
Setelah meningkatkan kualitas produk mereka serta menambah produksi penjualan, Dell Computer menciptakan image produk mereka sebagai produk internasional meskipun diproduksi di Asia. Media massa berperan penting terhadap pembentukan brand image, dan hal inilah yang sudah dimanfaatkan sejak awal oleh Dell Computer. Dell Computer sudah sejak awal menghapus image produk lokal dengan menggunakan Dollar Amerika Serikat sebagai standar penjualan produk mereka sehingga tidak sulit bagi mereka untuk membentuk image produk internasional. Dengan demikian meski Dell Computer diproduksi di Asia namun memiliki standar internasional.






Sources:
Anonim. International Monetary System.
Thompson, Henry. 2006. International Economics: Global Markets and Competition. 2nd Edition. Singapore: World Scientific Publishing Co.

Dominasi Dollar Amerika dalam Sistem Perhitungan Nilai Tukar Mata Uang dalam Pasar Valuta Asing Pasca Bretton Woods System

Abstract:
In post-World War II United States growed as the most powerful, strongest states, especially in economic side. It caused United States is the only country that has extremely financial growth after World War II that called “economic and finance great deppresion era”. That is the reason for much question about why American dollar trusted to be the one, and only, currency that being the main conversion of gold-system. In this era, international economic system well-known as fixed exchange rate system. But in 1971 President Nixon uniterally decided to cancel it. Then international economic system known as floating exchange rate system. This system aims to keep the stability of international economy. But American dollar still being the main currency to assigned other countries’ currency. It is invisibly seen on foreign exchange market when we will exchange country’s currency into American dollar, or even country’s currency into another country’s currency. This condition not only caused by political interest of united States to keep their hegemony internationally. Economically, the power of dollar also influenced by the existence of two of international economic and finance institutions, IMF and World Bank that founded on Bretton Woods System era.

Latar belakang:
Pada tahun 1971 Presiden Nixon melakukan suatu keputusan besar dengan membatalkan secara sepihak mengenai kesepakatan dollar Amerika sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas dimana kemudian nilai tukar mata uang yang lain mengikuti standar nilai tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Nixon Shock, dimana merupakan era berakhirnya Bretton Woods System sebagai sistem nilai tukar internasional. Bretton Woods System dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perekonomian dunia yang jatuh akibat Perang Dunia II serta menjaga stabilitas moneter internasional yang pada masa itu mengalami great deppresion. Pada masa pasca Perang Dunia II hanya Amerika Serikat yang kondisi perekonomiannya stabil dan selalu mengalami peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya dollar Amerika Serikat dipercaya sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas. Bretton Woods System ini merupakan hasil kesepakatan dari 730 delegasi dari 44 negara sekutu yang berkumpul di Hotel Mount Washington di Bretton Woods, New Hampshire, United States dalam rangka Konferensi Moneter dan Keuangan PBB pada bulan Juli 1944 (Cohen, Benjamin. nd). Pada Bretton Woods System dimana dollar Amerika merupakan konversi pertama terhadap emas, pada masa itu emas dianggap sebagai tolak ukur nilai yang bersifat fixed, oleh karenanya nilai tukar mata uang yang lain mengikuti standar nilai dollar terhadap emas. Efek sampingnya, dollar menjadi penyangga utama, dan satu-satunya, keseimbangan perekonomian internasional (Van Dormael, A. 1978). Dengan menjadikan dollar sebagai nilai konversi tertinggi dan paling stabil terhadap nilai emas menjadikan posisi Amerika Serikat sebagai negara superior di dunia. Hegemoni Amerika Serikat ini diperkuat dengan lahirnya tiga badan keuangan internasional yakni IMF, GATT, dan World Bank, dimana berpusat di Washington DC, Amerika Serikat.
Setelah keruntuhan sistem Bretton Woods, sistem ekonomi internasional diganti menjadi floating exchange rate system dimana merupakan gagasan utama Susan Strange dan François Perroux. Pada dasarnya mereka mengutamakan kekuatan finansial sebagai komponen utama penyangga struktur kekuatan baik negara maupun intenasional (Sandretto, René. 2009), oleh karenanya pemikiran mereka selalu berbasis pada stabilisasi ekonomi. Floating exchange rate system secara umum diartikan sebagai sistem perhitungan nilai tukar mata uang masing-masing negara dimana didasarkan pada mekanisme pasar valuta asing. Sistem ini murni berdasarkan pada jumlah permintaan dan penawaran. Menurut Strange sistem inilah yang paling ideal dalam mencapai stabilitas ekonomi secara internasional. Hal ini dikarenakan kecil kemungkinan bagi suatu negara untuk mendominasi maupun menguasai perekonomian dunia. Bahkan suatu negara tidak dapat mengendalikan nilai mata uangnya sendiri dalam pasar valuta asing. Dengan sistem ini, negara dapat meningkatkan volatisitas devisanya. Namun pada beberapa negara, khususnya negara berkembang, sistem ini justru mendatangkan masalah. Hal ini dikarenakan apabila nilai mata uang suatu negara lebih rendah daripada dollar ataupun mata uang negara lain sedangkan liabilitas negara tersebut menggunakan dollar atau mata uang asing dan aset negara dalam bentuk mata uang lokal maka yang terjadi justru instabilitas finansial domestik. Namun kenyataannya hal tersebut tidak menjadi kendala bagi berlangsungnya sistem ini.
Masalah utama dalam floating exchange rate system ini bukan mengenai apa saja keuntungan dan kelebihan dari sistem tersebut, namun apa yang menjadi tolak ukur mekanisme pasar valuta asing. Jika Susan Strange mengatakan bahwa tolak ukur perhitungan nilai suatu mata uang dalam floating exchange rate system adalah berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran mata uang tersebut, maka dapat dipertanyakan terhadap apakah permintaan dan penawaran tersebut? Sebab dalam pasar tidak mungkin salah satu unsur berdiri sendiri, karena pasti ada barang yang menjadi pembandingnya. Seperti istilah “ada uang, ada barang”, dalam pasar pun berlaku sistem yang serupa. Jika ada suatu barang yang dijual, pasti ada harga untuk barang tersebut. Hal tersebut juga berlaku dalam pasar valuta asing, jika ada komoditas yang diperdagangkan pasti ada timbal baik yang senilai. Oleh karenanya jika mata uang tersebut dijual pasti ada mata uang lain sebagai pembanding.
Mata uang pembanding yang dimaksud dalam pasar valuta asing adalah dollar Amerika. Hal ini terlihat dari dua hal. Yang pertama adalah stabilitas nilai dollar terhadap mata uang yang lain. Kisaran nilai dollar terhadap berbagai mata uang negara lain tidak akan berubah secara signifikan. Yang kedua adalah mekanisme penghitungan kurs jual-kurs beli dalam nilai tukar mata uang antar negara non-dollar. Misalnya nilai Rupiah (Indonesia) terhadap Yen (Jepang). Misalnya pada saat ini nilai jual Rupiah terhadap Dollar Amerika adalah Rp 9.000 untuk setiap dollar, dan nilai jual Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 75 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap dollar adalah ¥ 120 untuk setiap dollar. Sebaliknya untuk kurs beli pun juga sama. Jika nilai beli Rupiah terhadap Dollar Amerika adalah Rp 8800 untuk setiap dollar, dan nilai beli Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 72 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap dollar adalah ¥ 121 untuk setiap dollar. Dari perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa nilai mata uang yang diperhitungkan dalam pasar valuta asing adalah nilai mata uang negara tersebut terhadap dollar Amerika.

Rumusan masalah:
Jika tujuan Presiden Nixon melepaskan dollar sebagai konversi pertama terhadap nilai emas, mengapa sampai sekarang pun dollar Amerika masih menjadi tolak ukur nilai tukar mata uang tiap negara dalam bursa valuta asing?


Sources:
Cohen,Benjamin. nd. “Bretton Woods System”. Routledge Encyclopedia of International Political Economy (http://www.polsci.ucsb.edu/faculty/cohen/inpress/bretton.html diakses pada 3 November 2009)
Van Dormael, A. Bretton Woods: Birth of a Monetary System. 1978. London: MacMillan
René Sandretto. 2009. François Perroux, A Precursor Of The Current Analyses Of Power

Etika dalam Penelitian Sosial

Pada hakikatnya penelitian sosial dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan suatu masalah atau menjawab suatu pertanyaan atas fenomena yang terjadi. Dalam proses pembuatannya, secara teknis memang diperlukan unsur penelitian ilmiah. Namun dalam pelaksanaannya peneliti dituntut untuk mematuhi kode etik riset ilmiah, baik selama proses pengerjaannya maupun pada penulisan laporan penelitian.
Etika penelitian melibatkan penerapan prinsip-prinsip etik dasar untuk berbagai topik yang melibatkan penelitian ilmiah, termasuk desain dan pelaksanaan penelitian eksperimen yang melibatkan manusia, hewan percobaan, berbagai aspek skandal akademik, termasuk kesalahan ilmiah (seperti penipuan, rekayasa data dan plagiarisme), dan lain sebagainya.
Dalam hal penelitian ilmiah, sejumlah isu utama yang dibahas didalamnya harus termasuk dan tidak terbatas pada 4 aspek, yakni kejujuran, review process, standar etika, serta kepengarangan (Chanson, Hubert. 2007). Aspek kejujuran dan integritas merupakan syarat wajib dari masing-masing peneliti. Dalam aspek review process, peer-review yang memberikan kontribusi untuk proses pengawasan mutu dan ini merupakan langkah penting untuk memastikan berdiri dan orisinalitas dari penelitian. Aspek standar etika meliputi berbagai perbuatan ataupun tindakan moral yang harus dilakukan oleh peneliti. Sedangkan aspek kepengarangan bertujuan untuk mengakui hasil karya orang lain yang tercantum dalam penelitian yang dilakukan olrh peneliti.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia no.: 007/TAP/MWA-UI/2005 tentang etika penelitian bagi setiap anggota sivitas akademika Universitas Indonesia, penelitian sosial harus mempertimbangkan nilai risk/ gain assessment, nilai informed consent, nilai confidencial, nilai beneficial treatment, nilai full compensation, serta nilai informed result selama proses penelitian sosial dilaksanakan.
Pada nilai risk/ gain assessment, peneliti dituntut untuk meminimalisir resiko. Resiko yang diantisipasi dalam riset tidak boleh lebih besar daripada yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti juga harus mengutamakan keuntungan riset tersebut bagi partisipan, ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Pada nilai informed consent, subjek yang menjadi partisipan penelitian harus secara sukarela dan diijinkan keluar kapan saja tanpa sanksi. Sebelumnya peneliti wajib untuk memberitahu tentang semua aspek penelitian yang dapat mempengaruhi keinginan partisipan untuk bekerja sama.
Pada nilai confidencial, informasi yang diperoleh selama penelitian tentang subjek penelitian harus dirahasiakan. Informasi tersebut tidak boleh diberitahukan kepada orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Pada nilai beneficial treatment, setiap subjek berhak mendapatkan keuntungan yang sama dari setiap perlakuan yang menguntungkan yang berikan kepada partisipan lain dalam proyek penelitian.
Pada nilai full compensation, setiap subjek berhak mendapatkan kompensasi penuh atas waktu dan usahanya sebagai partisipan penelitian, meskipun mereka mengundurkan diri ataupun tidak menyelesaikan secara lengkap partisipasinya.
Pada nilai informed result, setiap subjek berhak mengetahui informasi tentang hasil penelitian. apabila subjek penelitian tersebut terlalu muda, maka informasi tersebut disampaikan pada orangtua subjek.
Basis Susilo dalam buku Metode Penelitian Sosial (2008. 243-244) mengutarakan bahwa dalam penulisan laporan penelitian peneliti harus memperhatikan 7 nilai utama. Pertama, membedakan antara laporan hasil penelitian dengan proposal penelitian. Kesalahan yang umum terjadi adalah penggunaan kata “akan” pada laporan penelitian. Padahal kata “akan” seharusnya hanya ditulis pada proposal penelitian, dan tidak menjadikan proposal penelitian tersebut sebagai pendahuluan laporan penelitian. Kedua, menjelaskan unsur penelitian yang telah dilakukan secara jujur dan objektif. Peneliti tidak dianjurkan untuk melaporkan sesuatu yang tidak ada dalam penelitiannya. Unsur yang dilaporkan seharusnya tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi, apalagi manipulasi data untuk mendukung hipotesisnya.
Ketiga, menngunakan tata bahasa yang lugas. Setiap instrumen kalimat yang ada dalam laporan penelitian, seperti tanda baca, paragraf, huruf dan angka harus dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan kata-kata serta penyusunan kalimat harus jelas artinya. Tujuannya adalah agar tidak terjadi konotasi, metafora, multiinterpretasi maupun ambiguitas. Peneliti juga harus menghindari penghalusan makna (euphemisme) ataupun pengerasan makna (puffery). Keempat, menggunakan teknik penulisan yang singkat dan jelas. Peneliti harus menghindari pengulangan data, informasi, atau kutipan apabila tidak diperlukan atau apabila dapat mengurangi kejelasan makna kata atau kalimat.
Kelima, ketaatan pada asumsi dasar, kerangka teoretis, dan jangkauan penelitian yang telah ditentukan. Keenam, dapat diteliti ulang oleh peneliti lain. Sehingga apabila penelitian tersebut diteliti ulang dengan kerangka teoretis dan metode yang sama harus ditemukan data yang sama. Ketujuh, konsistensi terhadap cara penulisan yang baku dan diakui oleh semua pihak.



Sources:
• Chanson Hubert. 2007. Research Quality, Publications and Impact in Civil Engineering into the 21st Century. Publish or Perish, Commercial versus Open Access, Internet versus Libraries ?. Ottawa: Canadian Journal of Civil Engineering, NRC, Vol. 34, No. 8, pp. 946-951 (DOI:10.1169/L07-027)
• Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.: 007/TAP/MWA-UI/2005 Tentang Etika Penelitian Bagi Setiap Anggota Sivitas Akademika Universitas Indonesia
• Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2008. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana

Metodologi dalam Penelitian Ilmiah

Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial dihadapkan pada kompleksitas dinamika perubahan sosial. Karena perubahan tersebut tidak bersifat statis melainkan selalu berkembang maka manusia pun dituntut untuk cepat menyesuaikan diri. Perubahan yang terjadi tidak dapat diprediksi, dan manusia memiliki rasa ingin tahu yang amat besar untuk memperoleh pengetahuan baru mengenai gejala sosial. Manusia tidak pernah merasa puas dengan gejala sosial yang ada. Untuk memperoleh jawaban dari keingintahuan tersebut, orang perlu melakukan kegiatan yang menggunakan metode yang diakui secara keilmuan. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong manusia dalam melakukan riset (penelitian) mengenai gejala sosial.
Penelitian, atau riset, berasal dari kata bahasa Inggris “research” yang terdiri dari re artinya ulang dan search artinya mencari. Jadi, research atau penelitian itu adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala, kenyataan yang sudah ada untuk direkonstruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran yang dimasalahkan. Ungkapan kembali itu didasari oleh keingintahuan tentang keadaan gejala sosial yang dijadikan masalah. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian/riset sosial merupakan proses kegiatan mengungkapkan secara logis, sistematis, dan metodis gejala sosial yang terjadi di sekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Kebenaran dimaksud adalah keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keseimbangan, dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Dirdjosisworo, Soedjono.1998.pp.5) :
1. Sistematis artinya bahasan tersusun secara teratur, berurutan menurut sistem.
2. Logis artinya sesuai dengan logika, masuk akal, benar menurut penanalaran
3. Empiris artinya diperoleh dari pengalaman, penemuan, pengamatan.
4. Metodis artinya berdasarkan metode yang kebenarannya diakui oleh penalaran.
5. Umum artinya menggeneralisasi, meliputi keseluruhan tidak menyangkut yang khusus
  saja.
6. Akumulatif artinya bertambah terus, makin berkembang, dinamis.
Dalam proses riset/ penelitian sosial dibutuhkan metodologi penelitian sosial. Metodologi berasal dari kata metode, yang berarti prinsip untuk menuntun jalannya penelitian. Jadi metodologi merupakan suatu upaya yang sistematis dalam penelitian sosial untuk mengelompokkan prinsip dasar penelitian. Termasuk di dalamnya adalah kaidah dan teknik untuk memuaskan keingintahuan peneliti pada suatu gejala sosial, atau cara untuk menemukan kebenaran dalam memperoleh pengetahuan baru. Dalam penelitian sosial, metodologi berfungsi sebagai :
• Mengelompokkan dasar pemikiran dalam riset
• Membantu menentukan fokus penelitian sehingga tidak keluar jalur
• Mengumpulkan prinsip-prinsip yang objektif dan acceptable
• Menggunakan logical thinking baik secara deduktif (dari observasi spesifik ke hipotesis yang lebih general) maupun induktif (dari teori dasar ke hasil riset yang lebih spesifik)
Berdasarkan buku Pengantar Penelitian Hukum milik Soerjono Soekanto (1986.pp50), penelitian sosial dapat dibedakan menjadi tiga, yakni penelitian eksploratori, penelitian deskriptif, serta penelitian eksplanatori.
Penelitian eksploratori bersifat mendasar dan bertujuan untuk memperoleh keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Karena bersifat mendasar, penelitian ini disebut penjelajahan (exploration). Penelitian eksploratori dilakukan apabila peneliti belum memperoleh data awal sehingga belum mempunyai gambaran sama sekali mengenai hal yang akan diteliti. Penelitian eksploratori tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu. Peneliti hanya menyiapkan beberapa pertanyaan sebagai penuntun untuk memperoleh data primer berupa keterangan, informasi, sebagai data awal yang diperlukan. Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah observasi di lokasi penelitian dan wawancara dengan responden. Mereka yang dapat dijadikan responden adalah tokoh masyarakat setempat, pejabat pemerintah daerah setempat, anggota kelompok masyarakat tertentu, semuanya yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian eksploratori.
Penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Pada penelitian tipe ini, peneliti biasanya sudah memperoleh data awal atau mempunyai pengetahuan awal tentang masalah yang akan diteliti. Pada penelitian deskriptif, seorang peneliti sudah biasa menggunakan teori atau hipotesis.
Penelitian eksplanatori bersifat penjelasan dan bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada.
Dalam penelitian sosial terdapat unsur-unsur pendukungnya, antara lain konsep, landasan teori, hipotesis, proposisi, dan variabel.
• Konsep
Konsep merupakan sekumpulan ide, gagasan, hasil abstrak dari realitas empiris dimana menggambarkan suatu himpunan gejala tertentu yang dikelompokkan/ dikategorikan ke dalam suatu kesatuan karena kesamaan ciri tertentu.
Fungsi Konsep :
1. Fungsi kognitif yaitu mengorganisasi observasi dan menata hasilnya (fungsi menata)
2. Fungsi evaluatif yaitu mengevaluasi apa yang telah dipersepsi
3. Fungsi Operasional (pragmatis) yaitu mengendalikan dan mengarahkan perilaku individu
4. Fungsi Komunikasi, artinya konsep harus memungkinkan komunikasi.
• Landasan Teori
Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri dari beberapa konsep yang terjalin dalam hubungan sebab akibat. Teori adalah serangkaian konsep dalam bentuk propisisi-proposisi yang saling berkaitan, bertujuan memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu gejala. Gambaran yang sistematis itu dijabarkan dengan menghubungkan suatu konsep dengan konsep yang lain dalam satu proposisi dan menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi yang lain.
Fungsi teori :
o Menjelaskan suatu gejala yang muncul dan menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.  fungsi eksplanasi
o Memperkirakan gejala yang bakal terjadi.  fungsi prediksi
• Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap problema. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut. Dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan/ menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori.
• Proposisi
Proposisi adalah suatu statemen mengenai ihwal suatu realitas. Karena mengenai ihwal suatu realitas, dan tidak mengenai nilai atau pendapat ideal, maka proposisi dapat dikaji dan diuji betul atau salahnya. Syarat proposisi adalah menunjuk atau bersangkut paut dengan gejala yang dapat diamati.
Ada dua macam proposisi :
1. Hipotesis  proposisi yang dirumuskan untuk diuji kebenarannya secara empirik
2. Tesis  proposisi yang memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan yang telah dibenarkan oleh suatu pengujian secara empirik dan cermat
Pembedaan proposisi atas dasar jumlah konsep atau variabel yang digunakan dibedakan menjadi:
o Proposisi deskriptif merupakan proposisi yang berisikan satu konsep/variabel
o Proposisi relasional (ekspalanatif) merupakan proposisi yang berisikan dua atau lebih konsep/variabel.
• Variabel
Variabel adalah konsep yang memiliki dua atau lebih variasi nilai. Variabel dibentuk dengan melakukan pengelompokan beberapa atribut yang logis dari dua/lebih atribut.
Cara menyeleksi topik untuk penelitian sosial (Neuman, W Lawrence, 2000) :
1. Personal experience (pengalaman pribadi)
2. Curiosity based on something in the media (keingintahuan yang didasarkan pada sesuatu di media)
3. The state of knowledge in a field (pengetahuan di lapangan)
4. Solving a problem (penyelesaian suatu masalah)
5. Social premiums (hadiah social)
6. Personal Value (nilai pribadi)
7. Everyday life (kehidupan sehari-hari)
Sumber awal untuk memperoleh tema/topic mengenai suatu permasalahan/isu penelitian, yaitu (Manasse Malo, 1985) :
1. Diri sendiri  mendasarkan pada pengetahuan dari pengalaman atau pengamatan diri sendiri terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan permalsahan penelitian
2. Orang lain  mendasarkan pada pengetahuan dari pengalaman atau pengamatan orang lain terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan permalsahan penelitian)
3. Karangan ilmiah  dengan membaca secara kritis berbagai tulisan atau karangan ilmiah, maupun laporan hasil penelitian mengenai hal yang dapat dijadikan focus perhatian penelitian.











Sources:
Dirdjosisworo, Soedjono. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali. Jakarta.
Malo, Manasse. 1985. Metode Penelitian Sosial. Karunika. Jakarta.
Neuman, W Lawrence. 2000. Basics of Social Research: Quantitative and Qualitative Approaches. Allin and Bacon. Toronto.
Neuman, W Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Allin and Bacon. Toronto.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Interest Group in America and Its Influences to US Foreign Policy

According to Thomas Ambrosio (2002), interest group in America is a domestic interest group which seeks to directly or indirectly influences their government's foreign policy. According to Tabib Huseynov in his journal Influencing American Foreign Policy: A Case on Ethnic versus National Interests that published in 2003, interest group in America understood as an ethnic group which have fully authority in America’s foreign policy. In this case, ethnic group is an ethnicity that becomes dominant in America political life.

Ethnicity is an influential element in contemporary American domestic politics and in foreign politics as well. Some powerful ethnic interest groups, like Jewish, Greek, Armenian etc., have gained a lot of influence in American domestic affairs and increasingly tried to exert more and more influence on the foreign policies, which deal with their country or place of origin.
From its beginning, U.S. society has been a multicultural society of people with different origins and backgrounds. Therefore, it is natural that in a number of cases these ethnic groups sought to influence American policies toward their country or place of origin. As Tony Smith writes on his book Foreign Attachments: The Power of Ethnic Groups in the Making of American Foreign Policy. 2000, “it is not only the social character of America as a nation of immigrants that makes for the prominent role ethnic actors play in foreign policy deliberations; it is also the structure of American democracy that allows ethnic communities, and much wider range of civic interest groups in general, access to policymaking”. As it will be seen below, the factors that allow various interest groups, including ethnic ones, to influence the U.S. policymaking lie namely on the nature of the wider state-society relations and the country's political and party organization.
It is generally accepted that the U.S. has a largely decentralized policy-making structure. The U.S. founding fathers have built the U.S. political system based on the principle of 'checks and balances'. This democratic principle provided separate branches of government with powers to oversee the actions of the other, thus preventing any one from becoming too powerful. This principle of 'checks and balances' enshrined in the U.S. Constitution provides large freedom of action for the activity of various interest groups.
Another factor that greatly enforces the role of social forces in American foreign policymaking is the specific system of political party organization. As Smith indicates, “because the Congress and the President can be of the same mind or the same party, it is conceivable that the institutional struggle built into politics by the Constitution might not occur and thus, the government would enjoy relative autonomy in the face of social pressures”. Therefore, the party system has been built, in which the public officials are not named by the party but nominated through primaries, whose results are decided by local electorates. The consequence of such party discipline is that in practice public officials may well be as responsive to their constituents as to their party leadership. Moreover, Smith notes that given that the Congress is also a decentralized entity, even civic interests operating on a small social base may find their concerns being reflected in legislation. Thus, the U.S. is usually characterized as a typical ‘weak state’ because of its federalist structure, the system of checks and balances between Congress and administration, and the extensive network of group representation.
Who Is The Interest Group?
Many scholars from neo-liberal approach to international politics emphasize the decisive influence of organized interest groups on foreign policy (Keohane, 1984). The assumption is that foreign policy is a function of shifting coalitions of multiple and competing political and societal actors. Executive and legislative officials with foreign policy authority bargain with domestic groups that use their members’ votes, campaign contributions, threatened or actual capital flight, labor strikes, and other tools to affect the electoral benefits and costs to elected officials of choosing alternative policies (Gourevitch, 1986; Milner, 1988; Rogowski, 1989; Frieden, 1991).

Epistemic communities exist outside formal government institutions and are drawn from professionals and experts in the academy, think tanks, and other bodies of highly trained specialists in subjects as diverse as economic theory and military technology. These specialists provide critical technical expertise for government officials in the legislative and executive branches to define problems and help form their preferences regarding particular policies.

Research on epistemic communities has two important implications. First, it suggests that experts equip government officials to conduct analyses and reach decisions that can be independent of direct pressures from organized groups or citizens. The scholarship on epistemic communities predicts, then, that business and labor exert at best modest direct influence upon the foreign policy decisions of government officials. Second, epistemic communities may serve as concrete mechanisms for identifying and addressing a state’s objective interests, in the complex global power struggles that classical and structural realists emphasize

By the median voter theory, it assumed that public opinion have the most impact on highly salient issues that draw intense attention from the media and voters and thereby pose the most direct threat of electoral punishment for unresponsiveness. In other way it means that mass media has powerful influence to foreign policy.

Tactics
Interest groups, according to John Dietrich on his book: Interest Groups and Foreign Policy: Clinton and China MFN Debates. 1999., are able to have “an impact on the earlier stages of the decision- making process” via the following three general, yet effective, tactics:

Framing the issues
Ambrosio describes framing as “the attempt by interest groups to place an issue on the government's agenda, shape perspectives of that issue, and influence the terms of debate”.

Offering information and analysis
Framing is closely connected to with supplying information and analysis, according to Ambrosio, because of “the large number and diversity of issues confronting (the staff of an elected representative), it is impossible for staffers to invest sufficient time to research issues themselves. Consequently, they are forced to rely on outside sources of information; interest groups provide this information, most likely with analysis (or “spin”) beneficial to their agenda”.

Monitoring the policy process and reacting as necessary
In addition to framing, supplying information and analysis, Ambrosio states that “interest groups closely monitor government policies pertaining to their agenda and react to those policies through” such actions as:
• The dissemination of supplementary information,
• Letter-writing campaigns,
• Calls for hearings or additional legislation,
• Support or opposition of candidates during elections



Sources:
• Ambrosio, Thomas. 2002. Ethnic identity groups and U.S. foreign policy. Praeger Publishers. ISBN 0275975339
• Ahrari, Mohammed E. 1987. Ethnic Groups and U.S. Foreign Policy. Greenwood Press. ISBN 0-313-25412-5
• Said, Abdul Aziz. 1981. Ethnicity and U.S. Foreign Policy. Praeger Publishers. ISBN 0-275-90716-3
• Huseynov, Tabib. 2003. Influencing American Foreign Policy: A Case on Ethnic versus National Interests. ISSN: 1303 – 9814. [Online] issue 5. June 2003. Cited from http://www.stradigma.com [accessed on April 28, 2009]
• Jacobs, Lawrence and Page, Benjamin. n.d. Who Influences U.S. Foreign Policy Over Time? Cited from http://www.springerlink.com [accessed on April 28, 2009]

Bergdorf Blondes by Plum Sykes

Judul Buku : Bergdorf Blondes (Judul Terjemahan : Cewek-Cewek Bergdorf)
Pengarang : Plum Sykes
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 424 halaman


Novel ini bercerita tentang perjalan hidup karakter utama yang oleh si pengarang tidak diberi nama karakter. Dia menyebutnya moi yang dalam bahasa Perancis berarti “aku”. Si tokoh utama ini digambarkan memiliki sedikit kemampuan berbahasa Perancis yang selalu menggunakan satu-dua kata dalam bahasa Perancis dalam setiap kalimatnya. Si karakter utama ini bekerja sebagai penulis artikel salah satu majalah mode. Dia tinggal di Park Avenue, Manhattan, kawasan elite di New York City. Dia hidup dikelilingi oleh kehidupan para sosialita beserta gaya hidup glamornya. Dia berteman akrab dengan Julie Bergdorf, ahli waris Bergdorf Department Store, departemen store paling bergengsi di New York. Julie adalah ikon cewek Park Avenue yang paling chic. Gaya hidup yang super glamor, bentuk tubuh yang super kurus (di kalangan sosialita, anoreksia adalah hal yang paling seksi dan keren), kulit cokelat sempurna hasil tanning, bukan fake baked, di Salon Portofino, rambut pirang hasil highlight yang dikerjakan oleh Ariette di Bergdorf deptstore tepat setiap tiga belas hari.
Gaya hidup para cewek Manhattan ini, termasuk si moi, benar-benar beyond, bahkan tidak sempat dibayangkan oleh orang kebanyakan. Semua barang yang mereka dapatkan tidak hanya membutuhkan lembar dollar yang tebal, tetapi juga sangat mustahil untuk dicapai oleh orang-orang diluar komunitas mereka karena para sosialita selalu memiliki koneksi pribadi dengan salon, dermatologis, serta pakar kecantikan terbaik di New York. Belum lagi gaun-gaun gratis dari beberapa rumah mode kenamaan yang mereka dapat, dimana jika orang lain harus membayar mahal untuk itu. Kehidupan pribadi mereka juga tidak jauh-jauh dari pesta-ke-pesta tiap malam. Memiliki tunangan adalah hal yang glamor, sehingga dalam setiap pesta salah satu tangan mereka pasti menggandeng tangan tunangan mereka, dan tangan yang satu lagi memegang tas tangan. Dan jika mereka datang tanpa salah satu dari kedua benda tersebut (begitu mereka menyebutnya) atau bahkan keduanya, meski sedang memakai gaun paling mutakhir dari perancang busana terkenal, mereka akan merasa seperti ditelanjangi.
Pemikiran para cewek sosialita ini pun sangat dangkal, terutama mengenai cinta dan pasangan. Bagi mereka, cinta hanya sebesar dan semurni berlian yang menempel di cincin pertunangan mereka. Sebakin besar dan semakin murni merlian mereka, maka cinta pasangan mereka juga sebesar itu. Kriteria dalam memilih pasangan juga tak jauh berbeda dengan waiting list tas tangan. Semakin berkualitas (baik cowok maupun tas tangan) maka waiting listnya pun semakin lama dan harga yang harus ditebus pun semakin mahal. Belum lagi bila kemudian ada cewek lain yang “menyerobot antrian” maka cetiap saat mereka harus tetap waspada.
Namun semua pemikiran ini sama sekali tidak disetujui oleh si moi. Dia sangat menjunjung tinggi makna cinta, meski dengan cara yang kekanak-kanakan. Si moi menilai kebaikan pria-pria di sekitarnya secara naif. Karena itu tidak heran jika pria-pria tersebut datyang dan pergi dalam hidupnya. Oleh karenanya sepanjang novel ini menceritakan perjuangan si moi dalam mencari cinta sejati. Pengalaman berpacarannya yang tidak sebanyak teman-temannya, keterpurukannya ketika ditinggalkan oleh pacarnya yang ternyata belakangan diketahui hang out dengan model. Belum lagi ketika dia bertemu dengan cowok yang ternyata cinta sejatinya di waktu yang salah.
Sepanjang novel ini mendeskripsikan secara total, mungin, kehidupan pribadi kaum sosialita di New York yang bergelimang barang-barang mahal dan limited edition dimana mereka dengan mudah mendapatkannya sedangkan orang lain bahkan belum sempat meliriknya. Novel ini seperti menggambarkan kehidupan sosialita ala Paris Hilton atau Kim Kadarshian yang kehidupannya tidak jauh dari pesta-pesta glamor tiap malam. Mengapa saya bilang pesta-pesta, bukan hanya dengan satu kata? Karena mereka sering mendatangi lebih dari satu acara dalam satu malam dan mereka terbiasa dengan kondisi yang “mengharuskan” mereka seperti demikian. Salah satu bagian dari novel ini juga menjelaskan beberapa hal yang membedakan para sosialita New York dengan kalangan jet-setter Los Angeles.
Ide cerita novel ini mungkin tidak jauh berbeda dengan latar belakang kehidupan si pengarang sendiri. Dalam cover belakang novel ini dijelaskan bahwa Plum Sykes merupakan seorang akademisi lulusan Oxford yang bekerja sebagai kontributor majalah Vogue dan Vanity Fair, majalah mode di New York. Dia tinggal di New York dan menulis tentang mode dan sosialita. Latar belakang si pengarang tersebut nyaris sama dengan latar belakang karakter utama dalam novel ini, kecuali kampus tempat si karakter utama pernah belajar. Banyak hal yang membuat saya sangat menyukai novel ini. Yang pertama adalah sifat si karakter utama. Sepintas penggambaran si moi ini tidak jauh berbeda dengan para sosialita di sekitarmya, yakni cenderung pragmatis dan bodoh. Namun setelah diperhatikan lebih lanjut, ternyata si moi merupakan sosok yang naif, sederhana dan apa adanya. Yang kedua adalah plot komplikatif sebelum bagian akhir yang lumayan seru serta banyak kejadian-kejadian menarik didalamnya. Dan yang ketiga adalah cara pengemasan cerita yang menarik. Sykes menggambarkan tidak hanya segi glamor dan sisi sinis para cewek sosialita tetapi juga hal-hal menggelikan dan kekanakan dari mereka.

Wednesday, 31 March 2010

Liberalisme dan Neoliberalisme

0 comments
Liberalisme

Fokus utama teori liberalisme adalah individu. Fokus analisis teori ini adalah individu dan kolektifitasnya: negara, perusahaan, organisasi, asosiasi dan sebagainya (Viotti&Kauppi 1999, 7). Kaum liberalis dengan tegas mengungkapkan bahwa dalam masalah internasional terdapat baik konflik maupun kerjasama. Teori ini muncul setelah Perang Dunia I dimana muncul sebagai bentuk kritik dari realitas bahwa negara tidak dapat mengontrol perang dalam hubungan internasional mereka. Bagi kaum liberalis, hubungan internasional akan lebih menguntungkan apabila masing-masing negara mengadakan relasi mutualisme dan saling bekerja sama serta memberi penekanan bahwa perang merupakan solusi yang destruktif dalam hubungan internasional dan tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menguntungkan siapa-siapa.
Salah satu alasan munculnya teori liberalisme adalah sebagai bentuk kontra dari teori realisme. Apabila teori realisme memandang pesimis negatif terhadap human nature yang dianggap sebagai sesuatu yang destruktif, maka liberalisme memandang human nature secara positif optimis (Sorensen&Jackson 1999, 59). Kaum liberal sangat yakin terhadap akal pikiran manusia dan prinsip-prinsip rasional dapat diimplikasikan pada masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu memiliki ego yang tinggi serta rasa persaingan satu sama lain. Konflik dan perang tak terhindarkan. Akan tetapi tiap individu dapat menggunakan akal pikiran mereka untuk mencapai kerja sama yang saling menguntungkan. Kaum liberalis kemudian yakin bahwa akal pikiran manusia dapat mengalahkan ketakutan manusia dan hasrat akan kekuasaan. Kaum liberalis menyadari akan adanya hambatan dalam proses perkembangan manusia. Namun mereka yakin akan adanya kerjasama yang didasarkan pada hubungan timbal balik yang dikarenakan modernisasi yang meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan bagi kerja sama.
Asumsi dasar realisme adalah kemajuan manusia, akal pikiran manusia, dan kerja sama (ibid., 58). Tiga aspek tersebut kemudian mengarah pada proses modernisasi. Salah satu scholar liberalis, Hans Kochler¸ mengutarakan bahwa dasar legitimasi hukum internasional adalah hak-hak asasi manusia. Hal inilah yang kemudian mendasari konsep demokrasi yang menjadi “tujuan hidup” kaum idealis.
Teori libaralisme mengungkapkan bahwa preferensi negara, lebih daripada kapabilitas negara, merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku negara. Tidak seperti pandangan realisme yang memandang negara sebagai satu-satunya aktor, liberalisme mengakui adanya pluralitas dalam tiap tindakan negara, seperti misalnya aktor-aktor non negara yang dapat berjalan sendiri namum tetap tunduk pada kebijakan negara. Preferensi negara berbeda-beda satu sama lain,. Tergantung faktor budaya, sistem ekonomi atau tipe pemerintahan negara tersebut. Teori liberalisme juga mengemukakan bahwa interaksi antar negara tidak terbatas pada konteks politik atau keamanan (high politics) saja, tetapi juga pada konteks ekonomi dan kultural (low politics) baik antar perusahaan komersial, organisasi, maupun individu. Liberalisme mengedepankan asumsi bahwa dalam hubungan internasional antar negara memiliki banyak kesempatan untuk mengadakan kerja sama serta adanya hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Karena itulah kaum liberalis sangat optimis akan terciptanya perdamaian dunia. Optimisme kaum liberal tersebut sangat berkaitan dengan kebangkitan negara modern. Karena modernisasi dapat diartikan sebagai kemajuan dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk hubungan internasional.
Berdasarkan pemikiran liberalis, kondisi damai tercipta bukan melalui indikator tidak adanya perang secara fisik. Sebab Perang Dingin pun juga disebut perang meskipun tidak terjadi kontak secara fisik. Kondisi damai yang dimaksud oleh kaum liberalis adalah kondisi dimana sistem pemerintahan dunia terbentuk dalam konstruksi multipolar. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya sistem multipolar maka keunggulan masing-masing negara hanya ada pada satu aspek sehingga kemudian terjadi hubungan interdependensi antar negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kepentingannya.
Pasca Perang Dunia 2, teori liberalisme terbagi menjadi empat teori utama yaitu liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional dan liberalisme republikan (Burchill 2005). Dalam liberalisme sosiologis dicetuskan oleh Richard Rosecrance dimana hubungan internasional tidak hanya mempelajari tentang hubungan antar pemerintah tetapi juga hubungan antara individu, organisasi dan masyarakat swasta. Hubungan antar rakyat lebih kooperatif daripada hubungan antar pemerintah. Jaringan transnasional juga semakin berkembang dimana merupakan dampak dari bermunculannya korporasi transnasional yang juga turut memberikan pengaruhnya pada hubungan internasional.
Pada liberalisme interdependensi, relasi interdependensi antar negara semaakiin meningkat yang merupakan dampak dari modernisasi. Aktor-aktor transnasional juga semakin diperhitungkan eksistensinya dalam hubungan internasional. Militer, sebagai salah satu instrumen pembentuk power suatu negara pada perspektif realisme, kurang diperhitungkan dalam hubungan internasional. Tujuan utama negara dan dunai saat ini tidak lagi soal keamanan tetapi mengenai kesejahteraan. Sehingga isu-isu ekonomi dan sosial menjadi isu utama.
Liberalisme institusional mengadopsi pemikiran Woodrow Wilson dimana hubungan internasional tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah tetapi juga institusi internasional, baik organisasi yang terstruktur maupun asosiasi yang dapat memajukan hubungan kerjasama antar negara. Peranan institusi dalam hubungan internasional antara lain mengurangi masalah yang timbul akibat tidak adanya kepercayaan antar negara serta menguangi ketakutan satu negara terhdap negara lain. Liberalisme republikan merupakan suatu kondisi dan situasi internasional dimana negara demokrasi tidak saling berperang karena memiliki budaya domeatik atas penyelesaian konflik secara damai yang mengutamakan nilai moral dan hubungan kerjasama di bidang ekonomi dan relasi interdependensi yang saling menguntungkan.

Neoliberal

Perspektif neoliberal berkembang pada era pasca Perang Dingin diimana mengadopsi nilai teori realis klasik dengan penyempurnaan melalui pendekatan behavioralis. Kaum neoliberalis mengkritisi pandangan kaum liberalis klasik bahwa anarki tidak dapat dihilangkan dari sistem internasional dan karena itu optimisme kaum liberal tidak terjamin karena terlihat terlalu utopis. Sepanjang anarki berjalan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari menolong diri sendiri dan dilema keamanan. Selain itu, kaum neoliberalis menolak pandangan optimis kaum liberalis klasik terhadap basic human nature karena pada kenyataanya tidak semua manusia bersifat baik. Akan tetapi neoliberalisme tidak fokus pada basic human nature tetapi lebih kepada upaya dan tindakan manusia untuk mencapai perdamaian. Perang bisa saja terjadi kapan saja, tetapi juga bisa dihindari dengan mengadakan interaksi mutualisme antar aktornya dan terdapat organisasi internasional sebagai mediator serta payung bagi kepentingan masing-masing aktor dalam rangka mencapai perdamaian dunia.

Kritik terhadap Liberalisme dan Neoliberalisme

Kaum liberalis kurang dipersiapkan untuk menghadapi masa ketiadaan kemajuan. Teori liberal memiliki kesulitan untuk menangani kasus semacam ketiadaan pembangunan dan kehancuran negara-negara dunia ketiga karena secara fundamental teori liberal didasarkan pada konsep modernisasi yang tidak dapat diubah. Kaum liberal juga mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai modernisasi dan perubahan, level keamanan dalam perdamaian demokratis, hubungan yang tepat antara aktor-aktor liberal dalam hubungan internasional. Hal ini dikarenakan kaum liberal mencoba menteorisasi perubahan sejarah yang bersifat kompleks, dinamis, dan terbuka. Dengan demikian timbul ketidakpastian dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaan konflik.
Penekanan perspektif neoliberalisme mengenai adanya kerjasama antar aktor serta adanya organisasi internasional sebagai mediator dan payung kepentingan seluruh aktor bisa jadi hanya mengusung kepentingan beberapa negara saja. Semangat yang diusung oleh organisasi tersebut bisa jadi bukan merupakan representasi dari seluruh aktor yang tergabung didalamnya tetapi merupakan representasi dari kepentingan salah satu atau beberapa negara hegemon didalamnya. Fungsi mediator pun bisa jadi tidak berjalan lancar apabila organisasi internasional tersebut tidak bersifat netral. Sangat besar kemungkinan terjadinya kondisi dimana negara hegemon mengeksploitasi negara non-hegemon. Karenanya diperlukan polisi internasional dimana merupakan negara kuat non-hegemon untuk menjaga stabilitas hubungan internasional.

Sources:
Burchill,Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd Edition. New York: St.Martin Press.Inc.
Griffith, Martin. 1999. 50 Key Thinker of International Relations.
Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Viotti, Paul R. and Kauppi, Mark V. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. 3rd Edition. Boston: Allyn and Bacon

Wednesday, 17 March 2010

REALISME DAN NEOREALISME

0 comments
Realisme

Realisme merupakan salah satu teori mayor dalam studi hubungan internasional dimana merupakan kontra dari teori liberalisme. Asumsi dasar dari teori realisme ini adalah rasa pesimisme terhadap human nature (human nature dipandang sebagai sesuatu yang destruktif), keyakinan bahwa pada dasarnya hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan satu-satunya jalan keluarnya adalah perang, menjunjung tinggi nilai national security serta kelangsungan hidup negara, skeptisme dasar terhadap adanya kemajuan dalam politik internasional (Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999).
Pada dasarnya, kaum realis tidak mempercayai adanya bentuk kerjasama dan hubungan saling ketergantungan antar negara. Menurut mereka, dalam upayanya meningkatkan keamanan, negara yang telah berdaulat merupakan aktor utama sekaligus tokoh kunci (aktor dominan dalam politik internasional) dimana mereka berusaha mencari kekuasaan dan tertarik pada kepentingan sendiri (self-interested) (ibid.). Sedangkan aktor-aktor lain yang merupakan aktor non-negara seperti organisasi internasional, perusahaan transnasional maupun multinasional, kelompok masyarakat ekstrimis (mis. teroris) atau negara yang belum memperoleh kedaulatannya tidak memiliki akses di hubungan internasional. Beberapa pemikir realis memasukkan aktor non-negara kedalam peta politik internasional dengan posisi pemain minor dimana perannya dalam hubungan internasional dinilai kurang signifikan dan kurang penting.
Negara merupakan aktor yang berasal dari sekumpulan komponen pembentuknya kemudian membentuk kesatuan unit yang terintegrasi, dimana setiap kebijakan yang dibuat merupakan representatif dari seluruh komponen negara tersebut.Negara juga merupakan satu-satunya aktor yang rasional, karena hanya negara yang dapat membuat kebijakan secara rasional yang didasari olehpernyataan yang objektif.
Berdasarkan asumsi para pemikir realis klasik, politik internasional berkembang dalam kondisi anarki internasional dimana tidak terdapat kekuasaan berlebihan dalam suatu sistem serta tidak ada pemerintahan dunia. Dalam konteks realisme, foreign policy suatu negara adalah membentuk dan mempertahankan interest negara dalam politik internasional. Akan tetapi terdapat hirarki internasional dimana negara yang paling penting adalah negara-negara great powers. Beberapa kaum realis klasik seperti Thucydides, Machiavelli, Hobbes, berpendapat bahwa tujuan kekuasaan, alat-alat kekuasaan dan penggunaan kekuasaan merupakan perhatian utama aktivitas politik, sehingga politik internasional dideskripsikan sebagai politik kekuasaan.
Power merupakan kunci utama dalam pengertian kaum realis. Hal ini berkaitan dengan asumsi dasar manusia yang destruktif dimana ketika diimplementasikan baik terhadap individu maupun terhadap negara, power digunakan sebagai alat untuk offense dan sekaligus untuk defense. Dan isu yang paling diutamakan adalah isu ideologi, pertahanan, keamanan serta militer dimana kemudian disebut dengan istilah high politics issues. Sedangkan isu-isu yang bersifat sosial dan ekonomi seperti isu kesehatan, pendidikan, lingkungan, perdagangan, dan kesejahteraan dimana disebut dengan istilah low politics issues kurang begitu diperhatikan.

Realisme klasik

Thucydides : nasib politik, kebutuhan dan keamanan, ketahanan politik, keselamatan.
Machiavelli : kebuasan politik, kesempatan dan keamanan, kelangsungan hidup politik, kebaikan bersama.
Hobbes : keinginan politik, dilema keamanan, ketahanan politik, perdamaian.

Realisme Neo Klasik (Morgenthau)

Konsep kenegaraan menurut Hans Morgenthau :
Sifat manusia  kondisi dasar : animus dominandi, mementingkan diri sendiri
Situasi politik  alat dan konteks : politik kekuasaan, kekuatan politik, lingkungan politik, keahlian politik
Pelaksanaan politik  tujuan dan nilai : etika politik, kebutuhan manusia, kepentingan nasional, perimbangan kekuatan

Neorealisme (Waltz)

Teori neorealisme (realisme struktural) merupakan teori milik Kenneth Waltz yang merupakan upaya perombakan teori realisme yang sudah ada. Teori ini berusaha untuk lebih ilmiah dan lebih positivis. Neorealis tetap mempertahankan nilai realis bahwa hubungan internasional antarnegara merupakan hubungan yag antagonistik dan konfliktual yang disebabkan oleh struktur anarkis dalam sistem internasional.
Hal yang membedakan neorealisme dengan realisme dilihat dari aktor yang berperan di dalam sistem internasional. Jika pada realisme aktor yang menjadi kunci utama dalam sistem internasional adalah negara bangsa (nation-state), maka pada neorealisme aktornya adalah sistem itu sendiri. Sehingga meskipun negara merupakan aktor yang dominan, non-state actors memiliki peranan yang penting dalam sistem internasional.
Struktur internasional dalam konsep neo realisme adalah anarki internasional, negara sebagai ‘unit serupa’, perbedaan kapabilitas negara serta adanya negara besar lebih dari satu dimana terdapat hubungan antar negara-negara tersebut. Sedangkan konsep kunci dari neo realisme adalah perimbangan kekuatan, pengulangan internasional, dan konflik internasional yang berupa perang dan perubahan internasional

Kritik Terhadap Realisme

Realisme hanya mengakui negara sebagai aktor utama yang dominan dan satu-satunya tokoh kunci yang ada pada sistem internasional. Pada kenyataannya banyak aktor-aktor non-negara yang bermunculan dalam sistem internasional, terutama pada masa pasca Perang Dunia II, dan memiliki pengaruh pada sistem internasional. Bahkan tak sedikit dari mereka yang memiliki otoritas diatas negara. Contohnya seperti NAFTA dimana secara tidak langsung hanya Amerika Serikat yang membuat dan menyetujui berbagai kesepakatan yang dibuat, atau dominasi Brazil dan Argentina dalam Mercosur. Dari hal tersebut kemudian dapat dipertanyakan, kemana kedaulatan negara tersebut? Karena ketika intervensi suatu negara terhadap negara lain mulai mempengaruhi proses decision making negara tersebut maka foreign policy yang berlaku didalamnya berisi kepentingan suatu negara terhadap negara tersebut, yang mana merupakan perpanjangan tangan dari negara yang berkepentingan terhadap negara tersebut.
Selain itu, teori realisme disebut sebagai teori yang ‘gagal’ karena hanya memandang sistem internasional dari salah satu sudut pandang serta pandangan kaum realis yang terlalu pesimis mengenai human nature. Realisme juga bersifat destruktif, karena problem solving yang ditawarkan oleh teori ini adalah perang secara militer. Hal ini dikarenakan salah satu penyebabnya adalah fokus utamanya adalah konsep power dan isu yang menjadi points of interest adalah isu high politic. Kecenderungan untuk memakai power sebagai alat untuk defense bukannya untuk ofense turut mengakibatkan kondisi internasional yang cenderung konfliktual.

Sumber:
Aron, Raymon. 1968. Peace and War. New York: Praeger
Griffith, Martin. 1999. 50 Key Thinker of International Relations.
Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Viotti, Paul R. and Kauppi, Mark V. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon

Monday, 15 March 2010

Teori-Teori Geopolitik

0 comments
Secara etimologi istilah geopolitik berasal dari kata geo (bahasa Yunani) yang berarti bumi dimana tidak lepas dari pengaruh letak serta kondisi geografis bumi yang menjadi wilayah hidup dan politik yang berasal dari kata polis yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri atau negara dan teia yang berarti urusan (politik) yang memiliki makna kepentingan umum warga negara suatu bangsa (Sunarso, 2006). Dari definisi tersebut maka geopolitik dapat dimaknai sebagai studi ilmu negara dimana wilayah geografi suatu negara merupakan kepentingan nasional negara tersebut. Pada perkembangannya, geo-politik memiliki dua macam versi yang memiliki perbedaan mendasar dalam perspektif pendekatannya. Frederich Ratzel mengenalkan istilah ilmu bumi politik (political geography) dimana memandang fenomena geografi dari kacamata politik. Sebaliknya Rudolf Kjellen memandang fenomena politik dari kacamata geografi dan menyebutnya geographical politic yang kemudian disingkat menjadi geopolitik. Akan tetapi studi ilmu hubungan internasional menggunakan perspektif Kjellen dalam mempelajari studi geopolitik.
Titik fokus utama studi geopolitik adalah negara, dan sejak awal perkembangannya konsep geopolitik merupakan alat doktrin negara. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh pengaruh waktu perkembangannya yakni setelah perjanjian Westphalia yang kondisi ini didukung oleh kenyataan bahwa Kjellen merupakan anak didik Friedrich Ratzel, pencetus istilah Lebensraum (semboyan di Jerman yang merujuk pada penyatuan negara dan akuisisi koloni, yang didasarkan pada model bahasa Inggris dan Perancis). Oleh karenanya konsep geopolitik ini sarat dengan pemikiran Adolf Hitler yang menimpikan terciptanya negara totalitarian. Baik Ratzel maupun Kjellen melihat adanya benang merah antara negara dengan organisme. Bedanya, Ratzel memandang persamaan antara kedua aspek tersebut terletak pada kebutuhan negara untuk berkembang secara intelektual serta membutuhkan ruang gerak, dimana mirip dengan sifat dasar organisme. Sedangkan Kjellen memandang bahwa negara merupakan bentuk dari organisme tersebut yang diartikan negara sebagai subjek imajiner.
Karena studi geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografis, maka sebagai doktrin dasar negara studi geopolitik mencakup empat unsur utama, yaitu ruang, frontier, politik kekuatan, dan keamanan negara dan bangsa (Sunardi, 2004). Konsep ruang diperkenalkan oleh Karl Haushoffer dimana menyimpulkan bahwa ruang merupakan tempat bagi dinamika politik dan militer. Haushoffer memandang bahwa ruang, yang disini diartikan sebagai letak geografis, merupakan faktor utama dalam menentukan kekuatan suatu negara secara militer dan politik. Hal ini dikarenakan kekuatan politik bertujuan untuk ekspansi wilayah dan kepemilikan wilayah secara de facto dan de jure menjamin legitimasi kekuasaan politik. Kondisi geografis wilayah yang ditempati oleh negara tersebut merupakan warisan berharga bagi negara tersebut apabila mereka memahami cara menggunakan dan memberdayakan wilayah mereka menjadi kekuatan negara. Pemikiran Haushoffer ini kemudian dikenal sebagai Teori Ruang dan Kekuatan, dimana kemudian diadopsi oleh Jerman yang memakai istilah Lebensraum pada awal tahun 1900an dan Jepang yang menggunakan istilah Fukoku Kyohei (rich country strong army) pada pertengahan tahun 1900an.
Pada era pra Perang Dunia II teori Lebensraum ala Friedrich Ratzel ini lalu melahirkan teori baru yang dicetuskan oleh Karl Haushoffer yang kemudian dinamakan teori Autarkhis, dimana Lebensraum sudah cukup dengan hanya mengikuti hukum alam. Teori ini kemudian memunculkan paham Pan-Regionalisme yang dibagi menjadi empaat yaitu Pan Amerika (Monroe Doctrine, USA), Pan Asia Timur (doktrin Hoka I Chiu, Jepang), Pan Rusia India (wilayah Asia Barat dan Eropa Timur, Rusia) dan Pan Eropa Afrika (Eropa Barat minus Inggris, Rusia dan Jerman)
Konsep frontier merupakan konsep kepemilikan wilayah antar negara yang berdekatan satu sama lain dimana antara negara tersebut terdapat batas secara imajiner (yang hanya terlihat pada gambar peta negara) yang kemudian ditindaklanjuti dengan pendirian batas negara secara visual. Batas negara ini bersifat dinamis, yakni dapat sewaktu-waktu berubah dengan berbagai kondisi yang mempengaruhi. Konsep politik kekuatan merupakan konsep dimana geopolitik dipahami dengan pengertian wilayah geografis merupakan unsur kepentingan nasional. Kepentingan nasional merupakan visi negara yang harus dijaga oleh rakyatnya, dimana berlandaskan kekuatan ekonomi, militer dan politik. Konsep keamanan negara dan bangsa merupakan konsep dimana wilayah geografis merupakan salat satu unsur pertahanan negara.

Sources:
Smith, Woodruff D. Friedrich Ratzel and the Origins of Lebensraum. Jerman Studies Review vol. 3, no. 1. Jstor.
Sunardi, RM. 2004. Pembinaan Ketahanan Bangsa dalam rangka Memperkokoh Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia: Teori Ketahanan Nasional, Geostrategi Indonesia, dan Ketahanan Nasional. Jakarta: Kuaternita Adidarma
Sunarso. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press.

Thursday, 11 March 2010

Dampak Krisis Ekonomi di Uni Eropa terhadap Krisis Finansial di Amerika Serikat dan Krisis Ekonomi Global

1 comments
Abstract:
Many people thought that global economy crisis is an impact of the economic crisis in United States. They believe that those crisis just started from collapsed shred exchange in Wall Street, main finance sector of United States that then caused financial loss of giant enterprises in United States. Their loss seems very great, that can impact world economy. But no one consider that global economy crisis precisely started from European Union.


Keywords : subprime mortgage, global economy crisis, AIG, European Union, United States, KTT G-20 Washington, KTT APEC Lima


Subprime Mortgage di Amerika Serikat
Runtuhnya raksasa-raksasa lembaga finansial di Amerika Serikat merupakan salah satu akibat dari serangkaian efek yang ditimbulkan dari krisis subprime mortgage pada sebuah negara yang dikenal sebagai negara adidaya tersebut. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut telah menyeret krisis nilai tukar terbesar yang pernah ada (the mother of all currency crisis). Di Eropa Timur, dampak krisis global mengakibatkan resesi di sejumlah negara. Runtuhnya nilai tukar akibat penarikan dana oleh investor, bersamaan dengan turunnya penerimaan ekspor dan tingginya inflasi memunculkan resiko kebangkrutan seluruh ekonomi Eropa Timur.
Di Amerika Serikat, krisis ekonomi dikarenakan pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang di Afganistan dan Iraq, dan yang paling penting adalah subprime mortgage. Subprime mortgage merupakan penyebab utama krisis keuangan di Amerika Serikat yang dikarenakan kerugian dari surat berharga properti yang sudah berlangsung sejak Juli 2007. Pada awalnya pemerintah Amerika Serikat memberi kemudahan dalam pinjaman kepemilikan rumah (mortgage, semacam KPR di Indonesia) terhadap warganya tanpa melihat profil dan karakter debitur dan tanpa jaminan yang memadai, sehingga pengangguran pun dapat memperoleh subprime loan tersebut. Hal ini dikarenakan harga properti di Amerika Serikat selalu merangkak naik sehingga pasar properti di Amerika Serikat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan menjanjikan. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat tidak terlalu menggembirakan sejak tahun 2006. Hal tersebut berdampak pada menurunnya harga properti di Amerika Serikat sehingga membuat para debitur makin terbelit dan kemudian tidak mampu membayar pinjamannya (default). Masalah ini semakin diperparah dengan banyaknya investment banker yang menerbitkan produk derivative subprime mortgage (menerbitkan hutang dengan jaminan mortgage loan). Sehingga ketika terjadi kredit macet pada mortgage, maka dampaknya perbankan harus membukukan kerugian atas kredit properti dan secara otomatis produk derivate juga hancur. Hal ini merupakan faktor primer yang mempengaruhi anjloknya bursa saham di Amerika Serikat.
Sebagai akibatnya, harga saham di pasar finansial terus menurun tajam yang kemudian mengakibatkan perusahaan-perusahaan keuangan multinasional di Amerika Serikat seperti Bear Stearns, Fannie Mae, Fredie Mac., Washington Mutual, Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS, AIG, dan Mitsubishi UF mengalami kesulitan finansial dan kemudian pailit. Dalam waktu singkat kondisi pasar finansial Wall Street, Amerika Serikat, terpuruk dan pemerintah Amerika Serikat dipaksa untuk memberi dana talangan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Namun di lain pihak, Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin terakhir perbankan) sejumlah raksasa bank investasi, lembaga asuransi, lembaga sekuritas dan lembaga penjamin kredit yang juga terpuruk. Bisa dikatakan, hal ini merupakan collateral efffect yang timbul akibat subprime mortgage.

Penawaran AIG London
Di Uni Eropa, krisis ekonomi bermula dari AIG, sebuah perusahaan asuransi Amerika Serikat yang memiliki kantor cabang di london yang dimanajeri oleh Joseph J. Cassano, yang memberi sebuah penawaran berupa jaminan pada bank-bank di negara-negara Uni Eropa untuk memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan berakreditasi AAA (excellent/ top position) di Amerika Serikat yang mengalami kesulitan finansial. Transaksi utang piutang tersebut diantarai oleh AIG selaku pihak penjamin sehingga bank-bank di Uni Eropa tidak perlu memberi setoran kas kepada bank sentral negara masing-masing.
Bank-bank di Uni Eropa setuju terhadap penawaran tersebut karena kebiasaan masyarakat Uni Eropa yang lebih banyak menabung sehingga bank harus memberikan bunga yang cukup tinggi bagi nasabahnya. Sebaliknya, masyarakat Amerika Serikat terbiasa dengan sistem kredit yang bagi mereka lebih menguntungkan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah bank di Amerika Serikat kekurangan cadangan kas dikarenakan kebiasaan masyarakatnya. Bagi bank-bank di Uni Eropa hal ini tentu sangat menguntungkan. Sebab dalam kesempatan ini bank-bank di Uni Eropa dapat menentukan prosentase bunga hutang yang cukup tinggi bagi perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat yang mengalami kredit macet tersebut. Selain itu, mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kerugian yang besar, sebab mereka telah sepakat dengan AIG untuk menjamin transaksi antara bank-bank di Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tersebut.

Krisis Finansial di Uni Eropa
Untuk beberapa waktu, arus piutang berjalan lancar. Hampir dipastikan tidak ada masalah yang dialami, baik dari pihak bank-bank di Uni Eropa maupun dari pihak perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Namun kemudian timbul masalah dari pihak perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Sebagian besar dikarenakan arus perputaran surat berharga perusahaan tersebut mengalami kemacetan. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tidak dapat meneruskan pembayaran hutang mereka terhadap bank-bank di Uni Eropa dalam jangka waktu yang cukup panjang. Akibatnya, bank-bank di Uni Eropa mengalami kesulitan dalam menangani tumpukan piutang mereka serta tanggung jawab mereka terhadap bank sentral masing-masing negara. Hal itu diperparah dengan kesepakatan mereka dengan AIG London dimana AIG hanya memberi ganti rugi yang prosentasenya cukup sedikit dari jumlah dana yang dipinjamkan. Dan kemudian hal tersebut menyebabkan kerugian besar-besaran di pihak bank-bank di Uni Eropa.
Hal tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi pemerintah negara-negara di Uni Eropa. Mereka pun ikut merugi, sebab bank-bank di Uni Eropa tidak memberikan tambahan jaminan kas di bank sentra masing-masing negara, sesuai dengan peraturan prosedural mengenai transaksi utang piutang yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan masing-masing negara. Sedangkan jumlah dana yang dipinjamkan oleh bank-bank mereka cukup besar. Untuk menutup transaksi piutang yang macet, pemerintah negara-negara di Uni Eropa yang memberi pinjaman terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mengalihkan hutang-hutang perusahaan-perusahaan tersebut kepada pemerintah Amerika Serikat. Namun karena di Amerika Serikat itu sendiri juga sedang mengalami krisis finansial maka hutang-hutang tersebut tetap tidak dapat terbayarkan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Krisis Ekonomi di Indonesia
Di Indonesia, krisis ekonomi global tersebut berdampak melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, sehingga kondisi pasar Indonesia menjadi tidak sehat. Akibatnya, nilai aset Indonesia semakin menurun sedangkan tanggungan hutang luar negeri Indonesia semakin banyak karena selisih kurs terhadap mata uang asing semakin tajam. Jika pada awalnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah Rp. 9000 sampai Rp. 9500 per satu Dollar kemudian melonjak tajam hingga Rp. 13000 per satu Dollar Amerika Serikat, maka dapat diperkirakan berapa yang ditanggung pemerintah Indonesia. Dengan jumlah nominal Dollar yang sama, tanggungan hutang luar negeri Indonesia akan bertambah sekitar 30% dalam kurs Rupiah.
Kegiatan ekspor produk-produk Indonesia diperkirakan juga akan terhambat karena perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat akan melakukan politik banting harga yang kemudian dapat mengakibatkan turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Harga minyak mentah juga semakin merosot akibat krisis nilai alat tukar. Selain itu bursa saham di Indonesia juga terpuruk yang dikarenakan mayoritas investor asing yang berinvestasi dalam bentuk modal finansial tersebut menarik dana mereka untuk diinvestasikan di negara asalnya karena pemerintah mereka membutuhkan dana likuiditas. Mereka lebih suka menarik uang kas di pasar saham dan rela untuk cut of transaction. Belum cukup, pemerintah Indonesia juga dihadapkan dengan problem ketenagakerjaan yang disebabkan peningkatan jumlah pengangguran karena diperkirakan banyak perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia kemudian ditutup akibat krisis finansial yang melanda negara asalnya.

Tindak Lanjut
Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah negara-negara di Uni Eropa kemudian mengalihkan hutang-hutang perusahaan di Amerika Serikat kepada pemerintah Amerika Serikat. Kemudian dalam bidang perjanjian utang piutang perbankan selanjutnya negara-negara di Uni Eropa memutuskan untuk memberikan syarat yang sangat ketat dan tingkat kerumitan yang cukup tinggi untuk setiap kegiatan transaksi perbankan yang melibatkan bank-bank di negaranya. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi, syarat yang harus dipenuhi oleh pihak peminjam juga lebih banyak. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Uni Eropa dalam rangka proteksionisme di bidang finansial untuk menanggulangi krisis ekonomi agar tidak semakin parah. Selain itu, proteksionisme juga sebagai langkah untuk membatasi dan menyeleksi negara-negara debitur agar jaminan yang ditawarkan oleh negara-negara debitur tersebut sesuai dengan jumlah kredit yang diambil.
Pemerintah Indonesia dalam pertemuan KTT G-20 mengupayakan agar syarat yang diajukan oleh pemerintah negara-negara di Uni Eropa disesuaikan dengan tingkat kesulitannya sehingga syarat transaksi perbankan tidak terlalu tinggi. Sebab Indonesia juga merupakan salah satu negara yang perekonomiannya tergantung pada bank-bank di Uni Eropa. Oleh karena itu, apabila tingkat kesulitannya sangat tinggi bagi pemerintah Indonesia tentu akan membatasi ruang gerak pemerintah Indonesia dalam transaksi utang piutang dengan bank-bank di Uni Eropa. Belum lagi apabila tidak ada kompromisasi dari pihak Uni Eropa terhadap syarat-syarat yang diajukan, bisa jadi apa yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia tidak sepadan dengan apa yang didapatkan.
KTT APEC di Lima, Peru merupakan upaya tindak lanjut dari KTT G-20 di Washington, Amerika Serikat. Kebetulan beberapa negara anggota APEC juga merupakan anggota G-20 seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan Australia. Pada pertemuan G-20, para anggotanya sepakat untuk berkomitmen berama mengatasi krisis ekonomi global. Para pemimpin G-20 telah menyepakati paket penyelamatan ekonomi demi menstabilkan sistem keuangan, merangsang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kerangka kerja pengaturan keuangan. Dalam KTT APEC terdapat indikasi bahwa para pemimpinnya akan membebaskan perdagangan dan investasi yang merupakan titik berat dalam forum APEC, serta menolak proteksionisme .

Kesimpulan
Krisis ekonomi global, termasuk krisis finansial di Amerika Serikat, yang terjadi merupakan salah satu dari serangkaian dampak krisis ekonomi di uni Eropa. Hal ini tidak lepas dari sikap bank-bank di Uni Eropa yang terlalu yakin terhadap akreditasi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang akan mereka beri pinjaman tersebut. Sebab meskipun memiliki akreditasi yang sempurna, bukanlah sebuah jaminan bahwa perusahaan tersebut tidak akan hancur meskipun terjadi krisis ekonomi. Akibatnya, ketika para debitur tidak dapat membayar hutang-hutangnya dikarenakan anjloknya nilai jual saham perusahaan mereka di pasar modal, bank-bank di Uni Eropa kebingungan mencari cara untuk mengatasi tumpukan piutang yang belum terselesaikan.
Prinsip kapitalisme dalam perekonomian Amerika Serikat, para pemilih usaha dituntut untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Dan sebagai jalan pintas, pemerintah Amerika Serikat memudahkan berbagai bentuk kredit yang ditawarkan oleh bank-bank di Amerika Serikat tersebut. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan ternama di Amerika Serikat dimana posisinya sudah cukup kuat dan memiliki kredibilitas yang tinggi di pasar Amerika Serikat, ternyata harta yang dimiliki berasal dari pinjaman bank (pihak ketiga). Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis finansial, perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutang mereka karena dana pribadi mereka lebih sedikit daripada dana pihak ketiga (dana pinjaman).


REFERENSI :

Boediono, 2008. Ancaman Krisis Ekonomi Dunia. Prime Access Card online. [internet] November 2008 dalam http://news.primeaccesscard.com/ekonomi/bursa/ancaman-krisis-ekonomi-dunia.html [diakses 3 Desember 2008]

Grant, James, 2007. The Feds Subprime Solutions. New York Times online. [internet] 26 Agustus 2007 dalam http://www.nytimes.com/2007/08/26/opinion/26grant.html [diakses 23 November 2008]

Hadi, Rismal, 2008. Menyikapi Krisis Ekonomi Global. Kabar Indonesia online. [internet] 21 Oktober 2008 12.39 WIB dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20081021091642 [diakses 23 November 2008]

Kawilarang, Renne R.A dan Adiati, Harriska Farida, 2008. KTT APEC Akan Tindak Lanjuti Pertemuan G-20. Vivanews Beta. [internet] Senin, 17 November 2008 16.29 WIB dalam http://dunia.vivanews.com/news/read/9916-ktt_apec¬_akan_tindak_lanjuti_pertemuan _g_20 [diakses 24 November 2008]








TUGAS TEKNIK PENULISAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

DAMPAK KRISIS EKONOMI DI UNI EROPA TERHADAP KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT DAN KRISIS EKONOMI GLOBAL




MAYA MERALDA KARTIKA
(070710413)

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2008

Penyerapan Konsep Neoliberalisme dalam Sistem Ekonomi di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Sektor Makro Ekonomi

0 comments
Banyak yang tidak disadari oleh bangsa Indonesia bahwa ideologi liberal sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Bahkan secara terang-terangan masyarakat Indonesia telah digiring untuk menjadi masyarakat konsumtif yang haus akan uang, dimana merupakan dampak dari paham kapitalisme yang merupakan salah satu “produk” dari liberalisme. Salah satu bukti yang paling mudah ditemui adalah semakin mudahnya masyarakat dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank. Persyaratan yang diajukan oleh bank cukup mudah, cepat, serta minim persyaratan khusus sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk mengajukan permohonan kredit. Sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengajukan permohonan kredit dibandingkan dengan menabung uangnya. Banyak sekali varian kredit yang ditawarkan oleh bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta, seperti kredit tanpa anggunan, kredit jangka panjang, kredit bunga rendah, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan budaya konsumtif dalam masyarakat, karena mereka dapat membeli suatu barang tanpa harus memiliki uang sebesar jumlah nominalnya pada saat yang sama.
Contoh yang lain adalah kepemilikan kartu kredit dimana pemegangnya dimanjakan oleh berbagai fasilitas seperti gratis pembelian item tertentu dengan syarat pembelian menggunakan kartu kredit tersebut dalam jumlah tertentu atau di tenant tertentu, atau diskon produk-produk tertentu. Fasilitas-fasilitas tersebut secara disengaja atau tidak, merekonstruksi pemikiran pemiliknya untuk terus berbelanja produk yang tidak terlalu dibutuhkan dengan dalih penghematan. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah mereka sedang melakukan pemborosan besar-besaran, yang biasanya baru disadari saat mereka sudah terlanjur membeli produk-produk tersebut. Namun efek ini hanya merupakan efek temporer, karena pemiliknya terus melakukan berulang kali meski pada akhirnya mereka sedikit menyesalinya. Lebih parahnya pemilik kartu kredit ini mengalami ketergantungan yang sangat dasyat terhadap kartu tersebut.
Akibat yang ditimbulkan kedua contoh diatas tersebut serupa, yakni penambahan pengeluaran yang dikarenakan adanya biaya yang dikenakan bunga. Pemikiran masyarakat kembali dikonstruksikan bahwa dengan adanya sistem kredit maka mereka dimudahkan dalam mendapatkan dana dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, namun pada akhirnya mereka menanggung resiko yang tidak mudah dengan membayar biaya tambahan (biasanya 25%) yang sebenarnya tidak perlu mereka keluarkan. Hal ini serupa dengan yang dialami Indonesia beberapa tahun yang lalu dimana bangsa ini masih tergantung dengan utang yang berasal dari IMF dan Bank Dunia. Bunga yang dikenakan cukup mencekik, mengingat bahwa jumlah bunganya jauh lebih tinggi daripada jumlah pinjamannya. Hal ini cukup membuktikan bahwa kedua lembaga keuangan tersebut melenceng dari konsep utama pembentukannya yakni sebagai lembaga keuangan yang membantu negara berkembang dalam menangani masalah finansialnya. Pada kenyataanya negara tersebut justru menghadapi masalah baru, yakni menyelesaikan utang dengan kedua lembaga tersebut.
Kondisi pra-pemilu kali ini media tanah air diwarnai oleh isu neoliberal yang dianut oleh salah satu calon presiden ataupun calon wakil presiden (lebih dikenal dengan istilah neolib). Namun tidak ada penjelasan pasti mengenai konsep ini? Apa makna konsep ini sesungguhnya, dan mengapa konsep ini dianggap berbahaya oleh kalangan politik?
Neoliberal merupakan bentuk pembaharuan dari teori liberal klasik (pada artikel ini konteks liberalisme dibatasi pada segi ekonomi dan perdagangan) dimana didalamnya memperjuangkan hak-hak kepemilikan dan kebebasan individual. Semboyan yang lazim digunakan oleh kaum liberalis adalah laizzes (nous) faire, yang merupakan istilah bahasa Perancis. Jika diartikan ke dalam bahasa Inggris kira-kira berbunyi “Leave Us Alone”. Pencetus konsep neoliberalisme merupakan seorang neoliberalis institusionalis. Nilai yang diperbarui terutama posisi sistem ekonomi yang memasuki kawasan politik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah posisi negara yang semakin minimal atau bahkan nihil dalam sistem ekonomi. Bila dalam konsep liberalisme segara dipercaya sebagai pembuat peraturan dan regulasi dalam sistem perdagangan, maka dalam konsep neoliberal ini negara sama sekali tidak ikut campur dalam urusan ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan negara dinilai merugikan pasar sehingga intervensi negara ditiadakan. Konsep neoliberal ini fokus pada perdagangan bebas dimana pembatasan terhadap perilaku bisnis serta hak-hak milik pribadi sangat minimal. Dalam konsep ekonomi neoliberal ini, pihak swasta memiliki peluang yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan dikarenakan nilai yang diusung oleh konsep ini adalah deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang pro pasar. Secara otomatis, tiga hal tersebut mendukung perkembangan perusahaan swasta terutama perusahaan besar baik transnasional maupun multinasional.
Yang membuat konsep neoliberalisme lebih berbahaya terhadap sistem perekonomian di Indonesia adalah kecenderungan untuk menerapkan perkembangan dari konsep tersebut, yakni konsep Washington Consensus. Dalam hubungannya dengan perdagangan bebas, konsep Washington Consensus ini menuntut penghapusan kontrol negara atas aliran finansial global, privatisasi, serta reformasi perdagangan dimana hambatan quota diganti dengan tarif. Bagi kalangan yang mendukung konsep ini, privatisasi merupakan upaya stimulasi untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan penerapan Foreign Direct Investment (FDI) dinilai efektif dalam upayanya meningkatkan perkembangan teknologi.
Namun pada dasarnya konsep Washington Consensus ini lebih menguntungkan perusahaan besar seperti MNC dan TNC daripada negara. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk meniadakan intervensi dari pemerintah pada kegiatan ekonomi (dalam bentuk regulasi dan kebijakan ekspor impor baik dari segi quota maupun pajak) dan sepenuhnya menyerahkan kontrolnya kepada mekanisme pasar bebas. Membiarkan pasar berjalan sesuai dengan mekanismenya berarti memberi peluang bagi perusahaan besar seperti MNC dan TNC untuk lebih leluasa mengontrol sistem ekonomi global. Karena sebagaimana nilai kebebasan dan persaingan bebas yang diusung oleh liberalisme menciptakan kekuatan terbesar menjadi dominan dalam sistem. Dalam sistem ekonomi hal ini mengacu pada perusahaan besar seperti MNC dan TNC tersebut.
Hal yang membuat neoliberal lebih berbahaya terhadap ekonomi nasional dikarenakan nilai yang ada dalam neoliberal maupun Washington Consensus sebagai perkembangan dari neoliberal secara langsung menyerang ekonomi makro negara. Dengan kata lain juga secara langsung mempengaruhi sektor mikro ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai yang ditekankan pada konsep Washington Consensus sangat menekan perekonomian negara dengan dalih efisiensi. Misalnya seperti kebijakan privatisasi dimana negara menyerahkan perusahaan milik negara kepada pihak swasta dengan alasan pengelolaan swastanisasi yang lebih efisien dan mendatangkan profit. Kebijakan deregulasi yang menuntut negara untuk merekonstruksi peraturan di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan pemerintah yang terlalu banyak sehingga memicu timbulnya korupsi dan diskriminasi terhadap pengusaha kecil dan meminimalisasi pengaruh mereka terhadap pemerintah. Kedua contoh prinsip dari Washington Consensus menunjukkan bahwa kebijakannya tidak ada yang pro negara.
Menghilangkan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian tentu berakibat keterpurukan sektor makro ekonomi negara. Sebab dalam kaitannya dengan regulasi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah apabila hal tersebut dihilangkan maka pertumbuhan ekonomi negara mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan negara sebagai pilar utama perekonomian global tidak dapat menjalankan peranan yang seharusnya. Dengan menyerahkan wewenang pemerintah terhadap swasta maka dapat dipastikan negara mengalami pengurangan besar. Semisal dalam hal perpajakan. Negara dituntut untuk mengurangi pajak bea dan cukai sampai pada level minimum. Hal ini ditujukan sebagai wujud eksistensi negara terhadap perdagangan bebas. Sebagai konsekuensinya, negara harus rela kehilangan sebagian besar pendapatan dikarenakan pajak merupakan pendapatan utama negara.
Selain itu konsep efisiensi yang diusung oleh neoliberal tersebut juga membawa dampak sosial terhadap negara, yakni masalah pengangguran. Dengan adanya peranan swasta terhadap sistem ekonomi maka masyarakat dituntut untuk berada pada situasi kompetitif. Sehingga yang sukses adalah dia yang memiliki potensi lebih unggul dan yang tidak sukses bukan karena kesalahan sistem melainkan tidak berhasil menjadi orang yang sukses. Hal ini turut merekonstruksi pemikiran masyarakat bahwa tubuh pun aset. Sama seperti kecakapan dan kepandaian yang bisa juga dipandang sebagai aset.
Lain misalnya dengan sektor ekonomi kerakyatan. Mungkin memang pada awalnya konsep neoliberal dapat membuat perekonomian rakyat terpuruk, tetapi karena fokus utama ekonomi rakyat adalah pasar domestik serta kurang diminati oleh investor asing maka kejatuhannya hanya pada sistem saja. Selain itu sifatnya temporer karena ekonomis ekonomi rakyat masih berpeluang untuk mengalami restrukturisasi dan rehabilitasi. Misalnya apabila terdapat persaingan produk lokal dengan produk dari negara lain dalam segi harga. Hal tersebut memang kemudian menjatuhkan pendapatan produsen produk lokal, namun tidak serta merta pendapatan mereka hilang karena masih ada peluang untuk memperoleh pemasukan. Karena sifatnya yang masih terbatas pada pasar domestik maka peningkatannya lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang bekerja pada sektor makro ekonomi.
Liberalisme lebih memiliki efek langsung terhadap aktor yang bersangkutan, karena masih dalam ranah ekonomi sehingga hanya pelaku aktor yang menerima konsekuensi. Namun dalam liberalisme yang tidak ikut secara langsung pun terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan nilai politik sudah masuk ranah ekonomi, sehingga efeknya lebih hebat. Apabila negara mengalami keterpurukan maka rakyatnya pasti juga terpuruk. Ekonomi kerakyatan bukanlah lawan yang tepat bagi konsep neoliberal karena hanya bergerak di sektor mikro ekonomi, sehingga sektor riil negara tidak tersentuh. Lawan yang seimbang bagi neoliberal adalah konsep Keynesianisme, dimana negara memiliki otoritas untuk melakukan intervensi penuh terhadap sistem perekonomian baik dalam perdagangan domestik maupun dalam perdagangan internasional. Bentuk intervensi tersebut tidak hanya menentukan regulasi perdagangan tetapi juga intervensi fiskal dan moneter khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan pekerjaan, serta menjamin stabilitas moneter. Konsep Keynesianisme sepintas terlihat serupa dengan pemikiran sosialis, terutama dalam hal intervensi negara secara total serta mengakui negara sebagai aktor dominan dalam sistem perekonomian. Namun bedanya dengan paham sosialisme, Keynes mengakui adanya kapitalisme, mengakui adanya kebebasan individu baik dalam kepemilikan kapital maupun dalam mendapatkan uang, serta mengakui adanya pasar bebas. Akan tetapi yang banyak berperan dalam perdagangan adalah negara sebagai the invisible hand dimana negara juga dapat mencapai keuntungan melalui regulasi perdagangan yang dibuat. Sehingga negara dapat meningkatkan sektor perekonomiannya tanpa adanya intervensi dari perusahaan besar. Selain itu dengan terciptanya stabilitas ekonomi maka secara tak langsung juga memajukan sektor mikro ekonomi, sehingga baik kesejahteraan negara maupun rakyat dapat berjalan secara linier.







Souces:
• Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
• Khan, Mohsin S. Evaluating the Effects of IMF-Supported Adjustment Programmes: A Survey dalam Melvin, Michael. 1992. International Money and Finance. New York: HarperCollins Publishers.
• Marty, Alvin L. Money, Financial Repression and Economic Growth. Ibid.
• Phylaktis, Kate dan Pradhan, Mahmood. International Finance and The Less Developed Countries. London:Macmillan Academic and Professional Ltd.

Pengaruh Kebijakan Moneter Pemerintah Terhadap Kekuatan Perusahaan Domestik Di Pasar Global

0 comments
Pada saat ini sistem perekonomian global menganut sistem floating rate dimana nilai tukar mata uang masing-masing negara tergantung pada mekanisme pasar. Oleh karenanya peranan pemerintah sangat krusial dibidang moneter dalam rangka mempertahankan kekuatan mata uangnya di pasar global melalui berbagai kebijakan yang dibuat. Fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi baik didalam maupun diluar negeri turut mempengaruhi kondisi perekonomian suatu negara sehingga pemerintah negara harus benar-benar mempertimbangkan kebijakan yang dibuat, terutama yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan.
Dalam kaitannya dengan bisnis, sistem floating rate merupakan tantangan tersendiri bagi pelaku bisnis. Hal ini dikarenakan fleksibilitas dalam sistem ini menuntut para pelaku untuk menentukan strategi bisnis agar dapat bertahan dari persaingan baik dari sesama perusahaan domestik maupun dari perusahaan asing. Akan tetapi perubahan nilai mata uang dimana merupakan fleksibilitas mekanisme pasar pun masih dapat dikendalikan oleh pemerintah. Sehingga secara tidak langsung kebijakan pemerintah turut mempengaruhi kekuatan perusahaan.
Pada kondisi yang normal, perekonomian suatu negara dipandang kuat bila nilai mata uangnya stabil terhadap pasar global, sehingga tercipta kondisi optimis terhadap peningkatan nilai ekspor barang dan jasa serta penurunan nilai impor. Namun pada kenyataannya nilai mata uang suatu negara selalu mengalami fluktuasi sehingga ketika nilai tukar mata uang tersebut turun maka yang terjadi nilai ekspor menurun sedangkan nilai impor meningkat. Hal ini tentu sangat merugikan baik dari segi pelaku bisnis maupun dari sudut pandang negara asal.
Fluktuasi nilai mata uang suatu negara memiliki resiko yang cukup besar untuk menimbulkan serta mempertinggi tingkat inflasi dikarenakan tidak hanya faktor internal yang mempengaruhi perubahan nilai mata uang tetapi juga kondisi eksternal negara tersebut, terutama apabila negara terebut aktif dalam kegiatan perdagangan lintas negara. Sehingga setiap perubahan yang terjadi di negara lain ikut mempengaruhi potensi ekonominya yang kemudian mempengaruhi kondisi perekonomian negara-negara yang berkaitan dengan nergara tersebut. Apabila terjadi inflasi di negara lain maka negara tersebut pun juga ikut terkena pengaruh. Kekuatan nilai jual mata uang tersebut dapat diprediksi, sebab meskipun mekanisme pasar selalu berubah-ubah akan tetapi terdapat kecenderungan dalam pasar dimana dapat dijadikan landasan dalam menentukan potensi mata uang tersebut. Salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki perekonomian negara adalah dengan melakukan devaluasi, dimana pemerintah dengan sengaja menurunkan nilai mata uang negaranya. Harapannya adalah dengan menurunnya nilai mata uang maka perusahaan-perusahaan terpacu untuk meningkatkan komoditas ekspor mereka. Dengan demikian negara dapat mendapat pemasukan dari kegiatan ekspor impor. Namun kebijakan ini memiliki potensi memperburuk kondisi ekonomi dalam negeri yang disebabkan harga jual produk di pasar domestik cenderung meningkat sehingga daya beli masyarakat cenderung turun.
Akan tetapi kebijakan devaluasi tersebut membuka peluang bagi perusahaan domestik dalam rangka memperkuat posisinya di pasar global. Hal tersebut disebabkan perusahaan dapat memperoleh keuntungan maksimal dengan mempertimbangkan potensi dan sumber daya yang dimiliki. Seperti misalnya pada perusahaan Dell Computer yang diproduksi di Malaysia. Dell Computer mendapatkan seluruh sumber daya yang dibutuhkan dari dalam negeri. Baik dari buruh, tenaga kerja, hingga suplai bahan dasar pembuatan produk didapat dari dalam negeri. Jikalau mendapatkan sumber daya dari luar negeri maka Dell Computer membayarnya dengan Ringgit Malaysia. Dengan kata lain Dell Computer menentukan sumber daya yang mereka butuhkan berdasarkan standar harga lokal. Akan tetapi Dell Computer menjual produk mereka dengan menggunakan standar internasional yakni menggunakan Dollar Amerika Serikat. Oleh sebab itu pada saat Krisis Asia melanda Malaysia pada akhir tahun 1990an, Dell Computer justru mengalami keuntungan besar. Hal tersebut dikarenakan Dell Computer memperoleh pendapatan dari mata uang yang nilainya selalu meningkat sedangkan pengeluaran perusahaan bersandar pada standar mata uang yang nilainya terus mengalami penurunan (anonim. pp.274).
Potensi suatu perusahaan terhadap pasar global salah satunya dapat dilihat dari dominasi produk perusahaan tersebut. Sebab didalam pasar internasional kualitas dan kuantitas merupakan faktor pendorong dalam meningkatkan posisi perusahaan di perdagangan internasional. Sedangkan faktor utamanya adalah brand image dari produk perusahaan tersebut (Thompson, Henry. pp.358). Dalam contoh Dell Computer, mereka memanfaatkan kondisi pasar domestik yang lesu akibat kondisi mata uang domestik yang mengalami penurunan untuk meningkatkan pendapatan mereka. Sehingga ketika perusahaan lain mengalami penurunan pendapatan dikarenakan nilai mata uang lokal negara tersebut mengalami devaluasi maka justru sebaliknya yang terjadi pada Dell Computer. Strategi yang diterapkan Dell Computer pada dasarnya tetap dapat mendatangkan keuntungan bagi mereka, sebab bagaimanapun nilai tukar Ringgit Malaysia lebih rendah jika dibandingkan dengan Dollar Amerika Serikat. Sehingga pada kondisi ekonomi yang stabil pun strategi bisnis Dell Computer tetap dapat mendatangkan keuntungan maksimal tanpa adanya penurunan nilai mata uang.
Dengan pemasukan keuntungan yang optimal produk-produk Dell Computer memiliki peluang untuk mendominasi pasar internasional (ibid. pp.224). Karena ketika perusahaan mendapatkan keuntungan besar maka langkah pertama yang dilakukan selain mengalokasikan dalam bentuk investasi surat berharga adalah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perusahaan tersebut. Dengan menggunakan standar harga jual internasional, kedepannya Dell Computer juga menggunakan standar internasional terhadap kinerja perusahaan dan kualitas produksi mereka.
Setelah meningkatkan kualitas produk mereka serta menambah produksi penjualan, Dell Computer menciptakan image produk mereka sebagai produk internasional meskipun diproduksi di Asia. Media massa berperan penting terhadap pembentukan brand image, dan hal inilah yang sudah dimanfaatkan sejak awal oleh Dell Computer. Dell Computer sudah sejak awal menghapus image produk lokal dengan menggunakan Dollar Amerika Serikat sebagai standar penjualan produk mereka sehingga tidak sulit bagi mereka untuk membentuk image produk internasional. Dengan demikian meski Dell Computer diproduksi di Asia namun memiliki standar internasional.






Sources:
Anonim. International Monetary System.
Thompson, Henry. 2006. International Economics: Global Markets and Competition. 2nd Edition. Singapore: World Scientific Publishing Co.

Dominasi Dollar Amerika dalam Sistem Perhitungan Nilai Tukar Mata Uang dalam Pasar Valuta Asing Pasca Bretton Woods System

0 comments
Abstract:
In post-World War II United States growed as the most powerful, strongest states, especially in economic side. It caused United States is the only country that has extremely financial growth after World War II that called “economic and finance great deppresion era”. That is the reason for much question about why American dollar trusted to be the one, and only, currency that being the main conversion of gold-system. In this era, international economic system well-known as fixed exchange rate system. But in 1971 President Nixon uniterally decided to cancel it. Then international economic system known as floating exchange rate system. This system aims to keep the stability of international economy. But American dollar still being the main currency to assigned other countries’ currency. It is invisibly seen on foreign exchange market when we will exchange country’s currency into American dollar, or even country’s currency into another country’s currency. This condition not only caused by political interest of united States to keep their hegemony internationally. Economically, the power of dollar also influenced by the existence of two of international economic and finance institutions, IMF and World Bank that founded on Bretton Woods System era.

Latar belakang:
Pada tahun 1971 Presiden Nixon melakukan suatu keputusan besar dengan membatalkan secara sepihak mengenai kesepakatan dollar Amerika sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas dimana kemudian nilai tukar mata uang yang lain mengikuti standar nilai tersebut. Peristiwa ini dikenal dengan istilah Nixon Shock, dimana merupakan era berakhirnya Bretton Woods System sebagai sistem nilai tukar internasional. Bretton Woods System dimaksudkan untuk memperbaiki sistem perekonomian dunia yang jatuh akibat Perang Dunia II serta menjaga stabilitas moneter internasional yang pada masa itu mengalami great deppresion. Pada masa pasca Perang Dunia II hanya Amerika Serikat yang kondisi perekonomiannya stabil dan selalu mengalami peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya dollar Amerika Serikat dipercaya sebagai mata uang konversi utama terhadap nilai emas. Bretton Woods System ini merupakan hasil kesepakatan dari 730 delegasi dari 44 negara sekutu yang berkumpul di Hotel Mount Washington di Bretton Woods, New Hampshire, United States dalam rangka Konferensi Moneter dan Keuangan PBB pada bulan Juli 1944 (Cohen, Benjamin. nd). Pada Bretton Woods System dimana dollar Amerika merupakan konversi pertama terhadap emas, pada masa itu emas dianggap sebagai tolak ukur nilai yang bersifat fixed, oleh karenanya nilai tukar mata uang yang lain mengikuti standar nilai dollar terhadap emas. Efek sampingnya, dollar menjadi penyangga utama, dan satu-satunya, keseimbangan perekonomian internasional (Van Dormael, A. 1978). Dengan menjadikan dollar sebagai nilai konversi tertinggi dan paling stabil terhadap nilai emas menjadikan posisi Amerika Serikat sebagai negara superior di dunia. Hegemoni Amerika Serikat ini diperkuat dengan lahirnya tiga badan keuangan internasional yakni IMF, GATT, dan World Bank, dimana berpusat di Washington DC, Amerika Serikat.
Setelah keruntuhan sistem Bretton Woods, sistem ekonomi internasional diganti menjadi floating exchange rate system dimana merupakan gagasan utama Susan Strange dan François Perroux. Pada dasarnya mereka mengutamakan kekuatan finansial sebagai komponen utama penyangga struktur kekuatan baik negara maupun intenasional (Sandretto, René. 2009), oleh karenanya pemikiran mereka selalu berbasis pada stabilisasi ekonomi. Floating exchange rate system secara umum diartikan sebagai sistem perhitungan nilai tukar mata uang masing-masing negara dimana didasarkan pada mekanisme pasar valuta asing. Sistem ini murni berdasarkan pada jumlah permintaan dan penawaran. Menurut Strange sistem inilah yang paling ideal dalam mencapai stabilitas ekonomi secara internasional. Hal ini dikarenakan kecil kemungkinan bagi suatu negara untuk mendominasi maupun menguasai perekonomian dunia. Bahkan suatu negara tidak dapat mengendalikan nilai mata uangnya sendiri dalam pasar valuta asing. Dengan sistem ini, negara dapat meningkatkan volatisitas devisanya. Namun pada beberapa negara, khususnya negara berkembang, sistem ini justru mendatangkan masalah. Hal ini dikarenakan apabila nilai mata uang suatu negara lebih rendah daripada dollar ataupun mata uang negara lain sedangkan liabilitas negara tersebut menggunakan dollar atau mata uang asing dan aset negara dalam bentuk mata uang lokal maka yang terjadi justru instabilitas finansial domestik. Namun kenyataannya hal tersebut tidak menjadi kendala bagi berlangsungnya sistem ini.
Masalah utama dalam floating exchange rate system ini bukan mengenai apa saja keuntungan dan kelebihan dari sistem tersebut, namun apa yang menjadi tolak ukur mekanisme pasar valuta asing. Jika Susan Strange mengatakan bahwa tolak ukur perhitungan nilai suatu mata uang dalam floating exchange rate system adalah berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran mata uang tersebut, maka dapat dipertanyakan terhadap apakah permintaan dan penawaran tersebut? Sebab dalam pasar tidak mungkin salah satu unsur berdiri sendiri, karena pasti ada barang yang menjadi pembandingnya. Seperti istilah “ada uang, ada barang”, dalam pasar pun berlaku sistem yang serupa. Jika ada suatu barang yang dijual, pasti ada harga untuk barang tersebut. Hal tersebut juga berlaku dalam pasar valuta asing, jika ada komoditas yang diperdagangkan pasti ada timbal baik yang senilai. Oleh karenanya jika mata uang tersebut dijual pasti ada mata uang lain sebagai pembanding.
Mata uang pembanding yang dimaksud dalam pasar valuta asing adalah dollar Amerika. Hal ini terlihat dari dua hal. Yang pertama adalah stabilitas nilai dollar terhadap mata uang yang lain. Kisaran nilai dollar terhadap berbagai mata uang negara lain tidak akan berubah secara signifikan. Yang kedua adalah mekanisme penghitungan kurs jual-kurs beli dalam nilai tukar mata uang antar negara non-dollar. Misalnya nilai Rupiah (Indonesia) terhadap Yen (Jepang). Misalnya pada saat ini nilai jual Rupiah terhadap Dollar Amerika adalah Rp 9.000 untuk setiap dollar, dan nilai jual Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 75 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap dollar adalah ¥ 120 untuk setiap dollar. Sebaliknya untuk kurs beli pun juga sama. Jika nilai beli Rupiah terhadap Dollar Amerika adalah Rp 8800 untuk setiap dollar, dan nilai beli Rupiah terhadap Yen Jepang adalah Rp 72 untuk setiap yen. Maka maka nilai beli Yen Jepang terhadap dollar adalah ¥ 121 untuk setiap dollar. Dari perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa nilai mata uang yang diperhitungkan dalam pasar valuta asing adalah nilai mata uang negara tersebut terhadap dollar Amerika.

Rumusan masalah:
Jika tujuan Presiden Nixon melepaskan dollar sebagai konversi pertama terhadap nilai emas, mengapa sampai sekarang pun dollar Amerika masih menjadi tolak ukur nilai tukar mata uang tiap negara dalam bursa valuta asing?


Sources:
Cohen,Benjamin. nd. “Bretton Woods System”. Routledge Encyclopedia of International Political Economy (http://www.polsci.ucsb.edu/faculty/cohen/inpress/bretton.html diakses pada 3 November 2009)
Van Dormael, A. Bretton Woods: Birth of a Monetary System. 1978. London: MacMillan
René Sandretto. 2009. François Perroux, A Precursor Of The Current Analyses Of Power

Etika dalam Penelitian Sosial

0 comments
Pada hakikatnya penelitian sosial dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan suatu masalah atau menjawab suatu pertanyaan atas fenomena yang terjadi. Dalam proses pembuatannya, secara teknis memang diperlukan unsur penelitian ilmiah. Namun dalam pelaksanaannya peneliti dituntut untuk mematuhi kode etik riset ilmiah, baik selama proses pengerjaannya maupun pada penulisan laporan penelitian.
Etika penelitian melibatkan penerapan prinsip-prinsip etik dasar untuk berbagai topik yang melibatkan penelitian ilmiah, termasuk desain dan pelaksanaan penelitian eksperimen yang melibatkan manusia, hewan percobaan, berbagai aspek skandal akademik, termasuk kesalahan ilmiah (seperti penipuan, rekayasa data dan plagiarisme), dan lain sebagainya.
Dalam hal penelitian ilmiah, sejumlah isu utama yang dibahas didalamnya harus termasuk dan tidak terbatas pada 4 aspek, yakni kejujuran, review process, standar etika, serta kepengarangan (Chanson, Hubert. 2007). Aspek kejujuran dan integritas merupakan syarat wajib dari masing-masing peneliti. Dalam aspek review process, peer-review yang memberikan kontribusi untuk proses pengawasan mutu dan ini merupakan langkah penting untuk memastikan berdiri dan orisinalitas dari penelitian. Aspek standar etika meliputi berbagai perbuatan ataupun tindakan moral yang harus dilakukan oleh peneliti. Sedangkan aspek kepengarangan bertujuan untuk mengakui hasil karya orang lain yang tercantum dalam penelitian yang dilakukan olrh peneliti.
Berdasarkan Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia no.: 007/TAP/MWA-UI/2005 tentang etika penelitian bagi setiap anggota sivitas akademika Universitas Indonesia, penelitian sosial harus mempertimbangkan nilai risk/ gain assessment, nilai informed consent, nilai confidencial, nilai beneficial treatment, nilai full compensation, serta nilai informed result selama proses penelitian sosial dilaksanakan.
Pada nilai risk/ gain assessment, peneliti dituntut untuk meminimalisir resiko. Resiko yang diantisipasi dalam riset tidak boleh lebih besar daripada yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Peneliti juga harus mengutamakan keuntungan riset tersebut bagi partisipan, ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Pada nilai informed consent, subjek yang menjadi partisipan penelitian harus secara sukarela dan diijinkan keluar kapan saja tanpa sanksi. Sebelumnya peneliti wajib untuk memberitahu tentang semua aspek penelitian yang dapat mempengaruhi keinginan partisipan untuk bekerja sama.
Pada nilai confidencial, informasi yang diperoleh selama penelitian tentang subjek penelitian harus dirahasiakan. Informasi tersebut tidak boleh diberitahukan kepada orang lain tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Pada nilai beneficial treatment, setiap subjek berhak mendapatkan keuntungan yang sama dari setiap perlakuan yang menguntungkan yang berikan kepada partisipan lain dalam proyek penelitian.
Pada nilai full compensation, setiap subjek berhak mendapatkan kompensasi penuh atas waktu dan usahanya sebagai partisipan penelitian, meskipun mereka mengundurkan diri ataupun tidak menyelesaikan secara lengkap partisipasinya.
Pada nilai informed result, setiap subjek berhak mengetahui informasi tentang hasil penelitian. apabila subjek penelitian tersebut terlalu muda, maka informasi tersebut disampaikan pada orangtua subjek.
Basis Susilo dalam buku Metode Penelitian Sosial (2008. 243-244) mengutarakan bahwa dalam penulisan laporan penelitian peneliti harus memperhatikan 7 nilai utama. Pertama, membedakan antara laporan hasil penelitian dengan proposal penelitian. Kesalahan yang umum terjadi adalah penggunaan kata “akan” pada laporan penelitian. Padahal kata “akan” seharusnya hanya ditulis pada proposal penelitian, dan tidak menjadikan proposal penelitian tersebut sebagai pendahuluan laporan penelitian. Kedua, menjelaskan unsur penelitian yang telah dilakukan secara jujur dan objektif. Peneliti tidak dianjurkan untuk melaporkan sesuatu yang tidak ada dalam penelitiannya. Unsur yang dilaporkan seharusnya tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi, apalagi manipulasi data untuk mendukung hipotesisnya.
Ketiga, menngunakan tata bahasa yang lugas. Setiap instrumen kalimat yang ada dalam laporan penelitian, seperti tanda baca, paragraf, huruf dan angka harus dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan kata-kata serta penyusunan kalimat harus jelas artinya. Tujuannya adalah agar tidak terjadi konotasi, metafora, multiinterpretasi maupun ambiguitas. Peneliti juga harus menghindari penghalusan makna (euphemisme) ataupun pengerasan makna (puffery). Keempat, menggunakan teknik penulisan yang singkat dan jelas. Peneliti harus menghindari pengulangan data, informasi, atau kutipan apabila tidak diperlukan atau apabila dapat mengurangi kejelasan makna kata atau kalimat.
Kelima, ketaatan pada asumsi dasar, kerangka teoretis, dan jangkauan penelitian yang telah ditentukan. Keenam, dapat diteliti ulang oleh peneliti lain. Sehingga apabila penelitian tersebut diteliti ulang dengan kerangka teoretis dan metode yang sama harus ditemukan data yang sama. Ketujuh, konsistensi terhadap cara penulisan yang baku dan diakui oleh semua pihak.



Sources:
• Chanson Hubert. 2007. Research Quality, Publications and Impact in Civil Engineering into the 21st Century. Publish or Perish, Commercial versus Open Access, Internet versus Libraries ?. Ottawa: Canadian Journal of Civil Engineering, NRC, Vol. 34, No. 8, pp. 946-951 (DOI:10.1169/L07-027)
• Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia No.: 007/TAP/MWA-UI/2005 Tentang Etika Penelitian Bagi Setiap Anggota Sivitas Akademika Universitas Indonesia
• Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2008. Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta: Kencana

Metodologi dalam Penelitian Ilmiah

0 comments
Manusia dalam peranannya sebagai makhluk sosial dihadapkan pada kompleksitas dinamika perubahan sosial. Karena perubahan tersebut tidak bersifat statis melainkan selalu berkembang maka manusia pun dituntut untuk cepat menyesuaikan diri. Perubahan yang terjadi tidak dapat diprediksi, dan manusia memiliki rasa ingin tahu yang amat besar untuk memperoleh pengetahuan baru mengenai gejala sosial. Manusia tidak pernah merasa puas dengan gejala sosial yang ada. Untuk memperoleh jawaban dari keingintahuan tersebut, orang perlu melakukan kegiatan yang menggunakan metode yang diakui secara keilmuan. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong manusia dalam melakukan riset (penelitian) mengenai gejala sosial.
Penelitian, atau riset, berasal dari kata bahasa Inggris “research” yang terdiri dari re artinya ulang dan search artinya mencari. Jadi, research atau penelitian itu adalah kegiatan mencari ulang, mengungkapkan kembali gejala, kenyataan yang sudah ada untuk direkonstruksi dan diberi arti guna memperoleh kebenaran yang dimasalahkan. Ungkapan kembali itu didasari oleh keingintahuan tentang keadaan gejala sosial yang dijadikan masalah. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian/riset sosial merupakan proses kegiatan mengungkapkan secara logis, sistematis, dan metodis gejala sosial yang terjadi di sekitar kita untuk direkonstruksi guna mengungkapkan kebenaran bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan ilmu pengetahuan. Kebenaran dimaksud adalah keteraturan yang menciptakan keamanan, ketertiban, keseimbangan, dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai kegiatan ilmiah, penelitian sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Dirdjosisworo, Soedjono.1998.pp.5) :
1. Sistematis artinya bahasan tersusun secara teratur, berurutan menurut sistem.
2. Logis artinya sesuai dengan logika, masuk akal, benar menurut penanalaran
3. Empiris artinya diperoleh dari pengalaman, penemuan, pengamatan.
4. Metodis artinya berdasarkan metode yang kebenarannya diakui oleh penalaran.
5. Umum artinya menggeneralisasi, meliputi keseluruhan tidak menyangkut yang khusus
  saja.
6. Akumulatif artinya bertambah terus, makin berkembang, dinamis.
Dalam proses riset/ penelitian sosial dibutuhkan metodologi penelitian sosial. Metodologi berasal dari kata metode, yang berarti prinsip untuk menuntun jalannya penelitian. Jadi metodologi merupakan suatu upaya yang sistematis dalam penelitian sosial untuk mengelompokkan prinsip dasar penelitian. Termasuk di dalamnya adalah kaidah dan teknik untuk memuaskan keingintahuan peneliti pada suatu gejala sosial, atau cara untuk menemukan kebenaran dalam memperoleh pengetahuan baru. Dalam penelitian sosial, metodologi berfungsi sebagai :
• Mengelompokkan dasar pemikiran dalam riset
• Membantu menentukan fokus penelitian sehingga tidak keluar jalur
• Mengumpulkan prinsip-prinsip yang objektif dan acceptable
• Menggunakan logical thinking baik secara deduktif (dari observasi spesifik ke hipotesis yang lebih general) maupun induktif (dari teori dasar ke hasil riset yang lebih spesifik)
Berdasarkan buku Pengantar Penelitian Hukum milik Soerjono Soekanto (1986.pp50), penelitian sosial dapat dibedakan menjadi tiga, yakni penelitian eksploratori, penelitian deskriptif, serta penelitian eksplanatori.
Penelitian eksploratori bersifat mendasar dan bertujuan untuk memperoleh keterangan, informasi, data mengenai hal-hal yang belum diketahui. Karena bersifat mendasar, penelitian ini disebut penjelajahan (exploration). Penelitian eksploratori dilakukan apabila peneliti belum memperoleh data awal sehingga belum mempunyai gambaran sama sekali mengenai hal yang akan diteliti. Penelitian eksploratori tidak memerlukan hipotesis atau teori tertentu. Peneliti hanya menyiapkan beberapa pertanyaan sebagai penuntun untuk memperoleh data primer berupa keterangan, informasi, sebagai data awal yang diperlukan. Metode pengumpulan data primer yang digunakan adalah observasi di lokasi penelitian dan wawancara dengan responden. Mereka yang dapat dijadikan responden adalah tokoh masyarakat setempat, pejabat pemerintah daerah setempat, anggota kelompok masyarakat tertentu, semuanya yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian eksploratori.
Penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskripsi) lengkap tentang keberadaan komunitas tertentu yang berdiam di tempat tertentu, atau mengenai gejala sosial tertentu, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Pada penelitian tipe ini, peneliti biasanya sudah memperoleh data awal atau mempunyai pengetahuan awal tentang masalah yang akan diteliti. Pada penelitian deskriptif, seorang peneliti sudah biasa menggunakan teori atau hipotesis.
Penelitian eksplanatori bersifat penjelasan dan bertujuan untuk menguji suatu teori atau hipotesis guna memperkuat atau bahkan menolak teori atau hipotesis hasil penelitian yang sudah ada.
Dalam penelitian sosial terdapat unsur-unsur pendukungnya, antara lain konsep, landasan teori, hipotesis, proposisi, dan variabel.
• Konsep
Konsep merupakan sekumpulan ide, gagasan, hasil abstrak dari realitas empiris dimana menggambarkan suatu himpunan gejala tertentu yang dikelompokkan/ dikategorikan ke dalam suatu kesatuan karena kesamaan ciri tertentu.
Fungsi Konsep :
1. Fungsi kognitif yaitu mengorganisasi observasi dan menata hasilnya (fungsi menata)
2. Fungsi evaluatif yaitu mengevaluasi apa yang telah dipersepsi
3. Fungsi Operasional (pragmatis) yaitu mengendalikan dan mengarahkan perilaku individu
4. Fungsi Komunikasi, artinya konsep harus memungkinkan komunikasi.
• Landasan Teori
Teori merupakan seperangkat proposisi yang menggambarkan mengapa suatu gejala terjadi seperti itu. Proposisi-proposisi yang dikandung dan yang membentuk teori terdiri dari beberapa konsep yang terjalin dalam hubungan sebab akibat. Teori adalah serangkaian konsep dalam bentuk propisisi-proposisi yang saling berkaitan, bertujuan memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu gejala. Gambaran yang sistematis itu dijabarkan dengan menghubungkan suatu konsep dengan konsep yang lain dalam satu proposisi dan menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi yang lain.
Fungsi teori :
o Menjelaskan suatu gejala yang muncul dan menggambarkan realitas dunia sebagaimana yang dapat diobservasi.  fungsi eksplanasi
o Memperkirakan gejala yang bakal terjadi.  fungsi prediksi
• Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Hipotesis ilmiah mencoba mengutarakan jawaban sementara terhadap problema. Hipotesis menjadi teruji apabila semua gejala yang timbul tidak bertentangan dengan hipotesis tersebut. Dalam upaya pembuktian hipotesis, peneliti dapat saja dengan sengaja menimbulkan/ menciptakan suatu gejala. Kesengajaan ini disebut percobaan atau eksperimen. Hipotesis yang telah teruji kebenarannya disebut teori.
• Proposisi
Proposisi adalah suatu statemen mengenai ihwal suatu realitas. Karena mengenai ihwal suatu realitas, dan tidak mengenai nilai atau pendapat ideal, maka proposisi dapat dikaji dan diuji betul atau salahnya. Syarat proposisi adalah menunjuk atau bersangkut paut dengan gejala yang dapat diamati.
Ada dua macam proposisi :
1. Hipotesis  proposisi yang dirumuskan untuk diuji kebenarannya secara empirik
2. Tesis  proposisi yang memiliki ruang lingkup yang cukup luas dan yang telah dibenarkan oleh suatu pengujian secara empirik dan cermat
Pembedaan proposisi atas dasar jumlah konsep atau variabel yang digunakan dibedakan menjadi:
o Proposisi deskriptif merupakan proposisi yang berisikan satu konsep/variabel
o Proposisi relasional (ekspalanatif) merupakan proposisi yang berisikan dua atau lebih konsep/variabel.
• Variabel
Variabel adalah konsep yang memiliki dua atau lebih variasi nilai. Variabel dibentuk dengan melakukan pengelompokan beberapa atribut yang logis dari dua/lebih atribut.
Cara menyeleksi topik untuk penelitian sosial (Neuman, W Lawrence, 2000) :
1. Personal experience (pengalaman pribadi)
2. Curiosity based on something in the media (keingintahuan yang didasarkan pada sesuatu di media)
3. The state of knowledge in a field (pengetahuan di lapangan)
4. Solving a problem (penyelesaian suatu masalah)
5. Social premiums (hadiah social)
6. Personal Value (nilai pribadi)
7. Everyday life (kehidupan sehari-hari)
Sumber awal untuk memperoleh tema/topic mengenai suatu permasalahan/isu penelitian, yaitu (Manasse Malo, 1985) :
1. Diri sendiri  mendasarkan pada pengetahuan dari pengalaman atau pengamatan diri sendiri terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan permalsahan penelitian
2. Orang lain  mendasarkan pada pengetahuan dari pengalaman atau pengamatan orang lain terhadap sesuatu hal yang dapat dijadikan permalsahan penelitian)
3. Karangan ilmiah  dengan membaca secara kritis berbagai tulisan atau karangan ilmiah, maupun laporan hasil penelitian mengenai hal yang dapat dijadikan focus perhatian penelitian.











Sources:
Dirdjosisworo, Soedjono. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Penerbit Rajawali. Jakarta.
Malo, Manasse. 1985. Metode Penelitian Sosial. Karunika. Jakarta.
Neuman, W Lawrence. 2000. Basics of Social Research: Quantitative and Qualitative Approaches. Allin and Bacon. Toronto.
Neuman, W Lawrence. 2000. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Allin and Bacon. Toronto.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Interest Group in America and Its Influences to US Foreign Policy

0 comments
According to Thomas Ambrosio (2002), interest group in America is a domestic interest group which seeks to directly or indirectly influences their government's foreign policy. According to Tabib Huseynov in his journal Influencing American Foreign Policy: A Case on Ethnic versus National Interests that published in 2003, interest group in America understood as an ethnic group which have fully authority in America’s foreign policy. In this case, ethnic group is an ethnicity that becomes dominant in America political life.

Ethnicity is an influential element in contemporary American domestic politics and in foreign politics as well. Some powerful ethnic interest groups, like Jewish, Greek, Armenian etc., have gained a lot of influence in American domestic affairs and increasingly tried to exert more and more influence on the foreign policies, which deal with their country or place of origin.
From its beginning, U.S. society has been a multicultural society of people with different origins and backgrounds. Therefore, it is natural that in a number of cases these ethnic groups sought to influence American policies toward their country or place of origin. As Tony Smith writes on his book Foreign Attachments: The Power of Ethnic Groups in the Making of American Foreign Policy. 2000, “it is not only the social character of America as a nation of immigrants that makes for the prominent role ethnic actors play in foreign policy deliberations; it is also the structure of American democracy that allows ethnic communities, and much wider range of civic interest groups in general, access to policymaking”. As it will be seen below, the factors that allow various interest groups, including ethnic ones, to influence the U.S. policymaking lie namely on the nature of the wider state-society relations and the country's political and party organization.
It is generally accepted that the U.S. has a largely decentralized policy-making structure. The U.S. founding fathers have built the U.S. political system based on the principle of 'checks and balances'. This democratic principle provided separate branches of government with powers to oversee the actions of the other, thus preventing any one from becoming too powerful. This principle of 'checks and balances' enshrined in the U.S. Constitution provides large freedom of action for the activity of various interest groups.
Another factor that greatly enforces the role of social forces in American foreign policymaking is the specific system of political party organization. As Smith indicates, “because the Congress and the President can be of the same mind or the same party, it is conceivable that the institutional struggle built into politics by the Constitution might not occur and thus, the government would enjoy relative autonomy in the face of social pressures”. Therefore, the party system has been built, in which the public officials are not named by the party but nominated through primaries, whose results are decided by local electorates. The consequence of such party discipline is that in practice public officials may well be as responsive to their constituents as to their party leadership. Moreover, Smith notes that given that the Congress is also a decentralized entity, even civic interests operating on a small social base may find their concerns being reflected in legislation. Thus, the U.S. is usually characterized as a typical ‘weak state’ because of its federalist structure, the system of checks and balances between Congress and administration, and the extensive network of group representation.
Who Is The Interest Group?
Many scholars from neo-liberal approach to international politics emphasize the decisive influence of organized interest groups on foreign policy (Keohane, 1984). The assumption is that foreign policy is a function of shifting coalitions of multiple and competing political and societal actors. Executive and legislative officials with foreign policy authority bargain with domestic groups that use their members’ votes, campaign contributions, threatened or actual capital flight, labor strikes, and other tools to affect the electoral benefits and costs to elected officials of choosing alternative policies (Gourevitch, 1986; Milner, 1988; Rogowski, 1989; Frieden, 1991).

Epistemic communities exist outside formal government institutions and are drawn from professionals and experts in the academy, think tanks, and other bodies of highly trained specialists in subjects as diverse as economic theory and military technology. These specialists provide critical technical expertise for government officials in the legislative and executive branches to define problems and help form their preferences regarding particular policies.

Research on epistemic communities has two important implications. First, it suggests that experts equip government officials to conduct analyses and reach decisions that can be independent of direct pressures from organized groups or citizens. The scholarship on epistemic communities predicts, then, that business and labor exert at best modest direct influence upon the foreign policy decisions of government officials. Second, epistemic communities may serve as concrete mechanisms for identifying and addressing a state’s objective interests, in the complex global power struggles that classical and structural realists emphasize

By the median voter theory, it assumed that public opinion have the most impact on highly salient issues that draw intense attention from the media and voters and thereby pose the most direct threat of electoral punishment for unresponsiveness. In other way it means that mass media has powerful influence to foreign policy.

Tactics
Interest groups, according to John Dietrich on his book: Interest Groups and Foreign Policy: Clinton and China MFN Debates. 1999., are able to have “an impact on the earlier stages of the decision- making process” via the following three general, yet effective, tactics:

Framing the issues
Ambrosio describes framing as “the attempt by interest groups to place an issue on the government's agenda, shape perspectives of that issue, and influence the terms of debate”.

Offering information and analysis
Framing is closely connected to with supplying information and analysis, according to Ambrosio, because of “the large number and diversity of issues confronting (the staff of an elected representative), it is impossible for staffers to invest sufficient time to research issues themselves. Consequently, they are forced to rely on outside sources of information; interest groups provide this information, most likely with analysis (or “spin”) beneficial to their agenda”.

Monitoring the policy process and reacting as necessary
In addition to framing, supplying information and analysis, Ambrosio states that “interest groups closely monitor government policies pertaining to their agenda and react to those policies through” such actions as:
• The dissemination of supplementary information,
• Letter-writing campaigns,
• Calls for hearings or additional legislation,
• Support or opposition of candidates during elections



Sources:
• Ambrosio, Thomas. 2002. Ethnic identity groups and U.S. foreign policy. Praeger Publishers. ISBN 0275975339
• Ahrari, Mohammed E. 1987. Ethnic Groups and U.S. Foreign Policy. Greenwood Press. ISBN 0-313-25412-5
• Said, Abdul Aziz. 1981. Ethnicity and U.S. Foreign Policy. Praeger Publishers. ISBN 0-275-90716-3
• Huseynov, Tabib. 2003. Influencing American Foreign Policy: A Case on Ethnic versus National Interests. ISSN: 1303 – 9814. [Online] issue 5. June 2003. Cited from http://www.stradigma.com [accessed on April 28, 2009]
• Jacobs, Lawrence and Page, Benjamin. n.d. Who Influences U.S. Foreign Policy Over Time? Cited from http://www.springerlink.com [accessed on April 28, 2009]

Bergdorf Blondes by Plum Sykes

0 comments
Judul Buku : Bergdorf Blondes (Judul Terjemahan : Cewek-Cewek Bergdorf)
Pengarang : Plum Sykes
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 424 halaman


Novel ini bercerita tentang perjalan hidup karakter utama yang oleh si pengarang tidak diberi nama karakter. Dia menyebutnya moi yang dalam bahasa Perancis berarti “aku”. Si tokoh utama ini digambarkan memiliki sedikit kemampuan berbahasa Perancis yang selalu menggunakan satu-dua kata dalam bahasa Perancis dalam setiap kalimatnya. Si karakter utama ini bekerja sebagai penulis artikel salah satu majalah mode. Dia tinggal di Park Avenue, Manhattan, kawasan elite di New York City. Dia hidup dikelilingi oleh kehidupan para sosialita beserta gaya hidup glamornya. Dia berteman akrab dengan Julie Bergdorf, ahli waris Bergdorf Department Store, departemen store paling bergengsi di New York. Julie adalah ikon cewek Park Avenue yang paling chic. Gaya hidup yang super glamor, bentuk tubuh yang super kurus (di kalangan sosialita, anoreksia adalah hal yang paling seksi dan keren), kulit cokelat sempurna hasil tanning, bukan fake baked, di Salon Portofino, rambut pirang hasil highlight yang dikerjakan oleh Ariette di Bergdorf deptstore tepat setiap tiga belas hari.
Gaya hidup para cewek Manhattan ini, termasuk si moi, benar-benar beyond, bahkan tidak sempat dibayangkan oleh orang kebanyakan. Semua barang yang mereka dapatkan tidak hanya membutuhkan lembar dollar yang tebal, tetapi juga sangat mustahil untuk dicapai oleh orang-orang diluar komunitas mereka karena para sosialita selalu memiliki koneksi pribadi dengan salon, dermatologis, serta pakar kecantikan terbaik di New York. Belum lagi gaun-gaun gratis dari beberapa rumah mode kenamaan yang mereka dapat, dimana jika orang lain harus membayar mahal untuk itu. Kehidupan pribadi mereka juga tidak jauh-jauh dari pesta-ke-pesta tiap malam. Memiliki tunangan adalah hal yang glamor, sehingga dalam setiap pesta salah satu tangan mereka pasti menggandeng tangan tunangan mereka, dan tangan yang satu lagi memegang tas tangan. Dan jika mereka datang tanpa salah satu dari kedua benda tersebut (begitu mereka menyebutnya) atau bahkan keduanya, meski sedang memakai gaun paling mutakhir dari perancang busana terkenal, mereka akan merasa seperti ditelanjangi.
Pemikiran para cewek sosialita ini pun sangat dangkal, terutama mengenai cinta dan pasangan. Bagi mereka, cinta hanya sebesar dan semurni berlian yang menempel di cincin pertunangan mereka. Sebakin besar dan semakin murni merlian mereka, maka cinta pasangan mereka juga sebesar itu. Kriteria dalam memilih pasangan juga tak jauh berbeda dengan waiting list tas tangan. Semakin berkualitas (baik cowok maupun tas tangan) maka waiting listnya pun semakin lama dan harga yang harus ditebus pun semakin mahal. Belum lagi bila kemudian ada cewek lain yang “menyerobot antrian” maka cetiap saat mereka harus tetap waspada.
Namun semua pemikiran ini sama sekali tidak disetujui oleh si moi. Dia sangat menjunjung tinggi makna cinta, meski dengan cara yang kekanak-kanakan. Si moi menilai kebaikan pria-pria di sekitarnya secara naif. Karena itu tidak heran jika pria-pria tersebut datyang dan pergi dalam hidupnya. Oleh karenanya sepanjang novel ini menceritakan perjuangan si moi dalam mencari cinta sejati. Pengalaman berpacarannya yang tidak sebanyak teman-temannya, keterpurukannya ketika ditinggalkan oleh pacarnya yang ternyata belakangan diketahui hang out dengan model. Belum lagi ketika dia bertemu dengan cowok yang ternyata cinta sejatinya di waktu yang salah.
Sepanjang novel ini mendeskripsikan secara total, mungin, kehidupan pribadi kaum sosialita di New York yang bergelimang barang-barang mahal dan limited edition dimana mereka dengan mudah mendapatkannya sedangkan orang lain bahkan belum sempat meliriknya. Novel ini seperti menggambarkan kehidupan sosialita ala Paris Hilton atau Kim Kadarshian yang kehidupannya tidak jauh dari pesta-pesta glamor tiap malam. Mengapa saya bilang pesta-pesta, bukan hanya dengan satu kata? Karena mereka sering mendatangi lebih dari satu acara dalam satu malam dan mereka terbiasa dengan kondisi yang “mengharuskan” mereka seperti demikian. Salah satu bagian dari novel ini juga menjelaskan beberapa hal yang membedakan para sosialita New York dengan kalangan jet-setter Los Angeles.
Ide cerita novel ini mungkin tidak jauh berbeda dengan latar belakang kehidupan si pengarang sendiri. Dalam cover belakang novel ini dijelaskan bahwa Plum Sykes merupakan seorang akademisi lulusan Oxford yang bekerja sebagai kontributor majalah Vogue dan Vanity Fair, majalah mode di New York. Dia tinggal di New York dan menulis tentang mode dan sosialita. Latar belakang si pengarang tersebut nyaris sama dengan latar belakang karakter utama dalam novel ini, kecuali kampus tempat si karakter utama pernah belajar. Banyak hal yang membuat saya sangat menyukai novel ini. Yang pertama adalah sifat si karakter utama. Sepintas penggambaran si moi ini tidak jauh berbeda dengan para sosialita di sekitarmya, yakni cenderung pragmatis dan bodoh. Namun setelah diperhatikan lebih lanjut, ternyata si moi merupakan sosok yang naif, sederhana dan apa adanya. Yang kedua adalah plot komplikatif sebelum bagian akhir yang lumayan seru serta banyak kejadian-kejadian menarik didalamnya. Dan yang ketiga adalah cara pengemasan cerita yang menarik. Sykes menggambarkan tidak hanya segi glamor dan sisi sinis para cewek sosialita tetapi juga hal-hal menggelikan dan kekanakan dari mereka.