Liberalisme
Fokus utama teori liberalisme adalah individu. Fokus analisis teori ini adalah individu dan kolektifitasnya: negara, perusahaan, organisasi, asosiasi dan sebagainya (Viotti&Kauppi 1999, 7). Kaum liberalis dengan tegas mengungkapkan bahwa dalam masalah internasional terdapat baik konflik maupun kerjasama. Teori ini muncul setelah Perang Dunia I dimana muncul sebagai bentuk kritik dari realitas bahwa negara tidak dapat mengontrol perang dalam hubungan internasional mereka. Bagi kaum liberalis, hubungan internasional akan lebih menguntungkan apabila masing-masing negara mengadakan relasi mutualisme dan saling bekerja sama serta memberi penekanan bahwa perang merupakan solusi yang destruktif dalam hubungan internasional dan tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menguntungkan siapa-siapa.
Salah satu alasan munculnya teori liberalisme adalah sebagai bentuk kontra dari teori realisme. Apabila teori realisme memandang pesimis negatif terhadap human nature yang dianggap sebagai sesuatu yang destruktif, maka liberalisme memandang human nature secara positif optimis (Sorensen&Jackson 1999, 59). Kaum liberal sangat yakin terhadap akal pikiran manusia dan prinsip-prinsip rasional dapat diimplikasikan pada masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu memiliki ego yang tinggi serta rasa persaingan satu sama lain. Konflik dan perang tak terhindarkan. Akan tetapi tiap individu dapat menggunakan akal pikiran mereka untuk mencapai kerja sama yang saling menguntungkan. Kaum liberalis kemudian yakin bahwa akal pikiran manusia dapat mengalahkan ketakutan manusia dan hasrat akan kekuasaan. Kaum liberalis menyadari akan adanya hambatan dalam proses perkembangan manusia. Namun mereka yakin akan adanya kerjasama yang didasarkan pada hubungan timbal balik yang dikarenakan modernisasi yang meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan bagi kerja sama.
Asumsi dasar realisme adalah kemajuan manusia, akal pikiran manusia, dan kerja sama (ibid., 58). Tiga aspek tersebut kemudian mengarah pada proses modernisasi. Salah satu scholar liberalis, Hans Kochler¸ mengutarakan bahwa dasar legitimasi hukum internasional adalah hak-hak asasi manusia. Hal inilah yang kemudian mendasari konsep demokrasi yang menjadi “tujuan hidup” kaum idealis.
Teori libaralisme mengungkapkan bahwa preferensi negara, lebih daripada kapabilitas negara, merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku negara. Tidak seperti pandangan realisme yang memandang negara sebagai satu-satunya aktor, liberalisme mengakui adanya pluralitas dalam tiap tindakan negara, seperti misalnya aktor-aktor non negara yang dapat berjalan sendiri namum tetap tunduk pada kebijakan negara. Preferensi negara berbeda-beda satu sama lain,. Tergantung faktor budaya, sistem ekonomi atau tipe pemerintahan negara tersebut. Teori liberalisme juga mengemukakan bahwa interaksi antar negara tidak terbatas pada konteks politik atau keamanan (high politics) saja, tetapi juga pada konteks ekonomi dan kultural (low politics) baik antar perusahaan komersial, organisasi, maupun individu. Liberalisme mengedepankan asumsi bahwa dalam hubungan internasional antar negara memiliki banyak kesempatan untuk mengadakan kerja sama serta adanya hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Karena itulah kaum liberalis sangat optimis akan terciptanya perdamaian dunia. Optimisme kaum liberal tersebut sangat berkaitan dengan kebangkitan negara modern. Karena modernisasi dapat diartikan sebagai kemajuan dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk hubungan internasional.
Berdasarkan pemikiran liberalis, kondisi damai tercipta bukan melalui indikator tidak adanya perang secara fisik. Sebab Perang Dingin pun juga disebut perang meskipun tidak terjadi kontak secara fisik. Kondisi damai yang dimaksud oleh kaum liberalis adalah kondisi dimana sistem pemerintahan dunia terbentuk dalam konstruksi multipolar. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya sistem multipolar maka keunggulan masing-masing negara hanya ada pada satu aspek sehingga kemudian terjadi hubungan interdependensi antar negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kepentingannya.
Pasca Perang Dunia 2, teori liberalisme terbagi menjadi empat teori utama yaitu liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional dan liberalisme republikan (Burchill 2005). Dalam liberalisme sosiologis dicetuskan oleh Richard Rosecrance dimana hubungan internasional tidak hanya mempelajari tentang hubungan antar pemerintah tetapi juga hubungan antara individu, organisasi dan masyarakat swasta. Hubungan antar rakyat lebih kooperatif daripada hubungan antar pemerintah. Jaringan transnasional juga semakin berkembang dimana merupakan dampak dari bermunculannya korporasi transnasional yang juga turut memberikan pengaruhnya pada hubungan internasional.
Pada liberalisme interdependensi, relasi interdependensi antar negara semaakiin meningkat yang merupakan dampak dari modernisasi. Aktor-aktor transnasional juga semakin diperhitungkan eksistensinya dalam hubungan internasional. Militer, sebagai salah satu instrumen pembentuk power suatu negara pada perspektif realisme, kurang diperhitungkan dalam hubungan internasional. Tujuan utama negara dan dunai saat ini tidak lagi soal keamanan tetapi mengenai kesejahteraan. Sehingga isu-isu ekonomi dan sosial menjadi isu utama.
Liberalisme institusional mengadopsi pemikiran Woodrow Wilson dimana hubungan internasional tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah tetapi juga institusi internasional, baik organisasi yang terstruktur maupun asosiasi yang dapat memajukan hubungan kerjasama antar negara. Peranan institusi dalam hubungan internasional antara lain mengurangi masalah yang timbul akibat tidak adanya kepercayaan antar negara serta menguangi ketakutan satu negara terhdap negara lain. Liberalisme republikan merupakan suatu kondisi dan situasi internasional dimana negara demokrasi tidak saling berperang karena memiliki budaya domeatik atas penyelesaian konflik secara damai yang mengutamakan nilai moral dan hubungan kerjasama di bidang ekonomi dan relasi interdependensi yang saling menguntungkan.
Neoliberal
Perspektif neoliberal berkembang pada era pasca Perang Dingin diimana mengadopsi nilai teori realis klasik dengan penyempurnaan melalui pendekatan behavioralis. Kaum neoliberalis mengkritisi pandangan kaum liberalis klasik bahwa anarki tidak dapat dihilangkan dari sistem internasional dan karena itu optimisme kaum liberal tidak terjamin karena terlihat terlalu utopis. Sepanjang anarki berjalan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari menolong diri sendiri dan dilema keamanan. Selain itu, kaum neoliberalis menolak pandangan optimis kaum liberalis klasik terhadap basic human nature karena pada kenyataanya tidak semua manusia bersifat baik. Akan tetapi neoliberalisme tidak fokus pada basic human nature tetapi lebih kepada upaya dan tindakan manusia untuk mencapai perdamaian. Perang bisa saja terjadi kapan saja, tetapi juga bisa dihindari dengan mengadakan interaksi mutualisme antar aktornya dan terdapat organisasi internasional sebagai mediator serta payung bagi kepentingan masing-masing aktor dalam rangka mencapai perdamaian dunia.
Kritik terhadap Liberalisme dan Neoliberalisme
Kaum liberalis kurang dipersiapkan untuk menghadapi masa ketiadaan kemajuan. Teori liberal memiliki kesulitan untuk menangani kasus semacam ketiadaan pembangunan dan kehancuran negara-negara dunia ketiga karena secara fundamental teori liberal didasarkan pada konsep modernisasi yang tidak dapat diubah. Kaum liberal juga mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai modernisasi dan perubahan, level keamanan dalam perdamaian demokratis, hubungan yang tepat antara aktor-aktor liberal dalam hubungan internasional. Hal ini dikarenakan kaum liberal mencoba menteorisasi perubahan sejarah yang bersifat kompleks, dinamis, dan terbuka. Dengan demikian timbul ketidakpastian dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaan konflik.
Penekanan perspektif neoliberalisme mengenai adanya kerjasama antar aktor serta adanya organisasi internasional sebagai mediator dan payung kepentingan seluruh aktor bisa jadi hanya mengusung kepentingan beberapa negara saja. Semangat yang diusung oleh organisasi tersebut bisa jadi bukan merupakan representasi dari seluruh aktor yang tergabung didalamnya tetapi merupakan representasi dari kepentingan salah satu atau beberapa negara hegemon didalamnya. Fungsi mediator pun bisa jadi tidak berjalan lancar apabila organisasi internasional tersebut tidak bersifat netral. Sangat besar kemungkinan terjadinya kondisi dimana negara hegemon mengeksploitasi negara non-hegemon. Karenanya diperlukan polisi internasional dimana merupakan negara kuat non-hegemon untuk menjaga stabilitas hubungan internasional.
Sources:
Burchill,Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd Edition. New York: St.Martin Press.Inc.
Griffith, Martin. 1999. 50 Key Thinker of International Relations.
Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Viotti, Paul R. and Kauppi, Mark V. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. 3rd Edition. Boston: Allyn and Bacon
Fokus utama teori liberalisme adalah individu. Fokus analisis teori ini adalah individu dan kolektifitasnya: negara, perusahaan, organisasi, asosiasi dan sebagainya (Viotti&Kauppi 1999, 7). Kaum liberalis dengan tegas mengungkapkan bahwa dalam masalah internasional terdapat baik konflik maupun kerjasama. Teori ini muncul setelah Perang Dunia I dimana muncul sebagai bentuk kritik dari realitas bahwa negara tidak dapat mengontrol perang dalam hubungan internasional mereka. Bagi kaum liberalis, hubungan internasional akan lebih menguntungkan apabila masing-masing negara mengadakan relasi mutualisme dan saling bekerja sama serta memberi penekanan bahwa perang merupakan solusi yang destruktif dalam hubungan internasional dan tidak menghasilkan apa-apa dan tidak menguntungkan siapa-siapa.
Salah satu alasan munculnya teori liberalisme adalah sebagai bentuk kontra dari teori realisme. Apabila teori realisme memandang pesimis negatif terhadap human nature yang dianggap sebagai sesuatu yang destruktif, maka liberalisme memandang human nature secara positif optimis (Sorensen&Jackson 1999, 59). Kaum liberal sangat yakin terhadap akal pikiran manusia dan prinsip-prinsip rasional dapat diimplikasikan pada masalah internasional. Kaum liberal mengakui bahwa individu memiliki ego yang tinggi serta rasa persaingan satu sama lain. Konflik dan perang tak terhindarkan. Akan tetapi tiap individu dapat menggunakan akal pikiran mereka untuk mencapai kerja sama yang saling menguntungkan. Kaum liberalis kemudian yakin bahwa akal pikiran manusia dapat mengalahkan ketakutan manusia dan hasrat akan kekuasaan. Kaum liberalis menyadari akan adanya hambatan dalam proses perkembangan manusia. Namun mereka yakin akan adanya kerjasama yang didasarkan pada hubungan timbal balik yang dikarenakan modernisasi yang meningkatkan ruang lingkup dan kebutuhan bagi kerja sama.
Asumsi dasar realisme adalah kemajuan manusia, akal pikiran manusia, dan kerja sama (ibid., 58). Tiga aspek tersebut kemudian mengarah pada proses modernisasi. Salah satu scholar liberalis, Hans Kochler¸ mengutarakan bahwa dasar legitimasi hukum internasional adalah hak-hak asasi manusia. Hal inilah yang kemudian mendasari konsep demokrasi yang menjadi “tujuan hidup” kaum idealis.
Teori libaralisme mengungkapkan bahwa preferensi negara, lebih daripada kapabilitas negara, merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku negara. Tidak seperti pandangan realisme yang memandang negara sebagai satu-satunya aktor, liberalisme mengakui adanya pluralitas dalam tiap tindakan negara, seperti misalnya aktor-aktor non negara yang dapat berjalan sendiri namum tetap tunduk pada kebijakan negara. Preferensi negara berbeda-beda satu sama lain,. Tergantung faktor budaya, sistem ekonomi atau tipe pemerintahan negara tersebut. Teori liberalisme juga mengemukakan bahwa interaksi antar negara tidak terbatas pada konteks politik atau keamanan (high politics) saja, tetapi juga pada konteks ekonomi dan kultural (low politics) baik antar perusahaan komersial, organisasi, maupun individu. Liberalisme mengedepankan asumsi bahwa dalam hubungan internasional antar negara memiliki banyak kesempatan untuk mengadakan kerja sama serta adanya hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Karena itulah kaum liberalis sangat optimis akan terciptanya perdamaian dunia. Optimisme kaum liberal tersebut sangat berkaitan dengan kebangkitan negara modern. Karena modernisasi dapat diartikan sebagai kemajuan dalam setiap aspek kehidupan manusia, termasuk hubungan internasional.
Berdasarkan pemikiran liberalis, kondisi damai tercipta bukan melalui indikator tidak adanya perang secara fisik. Sebab Perang Dingin pun juga disebut perang meskipun tidak terjadi kontak secara fisik. Kondisi damai yang dimaksud oleh kaum liberalis adalah kondisi dimana sistem pemerintahan dunia terbentuk dalam konstruksi multipolar. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya sistem multipolar maka keunggulan masing-masing negara hanya ada pada satu aspek sehingga kemudian terjadi hubungan interdependensi antar negara dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan pencapaian kepentingannya.
Pasca Perang Dunia 2, teori liberalisme terbagi menjadi empat teori utama yaitu liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional dan liberalisme republikan (Burchill 2005). Dalam liberalisme sosiologis dicetuskan oleh Richard Rosecrance dimana hubungan internasional tidak hanya mempelajari tentang hubungan antar pemerintah tetapi juga hubungan antara individu, organisasi dan masyarakat swasta. Hubungan antar rakyat lebih kooperatif daripada hubungan antar pemerintah. Jaringan transnasional juga semakin berkembang dimana merupakan dampak dari bermunculannya korporasi transnasional yang juga turut memberikan pengaruhnya pada hubungan internasional.
Pada liberalisme interdependensi, relasi interdependensi antar negara semaakiin meningkat yang merupakan dampak dari modernisasi. Aktor-aktor transnasional juga semakin diperhitungkan eksistensinya dalam hubungan internasional. Militer, sebagai salah satu instrumen pembentuk power suatu negara pada perspektif realisme, kurang diperhitungkan dalam hubungan internasional. Tujuan utama negara dan dunai saat ini tidak lagi soal keamanan tetapi mengenai kesejahteraan. Sehingga isu-isu ekonomi dan sosial menjadi isu utama.
Liberalisme institusional mengadopsi pemikiran Woodrow Wilson dimana hubungan internasional tidak hanya terdiri dari institusi pemerintah tetapi juga institusi internasional, baik organisasi yang terstruktur maupun asosiasi yang dapat memajukan hubungan kerjasama antar negara. Peranan institusi dalam hubungan internasional antara lain mengurangi masalah yang timbul akibat tidak adanya kepercayaan antar negara serta menguangi ketakutan satu negara terhdap negara lain. Liberalisme republikan merupakan suatu kondisi dan situasi internasional dimana negara demokrasi tidak saling berperang karena memiliki budaya domeatik atas penyelesaian konflik secara damai yang mengutamakan nilai moral dan hubungan kerjasama di bidang ekonomi dan relasi interdependensi yang saling menguntungkan.
Neoliberal
Perspektif neoliberal berkembang pada era pasca Perang Dingin diimana mengadopsi nilai teori realis klasik dengan penyempurnaan melalui pendekatan behavioralis. Kaum neoliberalis mengkritisi pandangan kaum liberalis klasik bahwa anarki tidak dapat dihilangkan dari sistem internasional dan karena itu optimisme kaum liberal tidak terjamin karena terlihat terlalu utopis. Sepanjang anarki berjalan, manusia tidak dapat melepaskan diri dari menolong diri sendiri dan dilema keamanan. Selain itu, kaum neoliberalis menolak pandangan optimis kaum liberalis klasik terhadap basic human nature karena pada kenyataanya tidak semua manusia bersifat baik. Akan tetapi neoliberalisme tidak fokus pada basic human nature tetapi lebih kepada upaya dan tindakan manusia untuk mencapai perdamaian. Perang bisa saja terjadi kapan saja, tetapi juga bisa dihindari dengan mengadakan interaksi mutualisme antar aktornya dan terdapat organisasi internasional sebagai mediator serta payung bagi kepentingan masing-masing aktor dalam rangka mencapai perdamaian dunia.
Kritik terhadap Liberalisme dan Neoliberalisme
Kaum liberalis kurang dipersiapkan untuk menghadapi masa ketiadaan kemajuan. Teori liberal memiliki kesulitan untuk menangani kasus semacam ketiadaan pembangunan dan kehancuran negara-negara dunia ketiga karena secara fundamental teori liberal didasarkan pada konsep modernisasi yang tidak dapat diubah. Kaum liberal juga mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai modernisasi dan perubahan, level keamanan dalam perdamaian demokratis, hubungan yang tepat antara aktor-aktor liberal dalam hubungan internasional. Hal ini dikarenakan kaum liberal mencoba menteorisasi perubahan sejarah yang bersifat kompleks, dinamis, dan terbuka. Dengan demikian timbul ketidakpastian dalam pengambilan keputusan dalam penyelesaan konflik.
Penekanan perspektif neoliberalisme mengenai adanya kerjasama antar aktor serta adanya organisasi internasional sebagai mediator dan payung kepentingan seluruh aktor bisa jadi hanya mengusung kepentingan beberapa negara saja. Semangat yang diusung oleh organisasi tersebut bisa jadi bukan merupakan representasi dari seluruh aktor yang tergabung didalamnya tetapi merupakan representasi dari kepentingan salah satu atau beberapa negara hegemon didalamnya. Fungsi mediator pun bisa jadi tidak berjalan lancar apabila organisasi internasional tersebut tidak bersifat netral. Sangat besar kemungkinan terjadinya kondisi dimana negara hegemon mengeksploitasi negara non-hegemon. Karenanya diperlukan polisi internasional dimana merupakan negara kuat non-hegemon untuk menjaga stabilitas hubungan internasional.
Sources:
Burchill,Scott. 2005. Theories of International Relations. 3rd Edition. New York: St.Martin Press.Inc.
Griffith, Martin. 1999. 50 Key Thinker of International Relations.
Sorensen, Georg and Jackson, Robert. 1999. Introduction to International Relations. New York: Oxford University Press
Viotti, Paul R. and Kauppi, Mark V. 1999. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism and Beyond. 3rd Edition. Boston: Allyn and Bacon