Banyak yang tidak disadari oleh bangsa Indonesia bahwa ideologi liberal sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Bahkan secara terang-terangan masyarakat Indonesia telah digiring untuk menjadi masyarakat konsumtif yang haus akan uang, dimana merupakan dampak dari paham kapitalisme yang merupakan salah satu “produk” dari liberalisme. Salah satu bukti yang paling mudah ditemui adalah semakin mudahnya masyarakat dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank. Persyaratan yang diajukan oleh bank cukup mudah, cepat, serta minim persyaratan khusus sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk mengajukan permohonan kredit. Sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengajukan permohonan kredit dibandingkan dengan menabung uangnya. Banyak sekali varian kredit yang ditawarkan oleh bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta, seperti kredit tanpa anggunan, kredit jangka panjang, kredit bunga rendah, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan budaya konsumtif dalam masyarakat, karena mereka dapat membeli suatu barang tanpa harus memiliki uang sebesar jumlah nominalnya pada saat yang sama.
Contoh yang lain adalah kepemilikan kartu kredit dimana pemegangnya dimanjakan oleh berbagai fasilitas seperti gratis pembelian item tertentu dengan syarat pembelian menggunakan kartu kredit tersebut dalam jumlah tertentu atau di tenant tertentu, atau diskon produk-produk tertentu. Fasilitas-fasilitas tersebut secara disengaja atau tidak, merekonstruksi pemikiran pemiliknya untuk terus berbelanja produk yang tidak terlalu dibutuhkan dengan dalih penghematan. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah mereka sedang melakukan pemborosan besar-besaran, yang biasanya baru disadari saat mereka sudah terlanjur membeli produk-produk tersebut. Namun efek ini hanya merupakan efek temporer, karena pemiliknya terus melakukan berulang kali meski pada akhirnya mereka sedikit menyesalinya. Lebih parahnya pemilik kartu kredit ini mengalami ketergantungan yang sangat dasyat terhadap kartu tersebut.
Akibat yang ditimbulkan kedua contoh diatas tersebut serupa, yakni penambahan pengeluaran yang dikarenakan adanya biaya yang dikenakan bunga. Pemikiran masyarakat kembali dikonstruksikan bahwa dengan adanya sistem kredit maka mereka dimudahkan dalam mendapatkan dana dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, namun pada akhirnya mereka menanggung resiko yang tidak mudah dengan membayar biaya tambahan (biasanya 25%) yang sebenarnya tidak perlu mereka keluarkan. Hal ini serupa dengan yang dialami Indonesia beberapa tahun yang lalu dimana bangsa ini masih tergantung dengan utang yang berasal dari IMF dan Bank Dunia. Bunga yang dikenakan cukup mencekik, mengingat bahwa jumlah bunganya jauh lebih tinggi daripada jumlah pinjamannya. Hal ini cukup membuktikan bahwa kedua lembaga keuangan tersebut melenceng dari konsep utama pembentukannya yakni sebagai lembaga keuangan yang membantu negara berkembang dalam menangani masalah finansialnya. Pada kenyataanya negara tersebut justru menghadapi masalah baru, yakni menyelesaikan utang dengan kedua lembaga tersebut.
Kondisi pra-pemilu kali ini media tanah air diwarnai oleh isu neoliberal yang dianut oleh salah satu calon presiden ataupun calon wakil presiden (lebih dikenal dengan istilah neolib). Namun tidak ada penjelasan pasti mengenai konsep ini? Apa makna konsep ini sesungguhnya, dan mengapa konsep ini dianggap berbahaya oleh kalangan politik?
Neoliberal merupakan bentuk pembaharuan dari teori liberal klasik (pada artikel ini konteks liberalisme dibatasi pada segi ekonomi dan perdagangan) dimana didalamnya memperjuangkan hak-hak kepemilikan dan kebebasan individual. Semboyan yang lazim digunakan oleh kaum liberalis adalah laizzes (nous) faire, yang merupakan istilah bahasa Perancis. Jika diartikan ke dalam bahasa Inggris kira-kira berbunyi “Leave Us Alone”. Pencetus konsep neoliberalisme merupakan seorang neoliberalis institusionalis. Nilai yang diperbarui terutama posisi sistem ekonomi yang memasuki kawasan politik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah posisi negara yang semakin minimal atau bahkan nihil dalam sistem ekonomi. Bila dalam konsep liberalisme segara dipercaya sebagai pembuat peraturan dan regulasi dalam sistem perdagangan, maka dalam konsep neoliberal ini negara sama sekali tidak ikut campur dalam urusan ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan negara dinilai merugikan pasar sehingga intervensi negara ditiadakan. Konsep neoliberal ini fokus pada perdagangan bebas dimana pembatasan terhadap perilaku bisnis serta hak-hak milik pribadi sangat minimal. Dalam konsep ekonomi neoliberal ini, pihak swasta memiliki peluang yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan dikarenakan nilai yang diusung oleh konsep ini adalah deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang pro pasar. Secara otomatis, tiga hal tersebut mendukung perkembangan perusahaan swasta terutama perusahaan besar baik transnasional maupun multinasional.
Yang membuat konsep neoliberalisme lebih berbahaya terhadap sistem perekonomian di Indonesia adalah kecenderungan untuk menerapkan perkembangan dari konsep tersebut, yakni konsep Washington Consensus. Dalam hubungannya dengan perdagangan bebas, konsep Washington Consensus ini menuntut penghapusan kontrol negara atas aliran finansial global, privatisasi, serta reformasi perdagangan dimana hambatan quota diganti dengan tarif. Bagi kalangan yang mendukung konsep ini, privatisasi merupakan upaya stimulasi untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan penerapan Foreign Direct Investment (FDI) dinilai efektif dalam upayanya meningkatkan perkembangan teknologi.
Namun pada dasarnya konsep Washington Consensus ini lebih menguntungkan perusahaan besar seperti MNC dan TNC daripada negara. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk meniadakan intervensi dari pemerintah pada kegiatan ekonomi (dalam bentuk regulasi dan kebijakan ekspor impor baik dari segi quota maupun pajak) dan sepenuhnya menyerahkan kontrolnya kepada mekanisme pasar bebas. Membiarkan pasar berjalan sesuai dengan mekanismenya berarti memberi peluang bagi perusahaan besar seperti MNC dan TNC untuk lebih leluasa mengontrol sistem ekonomi global. Karena sebagaimana nilai kebebasan dan persaingan bebas yang diusung oleh liberalisme menciptakan kekuatan terbesar menjadi dominan dalam sistem. Dalam sistem ekonomi hal ini mengacu pada perusahaan besar seperti MNC dan TNC tersebut.
Hal yang membuat neoliberal lebih berbahaya terhadap ekonomi nasional dikarenakan nilai yang ada dalam neoliberal maupun Washington Consensus sebagai perkembangan dari neoliberal secara langsung menyerang ekonomi makro negara. Dengan kata lain juga secara langsung mempengaruhi sektor mikro ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai yang ditekankan pada konsep Washington Consensus sangat menekan perekonomian negara dengan dalih efisiensi. Misalnya seperti kebijakan privatisasi dimana negara menyerahkan perusahaan milik negara kepada pihak swasta dengan alasan pengelolaan swastanisasi yang lebih efisien dan mendatangkan profit. Kebijakan deregulasi yang menuntut negara untuk merekonstruksi peraturan di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan pemerintah yang terlalu banyak sehingga memicu timbulnya korupsi dan diskriminasi terhadap pengusaha kecil dan meminimalisasi pengaruh mereka terhadap pemerintah. Kedua contoh prinsip dari Washington Consensus menunjukkan bahwa kebijakannya tidak ada yang pro negara.
Menghilangkan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian tentu berakibat keterpurukan sektor makro ekonomi negara. Sebab dalam kaitannya dengan regulasi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah apabila hal tersebut dihilangkan maka pertumbuhan ekonomi negara mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan negara sebagai pilar utama perekonomian global tidak dapat menjalankan peranan yang seharusnya. Dengan menyerahkan wewenang pemerintah terhadap swasta maka dapat dipastikan negara mengalami pengurangan besar. Semisal dalam hal perpajakan. Negara dituntut untuk mengurangi pajak bea dan cukai sampai pada level minimum. Hal ini ditujukan sebagai wujud eksistensi negara terhadap perdagangan bebas. Sebagai konsekuensinya, negara harus rela kehilangan sebagian besar pendapatan dikarenakan pajak merupakan pendapatan utama negara.
Selain itu konsep efisiensi yang diusung oleh neoliberal tersebut juga membawa dampak sosial terhadap negara, yakni masalah pengangguran. Dengan adanya peranan swasta terhadap sistem ekonomi maka masyarakat dituntut untuk berada pada situasi kompetitif. Sehingga yang sukses adalah dia yang memiliki potensi lebih unggul dan yang tidak sukses bukan karena kesalahan sistem melainkan tidak berhasil menjadi orang yang sukses. Hal ini turut merekonstruksi pemikiran masyarakat bahwa tubuh pun aset. Sama seperti kecakapan dan kepandaian yang bisa juga dipandang sebagai aset.
Lain misalnya dengan sektor ekonomi kerakyatan. Mungkin memang pada awalnya konsep neoliberal dapat membuat perekonomian rakyat terpuruk, tetapi karena fokus utama ekonomi rakyat adalah pasar domestik serta kurang diminati oleh investor asing maka kejatuhannya hanya pada sistem saja. Selain itu sifatnya temporer karena ekonomis ekonomi rakyat masih berpeluang untuk mengalami restrukturisasi dan rehabilitasi. Misalnya apabila terdapat persaingan produk lokal dengan produk dari negara lain dalam segi harga. Hal tersebut memang kemudian menjatuhkan pendapatan produsen produk lokal, namun tidak serta merta pendapatan mereka hilang karena masih ada peluang untuk memperoleh pemasukan. Karena sifatnya yang masih terbatas pada pasar domestik maka peningkatannya lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang bekerja pada sektor makro ekonomi.
Liberalisme lebih memiliki efek langsung terhadap aktor yang bersangkutan, karena masih dalam ranah ekonomi sehingga hanya pelaku aktor yang menerima konsekuensi. Namun dalam liberalisme yang tidak ikut secara langsung pun terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan nilai politik sudah masuk ranah ekonomi, sehingga efeknya lebih hebat. Apabila negara mengalami keterpurukan maka rakyatnya pasti juga terpuruk. Ekonomi kerakyatan bukanlah lawan yang tepat bagi konsep neoliberal karena hanya bergerak di sektor mikro ekonomi, sehingga sektor riil negara tidak tersentuh. Lawan yang seimbang bagi neoliberal adalah konsep Keynesianisme, dimana negara memiliki otoritas untuk melakukan intervensi penuh terhadap sistem perekonomian baik dalam perdagangan domestik maupun dalam perdagangan internasional. Bentuk intervensi tersebut tidak hanya menentukan regulasi perdagangan tetapi juga intervensi fiskal dan moneter khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan pekerjaan, serta menjamin stabilitas moneter. Konsep Keynesianisme sepintas terlihat serupa dengan pemikiran sosialis, terutama dalam hal intervensi negara secara total serta mengakui negara sebagai aktor dominan dalam sistem perekonomian. Namun bedanya dengan paham sosialisme, Keynes mengakui adanya kapitalisme, mengakui adanya kebebasan individu baik dalam kepemilikan kapital maupun dalam mendapatkan uang, serta mengakui adanya pasar bebas. Akan tetapi yang banyak berperan dalam perdagangan adalah negara sebagai the invisible hand dimana negara juga dapat mencapai keuntungan melalui regulasi perdagangan yang dibuat. Sehingga negara dapat meningkatkan sektor perekonomiannya tanpa adanya intervensi dari perusahaan besar. Selain itu dengan terciptanya stabilitas ekonomi maka secara tak langsung juga memajukan sektor mikro ekonomi, sehingga baik kesejahteraan negara maupun rakyat dapat berjalan secara linier.
Souces:
• Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
• Khan, Mohsin S. Evaluating the Effects of IMF-Supported Adjustment Programmes: A Survey dalam Melvin, Michael. 1992. International Money and Finance. New York: HarperCollins Publishers.
• Marty, Alvin L. Money, Financial Repression and Economic Growth. Ibid.
• Phylaktis, Kate dan Pradhan, Mahmood. International Finance and The Less Developed Countries. London:Macmillan Academic and Professional Ltd.
Thursday, 11 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Thursday, 11 March 2010
Penyerapan Konsep Neoliberalisme dalam Sistem Ekonomi di Indonesia dan Pengaruhnya terhadap Sektor Makro Ekonomi
Banyak yang tidak disadari oleh bangsa Indonesia bahwa ideologi liberal sudah merasuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Bahkan secara terang-terangan masyarakat Indonesia telah digiring untuk menjadi masyarakat konsumtif yang haus akan uang, dimana merupakan dampak dari paham kapitalisme yang merupakan salah satu “produk” dari liberalisme. Salah satu bukti yang paling mudah ditemui adalah semakin mudahnya masyarakat dalam mengajukan permohonan kredit kepada bank. Persyaratan yang diajukan oleh bank cukup mudah, cepat, serta minim persyaratan khusus sehingga masyarakat berbondong-bondong untuk mengajukan permohonan kredit. Sehingga masyarakat lebih tertarik untuk mengajukan permohonan kredit dibandingkan dengan menabung uangnya. Banyak sekali varian kredit yang ditawarkan oleh bank, baik bank pemerintah maupun bank swasta, seperti kredit tanpa anggunan, kredit jangka panjang, kredit bunga rendah, dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan budaya konsumtif dalam masyarakat, karena mereka dapat membeli suatu barang tanpa harus memiliki uang sebesar jumlah nominalnya pada saat yang sama.
Contoh yang lain adalah kepemilikan kartu kredit dimana pemegangnya dimanjakan oleh berbagai fasilitas seperti gratis pembelian item tertentu dengan syarat pembelian menggunakan kartu kredit tersebut dalam jumlah tertentu atau di tenant tertentu, atau diskon produk-produk tertentu. Fasilitas-fasilitas tersebut secara disengaja atau tidak, merekonstruksi pemikiran pemiliknya untuk terus berbelanja produk yang tidak terlalu dibutuhkan dengan dalih penghematan. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah mereka sedang melakukan pemborosan besar-besaran, yang biasanya baru disadari saat mereka sudah terlanjur membeli produk-produk tersebut. Namun efek ini hanya merupakan efek temporer, karena pemiliknya terus melakukan berulang kali meski pada akhirnya mereka sedikit menyesalinya. Lebih parahnya pemilik kartu kredit ini mengalami ketergantungan yang sangat dasyat terhadap kartu tersebut.
Akibat yang ditimbulkan kedua contoh diatas tersebut serupa, yakni penambahan pengeluaran yang dikarenakan adanya biaya yang dikenakan bunga. Pemikiran masyarakat kembali dikonstruksikan bahwa dengan adanya sistem kredit maka mereka dimudahkan dalam mendapatkan dana dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, namun pada akhirnya mereka menanggung resiko yang tidak mudah dengan membayar biaya tambahan (biasanya 25%) yang sebenarnya tidak perlu mereka keluarkan. Hal ini serupa dengan yang dialami Indonesia beberapa tahun yang lalu dimana bangsa ini masih tergantung dengan utang yang berasal dari IMF dan Bank Dunia. Bunga yang dikenakan cukup mencekik, mengingat bahwa jumlah bunganya jauh lebih tinggi daripada jumlah pinjamannya. Hal ini cukup membuktikan bahwa kedua lembaga keuangan tersebut melenceng dari konsep utama pembentukannya yakni sebagai lembaga keuangan yang membantu negara berkembang dalam menangani masalah finansialnya. Pada kenyataanya negara tersebut justru menghadapi masalah baru, yakni menyelesaikan utang dengan kedua lembaga tersebut.
Kondisi pra-pemilu kali ini media tanah air diwarnai oleh isu neoliberal yang dianut oleh salah satu calon presiden ataupun calon wakil presiden (lebih dikenal dengan istilah neolib). Namun tidak ada penjelasan pasti mengenai konsep ini? Apa makna konsep ini sesungguhnya, dan mengapa konsep ini dianggap berbahaya oleh kalangan politik?
Neoliberal merupakan bentuk pembaharuan dari teori liberal klasik (pada artikel ini konteks liberalisme dibatasi pada segi ekonomi dan perdagangan) dimana didalamnya memperjuangkan hak-hak kepemilikan dan kebebasan individual. Semboyan yang lazim digunakan oleh kaum liberalis adalah laizzes (nous) faire, yang merupakan istilah bahasa Perancis. Jika diartikan ke dalam bahasa Inggris kira-kira berbunyi “Leave Us Alone”. Pencetus konsep neoliberalisme merupakan seorang neoliberalis institusionalis. Nilai yang diperbarui terutama posisi sistem ekonomi yang memasuki kawasan politik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah posisi negara yang semakin minimal atau bahkan nihil dalam sistem ekonomi. Bila dalam konsep liberalisme segara dipercaya sebagai pembuat peraturan dan regulasi dalam sistem perdagangan, maka dalam konsep neoliberal ini negara sama sekali tidak ikut campur dalam urusan ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan negara dinilai merugikan pasar sehingga intervensi negara ditiadakan. Konsep neoliberal ini fokus pada perdagangan bebas dimana pembatasan terhadap perilaku bisnis serta hak-hak milik pribadi sangat minimal. Dalam konsep ekonomi neoliberal ini, pihak swasta memiliki peluang yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan dikarenakan nilai yang diusung oleh konsep ini adalah deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang pro pasar. Secara otomatis, tiga hal tersebut mendukung perkembangan perusahaan swasta terutama perusahaan besar baik transnasional maupun multinasional.
Yang membuat konsep neoliberalisme lebih berbahaya terhadap sistem perekonomian di Indonesia adalah kecenderungan untuk menerapkan perkembangan dari konsep tersebut, yakni konsep Washington Consensus. Dalam hubungannya dengan perdagangan bebas, konsep Washington Consensus ini menuntut penghapusan kontrol negara atas aliran finansial global, privatisasi, serta reformasi perdagangan dimana hambatan quota diganti dengan tarif. Bagi kalangan yang mendukung konsep ini, privatisasi merupakan upaya stimulasi untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan penerapan Foreign Direct Investment (FDI) dinilai efektif dalam upayanya meningkatkan perkembangan teknologi.
Namun pada dasarnya konsep Washington Consensus ini lebih menguntungkan perusahaan besar seperti MNC dan TNC daripada negara. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk meniadakan intervensi dari pemerintah pada kegiatan ekonomi (dalam bentuk regulasi dan kebijakan ekspor impor baik dari segi quota maupun pajak) dan sepenuhnya menyerahkan kontrolnya kepada mekanisme pasar bebas. Membiarkan pasar berjalan sesuai dengan mekanismenya berarti memberi peluang bagi perusahaan besar seperti MNC dan TNC untuk lebih leluasa mengontrol sistem ekonomi global. Karena sebagaimana nilai kebebasan dan persaingan bebas yang diusung oleh liberalisme menciptakan kekuatan terbesar menjadi dominan dalam sistem. Dalam sistem ekonomi hal ini mengacu pada perusahaan besar seperti MNC dan TNC tersebut.
Hal yang membuat neoliberal lebih berbahaya terhadap ekonomi nasional dikarenakan nilai yang ada dalam neoliberal maupun Washington Consensus sebagai perkembangan dari neoliberal secara langsung menyerang ekonomi makro negara. Dengan kata lain juga secara langsung mempengaruhi sektor mikro ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai yang ditekankan pada konsep Washington Consensus sangat menekan perekonomian negara dengan dalih efisiensi. Misalnya seperti kebijakan privatisasi dimana negara menyerahkan perusahaan milik negara kepada pihak swasta dengan alasan pengelolaan swastanisasi yang lebih efisien dan mendatangkan profit. Kebijakan deregulasi yang menuntut negara untuk merekonstruksi peraturan di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan pemerintah yang terlalu banyak sehingga memicu timbulnya korupsi dan diskriminasi terhadap pengusaha kecil dan meminimalisasi pengaruh mereka terhadap pemerintah. Kedua contoh prinsip dari Washington Consensus menunjukkan bahwa kebijakannya tidak ada yang pro negara.
Menghilangkan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian tentu berakibat keterpurukan sektor makro ekonomi negara. Sebab dalam kaitannya dengan regulasi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah apabila hal tersebut dihilangkan maka pertumbuhan ekonomi negara mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan negara sebagai pilar utama perekonomian global tidak dapat menjalankan peranan yang seharusnya. Dengan menyerahkan wewenang pemerintah terhadap swasta maka dapat dipastikan negara mengalami pengurangan besar. Semisal dalam hal perpajakan. Negara dituntut untuk mengurangi pajak bea dan cukai sampai pada level minimum. Hal ini ditujukan sebagai wujud eksistensi negara terhadap perdagangan bebas. Sebagai konsekuensinya, negara harus rela kehilangan sebagian besar pendapatan dikarenakan pajak merupakan pendapatan utama negara.
Selain itu konsep efisiensi yang diusung oleh neoliberal tersebut juga membawa dampak sosial terhadap negara, yakni masalah pengangguran. Dengan adanya peranan swasta terhadap sistem ekonomi maka masyarakat dituntut untuk berada pada situasi kompetitif. Sehingga yang sukses adalah dia yang memiliki potensi lebih unggul dan yang tidak sukses bukan karena kesalahan sistem melainkan tidak berhasil menjadi orang yang sukses. Hal ini turut merekonstruksi pemikiran masyarakat bahwa tubuh pun aset. Sama seperti kecakapan dan kepandaian yang bisa juga dipandang sebagai aset.
Lain misalnya dengan sektor ekonomi kerakyatan. Mungkin memang pada awalnya konsep neoliberal dapat membuat perekonomian rakyat terpuruk, tetapi karena fokus utama ekonomi rakyat adalah pasar domestik serta kurang diminati oleh investor asing maka kejatuhannya hanya pada sistem saja. Selain itu sifatnya temporer karena ekonomis ekonomi rakyat masih berpeluang untuk mengalami restrukturisasi dan rehabilitasi. Misalnya apabila terdapat persaingan produk lokal dengan produk dari negara lain dalam segi harga. Hal tersebut memang kemudian menjatuhkan pendapatan produsen produk lokal, namun tidak serta merta pendapatan mereka hilang karena masih ada peluang untuk memperoleh pemasukan. Karena sifatnya yang masih terbatas pada pasar domestik maka peningkatannya lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang bekerja pada sektor makro ekonomi.
Liberalisme lebih memiliki efek langsung terhadap aktor yang bersangkutan, karena masih dalam ranah ekonomi sehingga hanya pelaku aktor yang menerima konsekuensi. Namun dalam liberalisme yang tidak ikut secara langsung pun terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan nilai politik sudah masuk ranah ekonomi, sehingga efeknya lebih hebat. Apabila negara mengalami keterpurukan maka rakyatnya pasti juga terpuruk. Ekonomi kerakyatan bukanlah lawan yang tepat bagi konsep neoliberal karena hanya bergerak di sektor mikro ekonomi, sehingga sektor riil negara tidak tersentuh. Lawan yang seimbang bagi neoliberal adalah konsep Keynesianisme, dimana negara memiliki otoritas untuk melakukan intervensi penuh terhadap sistem perekonomian baik dalam perdagangan domestik maupun dalam perdagangan internasional. Bentuk intervensi tersebut tidak hanya menentukan regulasi perdagangan tetapi juga intervensi fiskal dan moneter khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan pekerjaan, serta menjamin stabilitas moneter. Konsep Keynesianisme sepintas terlihat serupa dengan pemikiran sosialis, terutama dalam hal intervensi negara secara total serta mengakui negara sebagai aktor dominan dalam sistem perekonomian. Namun bedanya dengan paham sosialisme, Keynes mengakui adanya kapitalisme, mengakui adanya kebebasan individu baik dalam kepemilikan kapital maupun dalam mendapatkan uang, serta mengakui adanya pasar bebas. Akan tetapi yang banyak berperan dalam perdagangan adalah negara sebagai the invisible hand dimana negara juga dapat mencapai keuntungan melalui regulasi perdagangan yang dibuat. Sehingga negara dapat meningkatkan sektor perekonomiannya tanpa adanya intervensi dari perusahaan besar. Selain itu dengan terciptanya stabilitas ekonomi maka secara tak langsung juga memajukan sektor mikro ekonomi, sehingga baik kesejahteraan negara maupun rakyat dapat berjalan secara linier.
Souces:
• Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
• Khan, Mohsin S. Evaluating the Effects of IMF-Supported Adjustment Programmes: A Survey dalam Melvin, Michael. 1992. International Money and Finance. New York: HarperCollins Publishers.
• Marty, Alvin L. Money, Financial Repression and Economic Growth. Ibid.
• Phylaktis, Kate dan Pradhan, Mahmood. International Finance and The Less Developed Countries. London:Macmillan Academic and Professional Ltd.
Contoh yang lain adalah kepemilikan kartu kredit dimana pemegangnya dimanjakan oleh berbagai fasilitas seperti gratis pembelian item tertentu dengan syarat pembelian menggunakan kartu kredit tersebut dalam jumlah tertentu atau di tenant tertentu, atau diskon produk-produk tertentu. Fasilitas-fasilitas tersebut secara disengaja atau tidak, merekonstruksi pemikiran pemiliknya untuk terus berbelanja produk yang tidak terlalu dibutuhkan dengan dalih penghematan. Namun yang terjadi sesungguhnya adalah mereka sedang melakukan pemborosan besar-besaran, yang biasanya baru disadari saat mereka sudah terlanjur membeli produk-produk tersebut. Namun efek ini hanya merupakan efek temporer, karena pemiliknya terus melakukan berulang kali meski pada akhirnya mereka sedikit menyesalinya. Lebih parahnya pemilik kartu kredit ini mengalami ketergantungan yang sangat dasyat terhadap kartu tersebut.
Akibat yang ditimbulkan kedua contoh diatas tersebut serupa, yakni penambahan pengeluaran yang dikarenakan adanya biaya yang dikenakan bunga. Pemikiran masyarakat kembali dikonstruksikan bahwa dengan adanya sistem kredit maka mereka dimudahkan dalam mendapatkan dana dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, namun pada akhirnya mereka menanggung resiko yang tidak mudah dengan membayar biaya tambahan (biasanya 25%) yang sebenarnya tidak perlu mereka keluarkan. Hal ini serupa dengan yang dialami Indonesia beberapa tahun yang lalu dimana bangsa ini masih tergantung dengan utang yang berasal dari IMF dan Bank Dunia. Bunga yang dikenakan cukup mencekik, mengingat bahwa jumlah bunganya jauh lebih tinggi daripada jumlah pinjamannya. Hal ini cukup membuktikan bahwa kedua lembaga keuangan tersebut melenceng dari konsep utama pembentukannya yakni sebagai lembaga keuangan yang membantu negara berkembang dalam menangani masalah finansialnya. Pada kenyataanya negara tersebut justru menghadapi masalah baru, yakni menyelesaikan utang dengan kedua lembaga tersebut.
Kondisi pra-pemilu kali ini media tanah air diwarnai oleh isu neoliberal yang dianut oleh salah satu calon presiden ataupun calon wakil presiden (lebih dikenal dengan istilah neolib). Namun tidak ada penjelasan pasti mengenai konsep ini? Apa makna konsep ini sesungguhnya, dan mengapa konsep ini dianggap berbahaya oleh kalangan politik?
Neoliberal merupakan bentuk pembaharuan dari teori liberal klasik (pada artikel ini konteks liberalisme dibatasi pada segi ekonomi dan perdagangan) dimana didalamnya memperjuangkan hak-hak kepemilikan dan kebebasan individual. Semboyan yang lazim digunakan oleh kaum liberalis adalah laizzes (nous) faire, yang merupakan istilah bahasa Perancis. Jika diartikan ke dalam bahasa Inggris kira-kira berbunyi “Leave Us Alone”. Pencetus konsep neoliberalisme merupakan seorang neoliberalis institusionalis. Nilai yang diperbarui terutama posisi sistem ekonomi yang memasuki kawasan politik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah posisi negara yang semakin minimal atau bahkan nihil dalam sistem ekonomi. Bila dalam konsep liberalisme segara dipercaya sebagai pembuat peraturan dan regulasi dalam sistem perdagangan, maka dalam konsep neoliberal ini negara sama sekali tidak ikut campur dalam urusan ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan negara dinilai merugikan pasar sehingga intervensi negara ditiadakan. Konsep neoliberal ini fokus pada perdagangan bebas dimana pembatasan terhadap perilaku bisnis serta hak-hak milik pribadi sangat minimal. Dalam konsep ekonomi neoliberal ini, pihak swasta memiliki peluang yang sangat besar untuk memperoleh keuntungan dikarenakan nilai yang diusung oleh konsep ini adalah deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi yang pro pasar. Secara otomatis, tiga hal tersebut mendukung perkembangan perusahaan swasta terutama perusahaan besar baik transnasional maupun multinasional.
Yang membuat konsep neoliberalisme lebih berbahaya terhadap sistem perekonomian di Indonesia adalah kecenderungan untuk menerapkan perkembangan dari konsep tersebut, yakni konsep Washington Consensus. Dalam hubungannya dengan perdagangan bebas, konsep Washington Consensus ini menuntut penghapusan kontrol negara atas aliran finansial global, privatisasi, serta reformasi perdagangan dimana hambatan quota diganti dengan tarif. Bagi kalangan yang mendukung konsep ini, privatisasi merupakan upaya stimulasi untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan penerapan Foreign Direct Investment (FDI) dinilai efektif dalam upayanya meningkatkan perkembangan teknologi.
Namun pada dasarnya konsep Washington Consensus ini lebih menguntungkan perusahaan besar seperti MNC dan TNC daripada negara. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk meniadakan intervensi dari pemerintah pada kegiatan ekonomi (dalam bentuk regulasi dan kebijakan ekspor impor baik dari segi quota maupun pajak) dan sepenuhnya menyerahkan kontrolnya kepada mekanisme pasar bebas. Membiarkan pasar berjalan sesuai dengan mekanismenya berarti memberi peluang bagi perusahaan besar seperti MNC dan TNC untuk lebih leluasa mengontrol sistem ekonomi global. Karena sebagaimana nilai kebebasan dan persaingan bebas yang diusung oleh liberalisme menciptakan kekuatan terbesar menjadi dominan dalam sistem. Dalam sistem ekonomi hal ini mengacu pada perusahaan besar seperti MNC dan TNC tersebut.
Hal yang membuat neoliberal lebih berbahaya terhadap ekonomi nasional dikarenakan nilai yang ada dalam neoliberal maupun Washington Consensus sebagai perkembangan dari neoliberal secara langsung menyerang ekonomi makro negara. Dengan kata lain juga secara langsung mempengaruhi sektor mikro ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai yang ditekankan pada konsep Washington Consensus sangat menekan perekonomian negara dengan dalih efisiensi. Misalnya seperti kebijakan privatisasi dimana negara menyerahkan perusahaan milik negara kepada pihak swasta dengan alasan pengelolaan swastanisasi yang lebih efisien dan mendatangkan profit. Kebijakan deregulasi yang menuntut negara untuk merekonstruksi peraturan di bidang ekonomi. Hal ini dikarenakan peraturan pemerintah yang terlalu banyak sehingga memicu timbulnya korupsi dan diskriminasi terhadap pengusaha kecil dan meminimalisasi pengaruh mereka terhadap pemerintah. Kedua contoh prinsip dari Washington Consensus menunjukkan bahwa kebijakannya tidak ada yang pro negara.
Menghilangkan intervensi pemerintah dalam sistem perekonomian tentu berakibat keterpurukan sektor makro ekonomi negara. Sebab dalam kaitannya dengan regulasi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi pemerintah apabila hal tersebut dihilangkan maka pertumbuhan ekonomi negara mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan negara sebagai pilar utama perekonomian global tidak dapat menjalankan peranan yang seharusnya. Dengan menyerahkan wewenang pemerintah terhadap swasta maka dapat dipastikan negara mengalami pengurangan besar. Semisal dalam hal perpajakan. Negara dituntut untuk mengurangi pajak bea dan cukai sampai pada level minimum. Hal ini ditujukan sebagai wujud eksistensi negara terhadap perdagangan bebas. Sebagai konsekuensinya, negara harus rela kehilangan sebagian besar pendapatan dikarenakan pajak merupakan pendapatan utama negara.
Selain itu konsep efisiensi yang diusung oleh neoliberal tersebut juga membawa dampak sosial terhadap negara, yakni masalah pengangguran. Dengan adanya peranan swasta terhadap sistem ekonomi maka masyarakat dituntut untuk berada pada situasi kompetitif. Sehingga yang sukses adalah dia yang memiliki potensi lebih unggul dan yang tidak sukses bukan karena kesalahan sistem melainkan tidak berhasil menjadi orang yang sukses. Hal ini turut merekonstruksi pemikiran masyarakat bahwa tubuh pun aset. Sama seperti kecakapan dan kepandaian yang bisa juga dipandang sebagai aset.
Lain misalnya dengan sektor ekonomi kerakyatan. Mungkin memang pada awalnya konsep neoliberal dapat membuat perekonomian rakyat terpuruk, tetapi karena fokus utama ekonomi rakyat adalah pasar domestik serta kurang diminati oleh investor asing maka kejatuhannya hanya pada sistem saja. Selain itu sifatnya temporer karena ekonomis ekonomi rakyat masih berpeluang untuk mengalami restrukturisasi dan rehabilitasi. Misalnya apabila terdapat persaingan produk lokal dengan produk dari negara lain dalam segi harga. Hal tersebut memang kemudian menjatuhkan pendapatan produsen produk lokal, namun tidak serta merta pendapatan mereka hilang karena masih ada peluang untuk memperoleh pemasukan. Karena sifatnya yang masih terbatas pada pasar domestik maka peningkatannya lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang bekerja pada sektor makro ekonomi.
Liberalisme lebih memiliki efek langsung terhadap aktor yang bersangkutan, karena masih dalam ranah ekonomi sehingga hanya pelaku aktor yang menerima konsekuensi. Namun dalam liberalisme yang tidak ikut secara langsung pun terkena dampaknya. Hal ini dikarenakan nilai politik sudah masuk ranah ekonomi, sehingga efeknya lebih hebat. Apabila negara mengalami keterpurukan maka rakyatnya pasti juga terpuruk. Ekonomi kerakyatan bukanlah lawan yang tepat bagi konsep neoliberal karena hanya bergerak di sektor mikro ekonomi, sehingga sektor riil negara tidak tersentuh. Lawan yang seimbang bagi neoliberal adalah konsep Keynesianisme, dimana negara memiliki otoritas untuk melakukan intervensi penuh terhadap sistem perekonomian baik dalam perdagangan domestik maupun dalam perdagangan internasional. Bentuk intervensi tersebut tidak hanya menentukan regulasi perdagangan tetapi juga intervensi fiskal dan moneter khususnya untuk menggerakkan sektor riil, menciptakan lapangan pekerjaan, serta menjamin stabilitas moneter. Konsep Keynesianisme sepintas terlihat serupa dengan pemikiran sosialis, terutama dalam hal intervensi negara secara total serta mengakui negara sebagai aktor dominan dalam sistem perekonomian. Namun bedanya dengan paham sosialisme, Keynes mengakui adanya kapitalisme, mengakui adanya kebebasan individu baik dalam kepemilikan kapital maupun dalam mendapatkan uang, serta mengakui adanya pasar bebas. Akan tetapi yang banyak berperan dalam perdagangan adalah negara sebagai the invisible hand dimana negara juga dapat mencapai keuntungan melalui regulasi perdagangan yang dibuat. Sehingga negara dapat meningkatkan sektor perekonomiannya tanpa adanya intervensi dari perusahaan besar. Selain itu dengan terciptanya stabilitas ekonomi maka secara tak langsung juga memajukan sektor mikro ekonomi, sehingga baik kesejahteraan negara maupun rakyat dapat berjalan secara linier.
Souces:
• Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan Indonesia. Jakarta: Erlangga.
• Khan, Mohsin S. Evaluating the Effects of IMF-Supported Adjustment Programmes: A Survey dalam Melvin, Michael. 1992. International Money and Finance. New York: HarperCollins Publishers.
• Marty, Alvin L. Money, Financial Repression and Economic Growth. Ibid.
• Phylaktis, Kate dan Pradhan, Mahmood. International Finance and The Less Developed Countries. London:Macmillan Academic and Professional Ltd.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment