Thursday 11 March 2010

Bergdorf Blondes by Plum Sykes

Judul Buku : Bergdorf Blondes (Judul Terjemahan : Cewek-Cewek Bergdorf)
Pengarang : Plum Sykes
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 424 halaman


Novel ini bercerita tentang perjalan hidup karakter utama yang oleh si pengarang tidak diberi nama karakter. Dia menyebutnya moi yang dalam bahasa Perancis berarti “aku”. Si tokoh utama ini digambarkan memiliki sedikit kemampuan berbahasa Perancis yang selalu menggunakan satu-dua kata dalam bahasa Perancis dalam setiap kalimatnya. Si karakter utama ini bekerja sebagai penulis artikel salah satu majalah mode. Dia tinggal di Park Avenue, Manhattan, kawasan elite di New York City. Dia hidup dikelilingi oleh kehidupan para sosialita beserta gaya hidup glamornya. Dia berteman akrab dengan Julie Bergdorf, ahli waris Bergdorf Department Store, departemen store paling bergengsi di New York. Julie adalah ikon cewek Park Avenue yang paling chic. Gaya hidup yang super glamor, bentuk tubuh yang super kurus (di kalangan sosialita, anoreksia adalah hal yang paling seksi dan keren), kulit cokelat sempurna hasil tanning, bukan fake baked, di Salon Portofino, rambut pirang hasil highlight yang dikerjakan oleh Ariette di Bergdorf deptstore tepat setiap tiga belas hari.
Gaya hidup para cewek Manhattan ini, termasuk si moi, benar-benar beyond, bahkan tidak sempat dibayangkan oleh orang kebanyakan. Semua barang yang mereka dapatkan tidak hanya membutuhkan lembar dollar yang tebal, tetapi juga sangat mustahil untuk dicapai oleh orang-orang diluar komunitas mereka karena para sosialita selalu memiliki koneksi pribadi dengan salon, dermatologis, serta pakar kecantikan terbaik di New York. Belum lagi gaun-gaun gratis dari beberapa rumah mode kenamaan yang mereka dapat, dimana jika orang lain harus membayar mahal untuk itu. Kehidupan pribadi mereka juga tidak jauh-jauh dari pesta-ke-pesta tiap malam. Memiliki tunangan adalah hal yang glamor, sehingga dalam setiap pesta salah satu tangan mereka pasti menggandeng tangan tunangan mereka, dan tangan yang satu lagi memegang tas tangan. Dan jika mereka datang tanpa salah satu dari kedua benda tersebut (begitu mereka menyebutnya) atau bahkan keduanya, meski sedang memakai gaun paling mutakhir dari perancang busana terkenal, mereka akan merasa seperti ditelanjangi.
Pemikiran para cewek sosialita ini pun sangat dangkal, terutama mengenai cinta dan pasangan. Bagi mereka, cinta hanya sebesar dan semurni berlian yang menempel di cincin pertunangan mereka. Sebakin besar dan semakin murni merlian mereka, maka cinta pasangan mereka juga sebesar itu. Kriteria dalam memilih pasangan juga tak jauh berbeda dengan waiting list tas tangan. Semakin berkualitas (baik cowok maupun tas tangan) maka waiting listnya pun semakin lama dan harga yang harus ditebus pun semakin mahal. Belum lagi bila kemudian ada cewek lain yang “menyerobot antrian” maka cetiap saat mereka harus tetap waspada.
Namun semua pemikiran ini sama sekali tidak disetujui oleh si moi. Dia sangat menjunjung tinggi makna cinta, meski dengan cara yang kekanak-kanakan. Si moi menilai kebaikan pria-pria di sekitarnya secara naif. Karena itu tidak heran jika pria-pria tersebut datyang dan pergi dalam hidupnya. Oleh karenanya sepanjang novel ini menceritakan perjuangan si moi dalam mencari cinta sejati. Pengalaman berpacarannya yang tidak sebanyak teman-temannya, keterpurukannya ketika ditinggalkan oleh pacarnya yang ternyata belakangan diketahui hang out dengan model. Belum lagi ketika dia bertemu dengan cowok yang ternyata cinta sejatinya di waktu yang salah.
Sepanjang novel ini mendeskripsikan secara total, mungin, kehidupan pribadi kaum sosialita di New York yang bergelimang barang-barang mahal dan limited edition dimana mereka dengan mudah mendapatkannya sedangkan orang lain bahkan belum sempat meliriknya. Novel ini seperti menggambarkan kehidupan sosialita ala Paris Hilton atau Kim Kadarshian yang kehidupannya tidak jauh dari pesta-pesta glamor tiap malam. Mengapa saya bilang pesta-pesta, bukan hanya dengan satu kata? Karena mereka sering mendatangi lebih dari satu acara dalam satu malam dan mereka terbiasa dengan kondisi yang “mengharuskan” mereka seperti demikian. Salah satu bagian dari novel ini juga menjelaskan beberapa hal yang membedakan para sosialita New York dengan kalangan jet-setter Los Angeles.
Ide cerita novel ini mungkin tidak jauh berbeda dengan latar belakang kehidupan si pengarang sendiri. Dalam cover belakang novel ini dijelaskan bahwa Plum Sykes merupakan seorang akademisi lulusan Oxford yang bekerja sebagai kontributor majalah Vogue dan Vanity Fair, majalah mode di New York. Dia tinggal di New York dan menulis tentang mode dan sosialita. Latar belakang si pengarang tersebut nyaris sama dengan latar belakang karakter utama dalam novel ini, kecuali kampus tempat si karakter utama pernah belajar. Banyak hal yang membuat saya sangat menyukai novel ini. Yang pertama adalah sifat si karakter utama. Sepintas penggambaran si moi ini tidak jauh berbeda dengan para sosialita di sekitarmya, yakni cenderung pragmatis dan bodoh. Namun setelah diperhatikan lebih lanjut, ternyata si moi merupakan sosok yang naif, sederhana dan apa adanya. Yang kedua adalah plot komplikatif sebelum bagian akhir yang lumayan seru serta banyak kejadian-kejadian menarik didalamnya. Dan yang ketiga adalah cara pengemasan cerita yang menarik. Sykes menggambarkan tidak hanya segi glamor dan sisi sinis para cewek sosialita tetapi juga hal-hal menggelikan dan kekanakan dari mereka.

0 comments:

Post a Comment

Thursday 11 March 2010

Bergdorf Blondes by Plum Sykes


Judul Buku : Bergdorf Blondes (Judul Terjemahan : Cewek-Cewek Bergdorf)
Pengarang : Plum Sykes
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 424 halaman


Novel ini bercerita tentang perjalan hidup karakter utama yang oleh si pengarang tidak diberi nama karakter. Dia menyebutnya moi yang dalam bahasa Perancis berarti “aku”. Si tokoh utama ini digambarkan memiliki sedikit kemampuan berbahasa Perancis yang selalu menggunakan satu-dua kata dalam bahasa Perancis dalam setiap kalimatnya. Si karakter utama ini bekerja sebagai penulis artikel salah satu majalah mode. Dia tinggal di Park Avenue, Manhattan, kawasan elite di New York City. Dia hidup dikelilingi oleh kehidupan para sosialita beserta gaya hidup glamornya. Dia berteman akrab dengan Julie Bergdorf, ahli waris Bergdorf Department Store, departemen store paling bergengsi di New York. Julie adalah ikon cewek Park Avenue yang paling chic. Gaya hidup yang super glamor, bentuk tubuh yang super kurus (di kalangan sosialita, anoreksia adalah hal yang paling seksi dan keren), kulit cokelat sempurna hasil tanning, bukan fake baked, di Salon Portofino, rambut pirang hasil highlight yang dikerjakan oleh Ariette di Bergdorf deptstore tepat setiap tiga belas hari.
Gaya hidup para cewek Manhattan ini, termasuk si moi, benar-benar beyond, bahkan tidak sempat dibayangkan oleh orang kebanyakan. Semua barang yang mereka dapatkan tidak hanya membutuhkan lembar dollar yang tebal, tetapi juga sangat mustahil untuk dicapai oleh orang-orang diluar komunitas mereka karena para sosialita selalu memiliki koneksi pribadi dengan salon, dermatologis, serta pakar kecantikan terbaik di New York. Belum lagi gaun-gaun gratis dari beberapa rumah mode kenamaan yang mereka dapat, dimana jika orang lain harus membayar mahal untuk itu. Kehidupan pribadi mereka juga tidak jauh-jauh dari pesta-ke-pesta tiap malam. Memiliki tunangan adalah hal yang glamor, sehingga dalam setiap pesta salah satu tangan mereka pasti menggandeng tangan tunangan mereka, dan tangan yang satu lagi memegang tas tangan. Dan jika mereka datang tanpa salah satu dari kedua benda tersebut (begitu mereka menyebutnya) atau bahkan keduanya, meski sedang memakai gaun paling mutakhir dari perancang busana terkenal, mereka akan merasa seperti ditelanjangi.
Pemikiran para cewek sosialita ini pun sangat dangkal, terutama mengenai cinta dan pasangan. Bagi mereka, cinta hanya sebesar dan semurni berlian yang menempel di cincin pertunangan mereka. Sebakin besar dan semakin murni merlian mereka, maka cinta pasangan mereka juga sebesar itu. Kriteria dalam memilih pasangan juga tak jauh berbeda dengan waiting list tas tangan. Semakin berkualitas (baik cowok maupun tas tangan) maka waiting listnya pun semakin lama dan harga yang harus ditebus pun semakin mahal. Belum lagi bila kemudian ada cewek lain yang “menyerobot antrian” maka cetiap saat mereka harus tetap waspada.
Namun semua pemikiran ini sama sekali tidak disetujui oleh si moi. Dia sangat menjunjung tinggi makna cinta, meski dengan cara yang kekanak-kanakan. Si moi menilai kebaikan pria-pria di sekitarnya secara naif. Karena itu tidak heran jika pria-pria tersebut datyang dan pergi dalam hidupnya. Oleh karenanya sepanjang novel ini menceritakan perjuangan si moi dalam mencari cinta sejati. Pengalaman berpacarannya yang tidak sebanyak teman-temannya, keterpurukannya ketika ditinggalkan oleh pacarnya yang ternyata belakangan diketahui hang out dengan model. Belum lagi ketika dia bertemu dengan cowok yang ternyata cinta sejatinya di waktu yang salah.
Sepanjang novel ini mendeskripsikan secara total, mungin, kehidupan pribadi kaum sosialita di New York yang bergelimang barang-barang mahal dan limited edition dimana mereka dengan mudah mendapatkannya sedangkan orang lain bahkan belum sempat meliriknya. Novel ini seperti menggambarkan kehidupan sosialita ala Paris Hilton atau Kim Kadarshian yang kehidupannya tidak jauh dari pesta-pesta glamor tiap malam. Mengapa saya bilang pesta-pesta, bukan hanya dengan satu kata? Karena mereka sering mendatangi lebih dari satu acara dalam satu malam dan mereka terbiasa dengan kondisi yang “mengharuskan” mereka seperti demikian. Salah satu bagian dari novel ini juga menjelaskan beberapa hal yang membedakan para sosialita New York dengan kalangan jet-setter Los Angeles.
Ide cerita novel ini mungkin tidak jauh berbeda dengan latar belakang kehidupan si pengarang sendiri. Dalam cover belakang novel ini dijelaskan bahwa Plum Sykes merupakan seorang akademisi lulusan Oxford yang bekerja sebagai kontributor majalah Vogue dan Vanity Fair, majalah mode di New York. Dia tinggal di New York dan menulis tentang mode dan sosialita. Latar belakang si pengarang tersebut nyaris sama dengan latar belakang karakter utama dalam novel ini, kecuali kampus tempat si karakter utama pernah belajar. Banyak hal yang membuat saya sangat menyukai novel ini. Yang pertama adalah sifat si karakter utama. Sepintas penggambaran si moi ini tidak jauh berbeda dengan para sosialita di sekitarmya, yakni cenderung pragmatis dan bodoh. Namun setelah diperhatikan lebih lanjut, ternyata si moi merupakan sosok yang naif, sederhana dan apa adanya. Yang kedua adalah plot komplikatif sebelum bagian akhir yang lumayan seru serta banyak kejadian-kejadian menarik didalamnya. Dan yang ketiga adalah cara pengemasan cerita yang menarik. Sykes menggambarkan tidak hanya segi glamor dan sisi sinis para cewek sosialita tetapi juga hal-hal menggelikan dan kekanakan dari mereka.

0 comments on "Bergdorf Blondes by Plum Sykes"

Post a Comment