Abstract:
Many people thought that global economy crisis is an impact of the economic crisis in United States. They believe that those crisis just started from collapsed shred exchange in Wall Street, main finance sector of United States that then caused financial loss of giant enterprises in United States. Their loss seems very great, that can impact world economy. But no one consider that global economy crisis precisely started from European Union.
Keywords : subprime mortgage, global economy crisis, AIG, European Union, United States, KTT G-20 Washington, KTT APEC Lima
Subprime Mortgage di Amerika Serikat
Runtuhnya raksasa-raksasa lembaga finansial di Amerika Serikat merupakan salah satu akibat dari serangkaian efek yang ditimbulkan dari krisis subprime mortgage pada sebuah negara yang dikenal sebagai negara adidaya tersebut. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut telah menyeret krisis nilai tukar terbesar yang pernah ada (the mother of all currency crisis). Di Eropa Timur, dampak krisis global mengakibatkan resesi di sejumlah negara. Runtuhnya nilai tukar akibat penarikan dana oleh investor, bersamaan dengan turunnya penerimaan ekspor dan tingginya inflasi memunculkan resiko kebangkrutan seluruh ekonomi Eropa Timur.
Di Amerika Serikat, krisis ekonomi dikarenakan pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang di Afganistan dan Iraq, dan yang paling penting adalah subprime mortgage. Subprime mortgage merupakan penyebab utama krisis keuangan di Amerika Serikat yang dikarenakan kerugian dari surat berharga properti yang sudah berlangsung sejak Juli 2007. Pada awalnya pemerintah Amerika Serikat memberi kemudahan dalam pinjaman kepemilikan rumah (mortgage, semacam KPR di Indonesia) terhadap warganya tanpa melihat profil dan karakter debitur dan tanpa jaminan yang memadai, sehingga pengangguran pun dapat memperoleh subprime loan tersebut. Hal ini dikarenakan harga properti di Amerika Serikat selalu merangkak naik sehingga pasar properti di Amerika Serikat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan menjanjikan. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat tidak terlalu menggembirakan sejak tahun 2006. Hal tersebut berdampak pada menurunnya harga properti di Amerika Serikat sehingga membuat para debitur makin terbelit dan kemudian tidak mampu membayar pinjamannya (default). Masalah ini semakin diperparah dengan banyaknya investment banker yang menerbitkan produk derivative subprime mortgage (menerbitkan hutang dengan jaminan mortgage loan). Sehingga ketika terjadi kredit macet pada mortgage, maka dampaknya perbankan harus membukukan kerugian atas kredit properti dan secara otomatis produk derivate juga hancur. Hal ini merupakan faktor primer yang mempengaruhi anjloknya bursa saham di Amerika Serikat.
Sebagai akibatnya, harga saham di pasar finansial terus menurun tajam yang kemudian mengakibatkan perusahaan-perusahaan keuangan multinasional di Amerika Serikat seperti Bear Stearns, Fannie Mae, Fredie Mac., Washington Mutual, Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS, AIG, dan Mitsubishi UF mengalami kesulitan finansial dan kemudian pailit. Dalam waktu singkat kondisi pasar finansial Wall Street, Amerika Serikat, terpuruk dan pemerintah Amerika Serikat dipaksa untuk memberi dana talangan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Namun di lain pihak, Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin terakhir perbankan) sejumlah raksasa bank investasi, lembaga asuransi, lembaga sekuritas dan lembaga penjamin kredit yang juga terpuruk. Bisa dikatakan, hal ini merupakan collateral efffect yang timbul akibat subprime mortgage.
Penawaran AIG London
Di Uni Eropa, krisis ekonomi bermula dari AIG, sebuah perusahaan asuransi Amerika Serikat yang memiliki kantor cabang di london yang dimanajeri oleh Joseph J. Cassano, yang memberi sebuah penawaran berupa jaminan pada bank-bank di negara-negara Uni Eropa untuk memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan berakreditasi AAA (excellent/ top position) di Amerika Serikat yang mengalami kesulitan finansial. Transaksi utang piutang tersebut diantarai oleh AIG selaku pihak penjamin sehingga bank-bank di Uni Eropa tidak perlu memberi setoran kas kepada bank sentral negara masing-masing.
Bank-bank di Uni Eropa setuju terhadap penawaran tersebut karena kebiasaan masyarakat Uni Eropa yang lebih banyak menabung sehingga bank harus memberikan bunga yang cukup tinggi bagi nasabahnya. Sebaliknya, masyarakat Amerika Serikat terbiasa dengan sistem kredit yang bagi mereka lebih menguntungkan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah bank di Amerika Serikat kekurangan cadangan kas dikarenakan kebiasaan masyarakatnya. Bagi bank-bank di Uni Eropa hal ini tentu sangat menguntungkan. Sebab dalam kesempatan ini bank-bank di Uni Eropa dapat menentukan prosentase bunga hutang yang cukup tinggi bagi perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat yang mengalami kredit macet tersebut. Selain itu, mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kerugian yang besar, sebab mereka telah sepakat dengan AIG untuk menjamin transaksi antara bank-bank di Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tersebut.
Krisis Finansial di Uni Eropa
Untuk beberapa waktu, arus piutang berjalan lancar. Hampir dipastikan tidak ada masalah yang dialami, baik dari pihak bank-bank di Uni Eropa maupun dari pihak perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Namun kemudian timbul masalah dari pihak perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Sebagian besar dikarenakan arus perputaran surat berharga perusahaan tersebut mengalami kemacetan. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tidak dapat meneruskan pembayaran hutang mereka terhadap bank-bank di Uni Eropa dalam jangka waktu yang cukup panjang. Akibatnya, bank-bank di Uni Eropa mengalami kesulitan dalam menangani tumpukan piutang mereka serta tanggung jawab mereka terhadap bank sentral masing-masing negara. Hal itu diperparah dengan kesepakatan mereka dengan AIG London dimana AIG hanya memberi ganti rugi yang prosentasenya cukup sedikit dari jumlah dana yang dipinjamkan. Dan kemudian hal tersebut menyebabkan kerugian besar-besaran di pihak bank-bank di Uni Eropa.
Hal tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi pemerintah negara-negara di Uni Eropa. Mereka pun ikut merugi, sebab bank-bank di Uni Eropa tidak memberikan tambahan jaminan kas di bank sentra masing-masing negara, sesuai dengan peraturan prosedural mengenai transaksi utang piutang yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan masing-masing negara. Sedangkan jumlah dana yang dipinjamkan oleh bank-bank mereka cukup besar. Untuk menutup transaksi piutang yang macet, pemerintah negara-negara di Uni Eropa yang memberi pinjaman terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mengalihkan hutang-hutang perusahaan-perusahaan tersebut kepada pemerintah Amerika Serikat. Namun karena di Amerika Serikat itu sendiri juga sedang mengalami krisis finansial maka hutang-hutang tersebut tetap tidak dapat terbayarkan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Krisis Ekonomi di Indonesia
Di Indonesia, krisis ekonomi global tersebut berdampak melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, sehingga kondisi pasar Indonesia menjadi tidak sehat. Akibatnya, nilai aset Indonesia semakin menurun sedangkan tanggungan hutang luar negeri Indonesia semakin banyak karena selisih kurs terhadap mata uang asing semakin tajam. Jika pada awalnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah Rp. 9000 sampai Rp. 9500 per satu Dollar kemudian melonjak tajam hingga Rp. 13000 per satu Dollar Amerika Serikat, maka dapat diperkirakan berapa yang ditanggung pemerintah Indonesia. Dengan jumlah nominal Dollar yang sama, tanggungan hutang luar negeri Indonesia akan bertambah sekitar 30% dalam kurs Rupiah.
Kegiatan ekspor produk-produk Indonesia diperkirakan juga akan terhambat karena perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat akan melakukan politik banting harga yang kemudian dapat mengakibatkan turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Harga minyak mentah juga semakin merosot akibat krisis nilai alat tukar. Selain itu bursa saham di Indonesia juga terpuruk yang dikarenakan mayoritas investor asing yang berinvestasi dalam bentuk modal finansial tersebut menarik dana mereka untuk diinvestasikan di negara asalnya karena pemerintah mereka membutuhkan dana likuiditas. Mereka lebih suka menarik uang kas di pasar saham dan rela untuk cut of transaction. Belum cukup, pemerintah Indonesia juga dihadapkan dengan problem ketenagakerjaan yang disebabkan peningkatan jumlah pengangguran karena diperkirakan banyak perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia kemudian ditutup akibat krisis finansial yang melanda negara asalnya.
Tindak Lanjut
Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah negara-negara di Uni Eropa kemudian mengalihkan hutang-hutang perusahaan di Amerika Serikat kepada pemerintah Amerika Serikat. Kemudian dalam bidang perjanjian utang piutang perbankan selanjutnya negara-negara di Uni Eropa memutuskan untuk memberikan syarat yang sangat ketat dan tingkat kerumitan yang cukup tinggi untuk setiap kegiatan transaksi perbankan yang melibatkan bank-bank di negaranya. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi, syarat yang harus dipenuhi oleh pihak peminjam juga lebih banyak. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Uni Eropa dalam rangka proteksionisme di bidang finansial untuk menanggulangi krisis ekonomi agar tidak semakin parah. Selain itu, proteksionisme juga sebagai langkah untuk membatasi dan menyeleksi negara-negara debitur agar jaminan yang ditawarkan oleh negara-negara debitur tersebut sesuai dengan jumlah kredit yang diambil.
Pemerintah Indonesia dalam pertemuan KTT G-20 mengupayakan agar syarat yang diajukan oleh pemerintah negara-negara di Uni Eropa disesuaikan dengan tingkat kesulitannya sehingga syarat transaksi perbankan tidak terlalu tinggi. Sebab Indonesia juga merupakan salah satu negara yang perekonomiannya tergantung pada bank-bank di Uni Eropa. Oleh karena itu, apabila tingkat kesulitannya sangat tinggi bagi pemerintah Indonesia tentu akan membatasi ruang gerak pemerintah Indonesia dalam transaksi utang piutang dengan bank-bank di Uni Eropa. Belum lagi apabila tidak ada kompromisasi dari pihak Uni Eropa terhadap syarat-syarat yang diajukan, bisa jadi apa yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia tidak sepadan dengan apa yang didapatkan.
KTT APEC di Lima, Peru merupakan upaya tindak lanjut dari KTT G-20 di Washington, Amerika Serikat. Kebetulan beberapa negara anggota APEC juga merupakan anggota G-20 seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan Australia. Pada pertemuan G-20, para anggotanya sepakat untuk berkomitmen berama mengatasi krisis ekonomi global. Para pemimpin G-20 telah menyepakati paket penyelamatan ekonomi demi menstabilkan sistem keuangan, merangsang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kerangka kerja pengaturan keuangan. Dalam KTT APEC terdapat indikasi bahwa para pemimpinnya akan membebaskan perdagangan dan investasi yang merupakan titik berat dalam forum APEC, serta menolak proteksionisme .
Kesimpulan
Krisis ekonomi global, termasuk krisis finansial di Amerika Serikat, yang terjadi merupakan salah satu dari serangkaian dampak krisis ekonomi di uni Eropa. Hal ini tidak lepas dari sikap bank-bank di Uni Eropa yang terlalu yakin terhadap akreditasi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang akan mereka beri pinjaman tersebut. Sebab meskipun memiliki akreditasi yang sempurna, bukanlah sebuah jaminan bahwa perusahaan tersebut tidak akan hancur meskipun terjadi krisis ekonomi. Akibatnya, ketika para debitur tidak dapat membayar hutang-hutangnya dikarenakan anjloknya nilai jual saham perusahaan mereka di pasar modal, bank-bank di Uni Eropa kebingungan mencari cara untuk mengatasi tumpukan piutang yang belum terselesaikan.
Prinsip kapitalisme dalam perekonomian Amerika Serikat, para pemilih usaha dituntut untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Dan sebagai jalan pintas, pemerintah Amerika Serikat memudahkan berbagai bentuk kredit yang ditawarkan oleh bank-bank di Amerika Serikat tersebut. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan ternama di Amerika Serikat dimana posisinya sudah cukup kuat dan memiliki kredibilitas yang tinggi di pasar Amerika Serikat, ternyata harta yang dimiliki berasal dari pinjaman bank (pihak ketiga). Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis finansial, perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutang mereka karena dana pribadi mereka lebih sedikit daripada dana pihak ketiga (dana pinjaman).
REFERENSI :
Boediono, 2008. Ancaman Krisis Ekonomi Dunia. Prime Access Card online. [internet] November 2008 dalam http://news.primeaccesscard.com/ekonomi/bursa/ancaman-krisis-ekonomi-dunia.html [diakses 3 Desember 2008]
Grant, James, 2007. The Feds Subprime Solutions. New York Times online. [internet] 26 Agustus 2007 dalam http://www.nytimes.com/2007/08/26/opinion/26grant.html [diakses 23 November 2008]
Hadi, Rismal, 2008. Menyikapi Krisis Ekonomi Global. Kabar Indonesia online. [internet] 21 Oktober 2008 12.39 WIB dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20081021091642 [diakses 23 November 2008]
Kawilarang, Renne R.A dan Adiati, Harriska Farida, 2008. KTT APEC Akan Tindak Lanjuti Pertemuan G-20. Vivanews Beta. [internet] Senin, 17 November 2008 16.29 WIB dalam http://dunia.vivanews.com/news/read/9916-ktt_apec¬_akan_tindak_lanjuti_pertemuan _g_20 [diakses 24 November 2008]
TUGAS TEKNIK PENULISAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DAMPAK KRISIS EKONOMI DI UNI EROPA TERHADAP KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT DAN KRISIS EKONOMI GLOBAL
MAYA MERALDA KARTIKA
(070710413)
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2008
Thursday, 11 March 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Thursday, 11 March 2010
Dampak Krisis Ekonomi di Uni Eropa terhadap Krisis Finansial di Amerika Serikat dan Krisis Ekonomi Global
Abstract:
Many people thought that global economy crisis is an impact of the economic crisis in United States. They believe that those crisis just started from collapsed shred exchange in Wall Street, main finance sector of United States that then caused financial loss of giant enterprises in United States. Their loss seems very great, that can impact world economy. But no one consider that global economy crisis precisely started from European Union.
Keywords : subprime mortgage, global economy crisis, AIG, European Union, United States, KTT G-20 Washington, KTT APEC Lima
Subprime Mortgage di Amerika Serikat
Runtuhnya raksasa-raksasa lembaga finansial di Amerika Serikat merupakan salah satu akibat dari serangkaian efek yang ditimbulkan dari krisis subprime mortgage pada sebuah negara yang dikenal sebagai negara adidaya tersebut. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut telah menyeret krisis nilai tukar terbesar yang pernah ada (the mother of all currency crisis). Di Eropa Timur, dampak krisis global mengakibatkan resesi di sejumlah negara. Runtuhnya nilai tukar akibat penarikan dana oleh investor, bersamaan dengan turunnya penerimaan ekspor dan tingginya inflasi memunculkan resiko kebangkrutan seluruh ekonomi Eropa Timur.
Di Amerika Serikat, krisis ekonomi dikarenakan pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang di Afganistan dan Iraq, dan yang paling penting adalah subprime mortgage. Subprime mortgage merupakan penyebab utama krisis keuangan di Amerika Serikat yang dikarenakan kerugian dari surat berharga properti yang sudah berlangsung sejak Juli 2007. Pada awalnya pemerintah Amerika Serikat memberi kemudahan dalam pinjaman kepemilikan rumah (mortgage, semacam KPR di Indonesia) terhadap warganya tanpa melihat profil dan karakter debitur dan tanpa jaminan yang memadai, sehingga pengangguran pun dapat memperoleh subprime loan tersebut. Hal ini dikarenakan harga properti di Amerika Serikat selalu merangkak naik sehingga pasar properti di Amerika Serikat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan menjanjikan. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat tidak terlalu menggembirakan sejak tahun 2006. Hal tersebut berdampak pada menurunnya harga properti di Amerika Serikat sehingga membuat para debitur makin terbelit dan kemudian tidak mampu membayar pinjamannya (default). Masalah ini semakin diperparah dengan banyaknya investment banker yang menerbitkan produk derivative subprime mortgage (menerbitkan hutang dengan jaminan mortgage loan). Sehingga ketika terjadi kredit macet pada mortgage, maka dampaknya perbankan harus membukukan kerugian atas kredit properti dan secara otomatis produk derivate juga hancur. Hal ini merupakan faktor primer yang mempengaruhi anjloknya bursa saham di Amerika Serikat.
Sebagai akibatnya, harga saham di pasar finansial terus menurun tajam yang kemudian mengakibatkan perusahaan-perusahaan keuangan multinasional di Amerika Serikat seperti Bear Stearns, Fannie Mae, Fredie Mac., Washington Mutual, Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS, AIG, dan Mitsubishi UF mengalami kesulitan finansial dan kemudian pailit. Dalam waktu singkat kondisi pasar finansial Wall Street, Amerika Serikat, terpuruk dan pemerintah Amerika Serikat dipaksa untuk memberi dana talangan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Namun di lain pihak, Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin terakhir perbankan) sejumlah raksasa bank investasi, lembaga asuransi, lembaga sekuritas dan lembaga penjamin kredit yang juga terpuruk. Bisa dikatakan, hal ini merupakan collateral efffect yang timbul akibat subprime mortgage.
Penawaran AIG London
Di Uni Eropa, krisis ekonomi bermula dari AIG, sebuah perusahaan asuransi Amerika Serikat yang memiliki kantor cabang di london yang dimanajeri oleh Joseph J. Cassano, yang memberi sebuah penawaran berupa jaminan pada bank-bank di negara-negara Uni Eropa untuk memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan berakreditasi AAA (excellent/ top position) di Amerika Serikat yang mengalami kesulitan finansial. Transaksi utang piutang tersebut diantarai oleh AIG selaku pihak penjamin sehingga bank-bank di Uni Eropa tidak perlu memberi setoran kas kepada bank sentral negara masing-masing.
Bank-bank di Uni Eropa setuju terhadap penawaran tersebut karena kebiasaan masyarakat Uni Eropa yang lebih banyak menabung sehingga bank harus memberikan bunga yang cukup tinggi bagi nasabahnya. Sebaliknya, masyarakat Amerika Serikat terbiasa dengan sistem kredit yang bagi mereka lebih menguntungkan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah bank di Amerika Serikat kekurangan cadangan kas dikarenakan kebiasaan masyarakatnya. Bagi bank-bank di Uni Eropa hal ini tentu sangat menguntungkan. Sebab dalam kesempatan ini bank-bank di Uni Eropa dapat menentukan prosentase bunga hutang yang cukup tinggi bagi perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat yang mengalami kredit macet tersebut. Selain itu, mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kerugian yang besar, sebab mereka telah sepakat dengan AIG untuk menjamin transaksi antara bank-bank di Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tersebut.
Krisis Finansial di Uni Eropa
Untuk beberapa waktu, arus piutang berjalan lancar. Hampir dipastikan tidak ada masalah yang dialami, baik dari pihak bank-bank di Uni Eropa maupun dari pihak perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Namun kemudian timbul masalah dari pihak perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Sebagian besar dikarenakan arus perputaran surat berharga perusahaan tersebut mengalami kemacetan. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tidak dapat meneruskan pembayaran hutang mereka terhadap bank-bank di Uni Eropa dalam jangka waktu yang cukup panjang. Akibatnya, bank-bank di Uni Eropa mengalami kesulitan dalam menangani tumpukan piutang mereka serta tanggung jawab mereka terhadap bank sentral masing-masing negara. Hal itu diperparah dengan kesepakatan mereka dengan AIG London dimana AIG hanya memberi ganti rugi yang prosentasenya cukup sedikit dari jumlah dana yang dipinjamkan. Dan kemudian hal tersebut menyebabkan kerugian besar-besaran di pihak bank-bank di Uni Eropa.
Hal tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi pemerintah negara-negara di Uni Eropa. Mereka pun ikut merugi, sebab bank-bank di Uni Eropa tidak memberikan tambahan jaminan kas di bank sentra masing-masing negara, sesuai dengan peraturan prosedural mengenai transaksi utang piutang yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan masing-masing negara. Sedangkan jumlah dana yang dipinjamkan oleh bank-bank mereka cukup besar. Untuk menutup transaksi piutang yang macet, pemerintah negara-negara di Uni Eropa yang memberi pinjaman terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mengalihkan hutang-hutang perusahaan-perusahaan tersebut kepada pemerintah Amerika Serikat. Namun karena di Amerika Serikat itu sendiri juga sedang mengalami krisis finansial maka hutang-hutang tersebut tetap tidak dapat terbayarkan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Krisis Ekonomi di Indonesia
Di Indonesia, krisis ekonomi global tersebut berdampak melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, sehingga kondisi pasar Indonesia menjadi tidak sehat. Akibatnya, nilai aset Indonesia semakin menurun sedangkan tanggungan hutang luar negeri Indonesia semakin banyak karena selisih kurs terhadap mata uang asing semakin tajam. Jika pada awalnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah Rp. 9000 sampai Rp. 9500 per satu Dollar kemudian melonjak tajam hingga Rp. 13000 per satu Dollar Amerika Serikat, maka dapat diperkirakan berapa yang ditanggung pemerintah Indonesia. Dengan jumlah nominal Dollar yang sama, tanggungan hutang luar negeri Indonesia akan bertambah sekitar 30% dalam kurs Rupiah.
Kegiatan ekspor produk-produk Indonesia diperkirakan juga akan terhambat karena perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat akan melakukan politik banting harga yang kemudian dapat mengakibatkan turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Harga minyak mentah juga semakin merosot akibat krisis nilai alat tukar. Selain itu bursa saham di Indonesia juga terpuruk yang dikarenakan mayoritas investor asing yang berinvestasi dalam bentuk modal finansial tersebut menarik dana mereka untuk diinvestasikan di negara asalnya karena pemerintah mereka membutuhkan dana likuiditas. Mereka lebih suka menarik uang kas di pasar saham dan rela untuk cut of transaction. Belum cukup, pemerintah Indonesia juga dihadapkan dengan problem ketenagakerjaan yang disebabkan peningkatan jumlah pengangguran karena diperkirakan banyak perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia kemudian ditutup akibat krisis finansial yang melanda negara asalnya.
Tindak Lanjut
Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah negara-negara di Uni Eropa kemudian mengalihkan hutang-hutang perusahaan di Amerika Serikat kepada pemerintah Amerika Serikat. Kemudian dalam bidang perjanjian utang piutang perbankan selanjutnya negara-negara di Uni Eropa memutuskan untuk memberikan syarat yang sangat ketat dan tingkat kerumitan yang cukup tinggi untuk setiap kegiatan transaksi perbankan yang melibatkan bank-bank di negaranya. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi, syarat yang harus dipenuhi oleh pihak peminjam juga lebih banyak. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Uni Eropa dalam rangka proteksionisme di bidang finansial untuk menanggulangi krisis ekonomi agar tidak semakin parah. Selain itu, proteksionisme juga sebagai langkah untuk membatasi dan menyeleksi negara-negara debitur agar jaminan yang ditawarkan oleh negara-negara debitur tersebut sesuai dengan jumlah kredit yang diambil.
Pemerintah Indonesia dalam pertemuan KTT G-20 mengupayakan agar syarat yang diajukan oleh pemerintah negara-negara di Uni Eropa disesuaikan dengan tingkat kesulitannya sehingga syarat transaksi perbankan tidak terlalu tinggi. Sebab Indonesia juga merupakan salah satu negara yang perekonomiannya tergantung pada bank-bank di Uni Eropa. Oleh karena itu, apabila tingkat kesulitannya sangat tinggi bagi pemerintah Indonesia tentu akan membatasi ruang gerak pemerintah Indonesia dalam transaksi utang piutang dengan bank-bank di Uni Eropa. Belum lagi apabila tidak ada kompromisasi dari pihak Uni Eropa terhadap syarat-syarat yang diajukan, bisa jadi apa yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia tidak sepadan dengan apa yang didapatkan.
KTT APEC di Lima, Peru merupakan upaya tindak lanjut dari KTT G-20 di Washington, Amerika Serikat. Kebetulan beberapa negara anggota APEC juga merupakan anggota G-20 seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan Australia. Pada pertemuan G-20, para anggotanya sepakat untuk berkomitmen berama mengatasi krisis ekonomi global. Para pemimpin G-20 telah menyepakati paket penyelamatan ekonomi demi menstabilkan sistem keuangan, merangsang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kerangka kerja pengaturan keuangan. Dalam KTT APEC terdapat indikasi bahwa para pemimpinnya akan membebaskan perdagangan dan investasi yang merupakan titik berat dalam forum APEC, serta menolak proteksionisme .
Kesimpulan
Krisis ekonomi global, termasuk krisis finansial di Amerika Serikat, yang terjadi merupakan salah satu dari serangkaian dampak krisis ekonomi di uni Eropa. Hal ini tidak lepas dari sikap bank-bank di Uni Eropa yang terlalu yakin terhadap akreditasi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang akan mereka beri pinjaman tersebut. Sebab meskipun memiliki akreditasi yang sempurna, bukanlah sebuah jaminan bahwa perusahaan tersebut tidak akan hancur meskipun terjadi krisis ekonomi. Akibatnya, ketika para debitur tidak dapat membayar hutang-hutangnya dikarenakan anjloknya nilai jual saham perusahaan mereka di pasar modal, bank-bank di Uni Eropa kebingungan mencari cara untuk mengatasi tumpukan piutang yang belum terselesaikan.
Prinsip kapitalisme dalam perekonomian Amerika Serikat, para pemilih usaha dituntut untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Dan sebagai jalan pintas, pemerintah Amerika Serikat memudahkan berbagai bentuk kredit yang ditawarkan oleh bank-bank di Amerika Serikat tersebut. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan ternama di Amerika Serikat dimana posisinya sudah cukup kuat dan memiliki kredibilitas yang tinggi di pasar Amerika Serikat, ternyata harta yang dimiliki berasal dari pinjaman bank (pihak ketiga). Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis finansial, perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutang mereka karena dana pribadi mereka lebih sedikit daripada dana pihak ketiga (dana pinjaman).
REFERENSI :
Boediono, 2008. Ancaman Krisis Ekonomi Dunia. Prime Access Card online. [internet] November 2008 dalam http://news.primeaccesscard.com/ekonomi/bursa/ancaman-krisis-ekonomi-dunia.html [diakses 3 Desember 2008]
Grant, James, 2007. The Feds Subprime Solutions. New York Times online. [internet] 26 Agustus 2007 dalam http://www.nytimes.com/2007/08/26/opinion/26grant.html [diakses 23 November 2008]
Hadi, Rismal, 2008. Menyikapi Krisis Ekonomi Global. Kabar Indonesia online. [internet] 21 Oktober 2008 12.39 WIB dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20081021091642 [diakses 23 November 2008]
Kawilarang, Renne R.A dan Adiati, Harriska Farida, 2008. KTT APEC Akan Tindak Lanjuti Pertemuan G-20. Vivanews Beta. [internet] Senin, 17 November 2008 16.29 WIB dalam http://dunia.vivanews.com/news/read/9916-ktt_apec¬_akan_tindak_lanjuti_pertemuan _g_20 [diakses 24 November 2008]
TUGAS TEKNIK PENULISAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DAMPAK KRISIS EKONOMI DI UNI EROPA TERHADAP KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT DAN KRISIS EKONOMI GLOBAL
MAYA MERALDA KARTIKA
(070710413)
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2008
Many people thought that global economy crisis is an impact of the economic crisis in United States. They believe that those crisis just started from collapsed shred exchange in Wall Street, main finance sector of United States that then caused financial loss of giant enterprises in United States. Their loss seems very great, that can impact world economy. But no one consider that global economy crisis precisely started from European Union.
Keywords : subprime mortgage, global economy crisis, AIG, European Union, United States, KTT G-20 Washington, KTT APEC Lima
Subprime Mortgage di Amerika Serikat
Runtuhnya raksasa-raksasa lembaga finansial di Amerika Serikat merupakan salah satu akibat dari serangkaian efek yang ditimbulkan dari krisis subprime mortgage pada sebuah negara yang dikenal sebagai negara adidaya tersebut. Krisis ekonomi yang terjadi tersebut telah menyeret krisis nilai tukar terbesar yang pernah ada (the mother of all currency crisis). Di Eropa Timur, dampak krisis global mengakibatkan resesi di sejumlah negara. Runtuhnya nilai tukar akibat penarikan dana oleh investor, bersamaan dengan turunnya penerimaan ekspor dan tingginya inflasi memunculkan resiko kebangkrutan seluruh ekonomi Eropa Timur.
Di Amerika Serikat, krisis ekonomi dikarenakan pengurangan pajak korporasi, pembengkakan biaya perang di Afganistan dan Iraq, dan yang paling penting adalah subprime mortgage. Subprime mortgage merupakan penyebab utama krisis keuangan di Amerika Serikat yang dikarenakan kerugian dari surat berharga properti yang sudah berlangsung sejak Juli 2007. Pada awalnya pemerintah Amerika Serikat memberi kemudahan dalam pinjaman kepemilikan rumah (mortgage, semacam KPR di Indonesia) terhadap warganya tanpa melihat profil dan karakter debitur dan tanpa jaminan yang memadai, sehingga pengangguran pun dapat memperoleh subprime loan tersebut. Hal ini dikarenakan harga properti di Amerika Serikat selalu merangkak naik sehingga pasar properti di Amerika Serikat menjadi bisnis yang sangat menguntungkan dan menjanjikan. Akan tetapi pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat tidak terlalu menggembirakan sejak tahun 2006. Hal tersebut berdampak pada menurunnya harga properti di Amerika Serikat sehingga membuat para debitur makin terbelit dan kemudian tidak mampu membayar pinjamannya (default). Masalah ini semakin diperparah dengan banyaknya investment banker yang menerbitkan produk derivative subprime mortgage (menerbitkan hutang dengan jaminan mortgage loan). Sehingga ketika terjadi kredit macet pada mortgage, maka dampaknya perbankan harus membukukan kerugian atas kredit properti dan secara otomatis produk derivate juga hancur. Hal ini merupakan faktor primer yang mempengaruhi anjloknya bursa saham di Amerika Serikat.
Sebagai akibatnya, harga saham di pasar finansial terus menurun tajam yang kemudian mengakibatkan perusahaan-perusahaan keuangan multinasional di Amerika Serikat seperti Bear Stearns, Fannie Mae, Fredie Mac., Washington Mutual, Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, UBS, AIG, dan Mitsubishi UF mengalami kesulitan finansial dan kemudian pailit. Dalam waktu singkat kondisi pasar finansial Wall Street, Amerika Serikat, terpuruk dan pemerintah Amerika Serikat dipaksa untuk memberi dana talangan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Namun di lain pihak, Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin terakhir perbankan) sejumlah raksasa bank investasi, lembaga asuransi, lembaga sekuritas dan lembaga penjamin kredit yang juga terpuruk. Bisa dikatakan, hal ini merupakan collateral efffect yang timbul akibat subprime mortgage.
Penawaran AIG London
Di Uni Eropa, krisis ekonomi bermula dari AIG, sebuah perusahaan asuransi Amerika Serikat yang memiliki kantor cabang di london yang dimanajeri oleh Joseph J. Cassano, yang memberi sebuah penawaran berupa jaminan pada bank-bank di negara-negara Uni Eropa untuk memberi pinjaman pada perusahaan-perusahaan berakreditasi AAA (excellent/ top position) di Amerika Serikat yang mengalami kesulitan finansial. Transaksi utang piutang tersebut diantarai oleh AIG selaku pihak penjamin sehingga bank-bank di Uni Eropa tidak perlu memberi setoran kas kepada bank sentral negara masing-masing.
Bank-bank di Uni Eropa setuju terhadap penawaran tersebut karena kebiasaan masyarakat Uni Eropa yang lebih banyak menabung sehingga bank harus memberikan bunga yang cukup tinggi bagi nasabahnya. Sebaliknya, masyarakat Amerika Serikat terbiasa dengan sistem kredit yang bagi mereka lebih menguntungkan. Hal tersebut mengakibatkan sejumlah bank di Amerika Serikat kekurangan cadangan kas dikarenakan kebiasaan masyarakatnya. Bagi bank-bank di Uni Eropa hal ini tentu sangat menguntungkan. Sebab dalam kesempatan ini bank-bank di Uni Eropa dapat menentukan prosentase bunga hutang yang cukup tinggi bagi perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat yang mengalami kredit macet tersebut. Selain itu, mereka tidak perlu khawatir akan terjadinya kerugian yang besar, sebab mereka telah sepakat dengan AIG untuk menjamin transaksi antara bank-bank di Uni Eropa dengan perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tersebut.
Krisis Finansial di Uni Eropa
Untuk beberapa waktu, arus piutang berjalan lancar. Hampir dipastikan tidak ada masalah yang dialami, baik dari pihak bank-bank di Uni Eropa maupun dari pihak perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Namun kemudian timbul masalah dari pihak perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat mengalami kerugian finansial yang cukup besar. Sebagian besar dikarenakan arus perputaran surat berharga perusahaan tersebut mengalami kemacetan. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan raksasa di Amerika Serikat tidak dapat meneruskan pembayaran hutang mereka terhadap bank-bank di Uni Eropa dalam jangka waktu yang cukup panjang. Akibatnya, bank-bank di Uni Eropa mengalami kesulitan dalam menangani tumpukan piutang mereka serta tanggung jawab mereka terhadap bank sentral masing-masing negara. Hal itu diperparah dengan kesepakatan mereka dengan AIG London dimana AIG hanya memberi ganti rugi yang prosentasenya cukup sedikit dari jumlah dana yang dipinjamkan. Dan kemudian hal tersebut menyebabkan kerugian besar-besaran di pihak bank-bank di Uni Eropa.
Hal tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi pemerintah negara-negara di Uni Eropa. Mereka pun ikut merugi, sebab bank-bank di Uni Eropa tidak memberikan tambahan jaminan kas di bank sentra masing-masing negara, sesuai dengan peraturan prosedural mengenai transaksi utang piutang yang telah diatur dalam Undang-Undang Perbankan masing-masing negara. Sedangkan jumlah dana yang dipinjamkan oleh bank-bank mereka cukup besar. Untuk menutup transaksi piutang yang macet, pemerintah negara-negara di Uni Eropa yang memberi pinjaman terhadap perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat mengalihkan hutang-hutang perusahaan-perusahaan tersebut kepada pemerintah Amerika Serikat. Namun karena di Amerika Serikat itu sendiri juga sedang mengalami krisis finansial maka hutang-hutang tersebut tetap tidak dapat terbayarkan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Krisis Ekonomi di Indonesia
Di Indonesia, krisis ekonomi global tersebut berdampak melemahnya kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat, sehingga kondisi pasar Indonesia menjadi tidak sehat. Akibatnya, nilai aset Indonesia semakin menurun sedangkan tanggungan hutang luar negeri Indonesia semakin banyak karena selisih kurs terhadap mata uang asing semakin tajam. Jika pada awalnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah Rp. 9000 sampai Rp. 9500 per satu Dollar kemudian melonjak tajam hingga Rp. 13000 per satu Dollar Amerika Serikat, maka dapat diperkirakan berapa yang ditanggung pemerintah Indonesia. Dengan jumlah nominal Dollar yang sama, tanggungan hutang luar negeri Indonesia akan bertambah sekitar 30% dalam kurs Rupiah.
Kegiatan ekspor produk-produk Indonesia diperkirakan juga akan terhambat karena perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat akan melakukan politik banting harga yang kemudian dapat mengakibatkan turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Harga minyak mentah juga semakin merosot akibat krisis nilai alat tukar. Selain itu bursa saham di Indonesia juga terpuruk yang dikarenakan mayoritas investor asing yang berinvestasi dalam bentuk modal finansial tersebut menarik dana mereka untuk diinvestasikan di negara asalnya karena pemerintah mereka membutuhkan dana likuiditas. Mereka lebih suka menarik uang kas di pasar saham dan rela untuk cut of transaction. Belum cukup, pemerintah Indonesia juga dihadapkan dengan problem ketenagakerjaan yang disebabkan peningkatan jumlah pengangguran karena diperkirakan banyak perusahaan-perusahaan asing yang ada di Indonesia kemudian ditutup akibat krisis finansial yang melanda negara asalnya.
Tindak Lanjut
Sebagai langkah tindak lanjut, pemerintah negara-negara di Uni Eropa kemudian mengalihkan hutang-hutang perusahaan di Amerika Serikat kepada pemerintah Amerika Serikat. Kemudian dalam bidang perjanjian utang piutang perbankan selanjutnya negara-negara di Uni Eropa memutuskan untuk memberikan syarat yang sangat ketat dan tingkat kerumitan yang cukup tinggi untuk setiap kegiatan transaksi perbankan yang melibatkan bank-bank di negaranya. Karena tingkat kesulitannya yang tinggi, syarat yang harus dipenuhi oleh pihak peminjam juga lebih banyak. Hal ini dilakukan oleh pemerintah Uni Eropa dalam rangka proteksionisme di bidang finansial untuk menanggulangi krisis ekonomi agar tidak semakin parah. Selain itu, proteksionisme juga sebagai langkah untuk membatasi dan menyeleksi negara-negara debitur agar jaminan yang ditawarkan oleh negara-negara debitur tersebut sesuai dengan jumlah kredit yang diambil.
Pemerintah Indonesia dalam pertemuan KTT G-20 mengupayakan agar syarat yang diajukan oleh pemerintah negara-negara di Uni Eropa disesuaikan dengan tingkat kesulitannya sehingga syarat transaksi perbankan tidak terlalu tinggi. Sebab Indonesia juga merupakan salah satu negara yang perekonomiannya tergantung pada bank-bank di Uni Eropa. Oleh karena itu, apabila tingkat kesulitannya sangat tinggi bagi pemerintah Indonesia tentu akan membatasi ruang gerak pemerintah Indonesia dalam transaksi utang piutang dengan bank-bank di Uni Eropa. Belum lagi apabila tidak ada kompromisasi dari pihak Uni Eropa terhadap syarat-syarat yang diajukan, bisa jadi apa yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia tidak sepadan dengan apa yang didapatkan.
KTT APEC di Lima, Peru merupakan upaya tindak lanjut dari KTT G-20 di Washington, Amerika Serikat. Kebetulan beberapa negara anggota APEC juga merupakan anggota G-20 seperti Amerika Serikat, Cina, Jepang, Indonesia, Korea Selatan dan Australia. Pada pertemuan G-20, para anggotanya sepakat untuk berkomitmen berama mengatasi krisis ekonomi global. Para pemimpin G-20 telah menyepakati paket penyelamatan ekonomi demi menstabilkan sistem keuangan, merangsang pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kerangka kerja pengaturan keuangan. Dalam KTT APEC terdapat indikasi bahwa para pemimpinnya akan membebaskan perdagangan dan investasi yang merupakan titik berat dalam forum APEC, serta menolak proteksionisme .
Kesimpulan
Krisis ekonomi global, termasuk krisis finansial di Amerika Serikat, yang terjadi merupakan salah satu dari serangkaian dampak krisis ekonomi di uni Eropa. Hal ini tidak lepas dari sikap bank-bank di Uni Eropa yang terlalu yakin terhadap akreditasi perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat yang akan mereka beri pinjaman tersebut. Sebab meskipun memiliki akreditasi yang sempurna, bukanlah sebuah jaminan bahwa perusahaan tersebut tidak akan hancur meskipun terjadi krisis ekonomi. Akibatnya, ketika para debitur tidak dapat membayar hutang-hutangnya dikarenakan anjloknya nilai jual saham perusahaan mereka di pasar modal, bank-bank di Uni Eropa kebingungan mencari cara untuk mengatasi tumpukan piutang yang belum terselesaikan.
Prinsip kapitalisme dalam perekonomian Amerika Serikat, para pemilih usaha dituntut untuk mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Dan sebagai jalan pintas, pemerintah Amerika Serikat memudahkan berbagai bentuk kredit yang ditawarkan oleh bank-bank di Amerika Serikat tersebut. Akibatnya, banyak perusahaan-perusahaan ternama di Amerika Serikat dimana posisinya sudah cukup kuat dan memiliki kredibilitas yang tinggi di pasar Amerika Serikat, ternyata harta yang dimiliki berasal dari pinjaman bank (pihak ketiga). Oleh sebab itu, ketika terjadi krisis finansial, perusahaan-perusahaan tersebut tidak mampu membayar hutang mereka karena dana pribadi mereka lebih sedikit daripada dana pihak ketiga (dana pinjaman).
REFERENSI :
Boediono, 2008. Ancaman Krisis Ekonomi Dunia. Prime Access Card online. [internet] November 2008 dalam http://news.primeaccesscard.com/ekonomi/bursa/ancaman-krisis-ekonomi-dunia.html [diakses 3 Desember 2008]
Grant, James, 2007. The Feds Subprime Solutions. New York Times online. [internet] 26 Agustus 2007 dalam http://www.nytimes.com/2007/08/26/opinion/26grant.html [diakses 23 November 2008]
Hadi, Rismal, 2008. Menyikapi Krisis Ekonomi Global. Kabar Indonesia online. [internet] 21 Oktober 2008 12.39 WIB dalam http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20081021091642 [diakses 23 November 2008]
Kawilarang, Renne R.A dan Adiati, Harriska Farida, 2008. KTT APEC Akan Tindak Lanjuti Pertemuan G-20. Vivanews Beta. [internet] Senin, 17 November 2008 16.29 WIB dalam http://dunia.vivanews.com/news/read/9916-ktt_apec¬_akan_tindak_lanjuti_pertemuan _g_20 [diakses 24 November 2008]
TUGAS TEKNIK PENULISAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
DAMPAK KRISIS EKONOMI DI UNI EROPA TERHADAP KRISIS FINANSIAL DI AMERIKA SERIKAT DAN KRISIS EKONOMI GLOBAL
MAYA MERALDA KARTIKA
(070710413)
DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2008
1 comments on "Dampak Krisis Ekonomi di Uni Eropa terhadap Krisis Finansial di Amerika Serikat dan Krisis Ekonomi Global"
- Wishnu on 22 August 2015 at 17:01 said...
-
cukup membantu tugas saya. makasih....
jangan bosan posting hal2 yg bermanfaat yakk
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
cukup membantu tugas saya. makasih....
jangan bosan posting hal2 yg bermanfaat yakk
Post a Comment